12. Paulina?

7.1K 465 66
                                    

Pagi hari.

Alina duduk diatas sofa mewah sudah bagaikan patung. Hanya ada raut tak acuh di wajah cantiknya. Mental Alina sudah sangat-sangat dipertaruhkan, dirinya selalu berujung pasrah dikarenakan kalah.

Sesaat Alina terkesima menatap betapa mewah, kokoh dan luasnya bangunan kantor milik tuannya ini. Ruangan yang menjadi saksi dirinya dilecehkan, disudutkan, direndahkan hargadirinya. Entah, Alina sudah terlalu lelah membuatnya menjadi hal yang harus ditakutkan. Toh dirinya tak bisa kabur.

"Apa aku ga bisa kabur? Apa aku bakalan seumur hidup terbelenggu, ga bisa bebas, ga berhak punya pilihan hidup? Semuanya diatur, aku ga punya hak sedikitpun." Kini Alina diam setengah menunduk.

Rangga memasuki ruangannya dengan berjalan gagah. Sesaat dirinya keheranan dengan ekspresi Alina, laku dirinya membeku tanpa rencana. Alina teramat cantik, penampilannya dewasa dan anggun, sangat berkelas. Alina memakai dress formal berwarna hijau tua elegan dari kain satin yang teramat mengagumkan saat dipakai olehnya disana. Belum lagi sepatu tinggi yang sama berwarna hijau tua dengan butiran kristal asli yang menambah kesan berani.

'Cuup.'

Alina menengadah tercekat. Kepalanya menengadah akibat gerakan jari Rangga yang mendorong leher dan dagunya. Tubuh Alina setengah runtuh diatas sofa. Tidak, dirinya tidak berontak, hanya tangannya saja mencengkeram kuat berusaha mendorong pada lengan Rangga.

"Aah!" Ringis Alina kembali tercekat. Mata Alina melebar syok kala jelas merasakan kesakitan di lehernya.

"Beautiful! My mine, always mine, never be different." Rangga membisik ditengah nafasnya yang terengah. Dicengkeramnya sisi wajah Alina dengan lembut hingga Alina tak bisa mengelak. Alina yang terpojok hanya mampu menciut saja.

"Dua minggu lagi kita nikah. Kita siapin semuanya. Kamu perawatan yang rajin, itu harus. Sampe nanti nikah pun harus. Perawatan biar kamu sehat, bugar, fresh." Rangga menyeringai seiring mengutarakan rasa bahagianya. Matanya menelisik dengan jeli pada tubuh mungil Alina yang kini semakin menciut.

"S-sa. Em,.." Alina tergagu sulit berucap dikala pinggangnya kini dipeluk mesra. Hidung Rangga menelusuri sisi keningnya. Rangga bahkan berusaha memangku dirinya.

"What? Mau bilang apa? Hmm?" Bisik Rangga mempersilahkan.

"Satu bulan boleh? Satu bulan lagi aja, tuan. S-siapa tahu saya punya penyakit. Gaya hidup saya ga sehat, jauh dari sehat." Alina sedikit memberanikan diri. Ditatapnya mata biru khas itu dengan pasrah siap menerima penolakan.

"Mungkin kita bisa pacaran dulu, pendekatan. Say-saya masih syok, tuan,"" imbuh Alina. Matanya berubah mendung kala berharap.

"Seriously, Alina! Aku bakalan ngabulin itu kalo kamu sekarang cium aku!" Bisik Rangga terengah tak sabaran. Matanya menatap tegas tak seidkitpun menipu.

"Hmm? Kenapa diem? Kamu ga mau?" Ucap Rangga kian mendesak. Dirinya dengan arogan terus menarik telapak tangan Alina sampai punggung tangannya bisa ia usap.

"Ayo, Sebelum syaratnya nambah!" Bisik Rangga kembali.

"Yups! Syaratnya nambah sekarang! Kalo kamu mau nikahan kita diundur, kita pacaran dulu, kamu pisah rumah sama aku, kamu sekarang harus duduk disini, dipangku diatas paha aku, tangkup kedua wajah aku, and then cium aku. Yes, itu syaratnya!" Ucap Rangga begitu tegas penuh semangat. Matanya melebar seiring menepuk pada paha.

"Iya, betul! Kamu ga perlu nanya lagi. Kita bakalan pisah rumah waktu pacaran. Kamu bakalan pindah rumah malem ini juga!" Terang Rangga kembali.

Alina terdiam lemah tanpa minat. Matanya menatap naik turun pada wajah tampan Rangga. Tidakkah dirinya hina? Dirinya dibeli, dipaksa menuruti perintah, dan dirinya tidak punya kebebasan apapun.

Alina's Love Story [TAMAT]Where stories live. Discover now