41. Merana.

2.7K 274 26
                                    

Suara deburan ombak sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Alina. Dua bulan sudah hidup sebatang kara di kalian hiruk pikuk dunia modern. Alina hidup di gubuk yang hanya berjarak 10 meter dari sungai jernih. Jaraknya ke pantai bisa ditempuh dalam 5 menit tanpa berlari.

Sengaja Alina memilih tinggal di dalam hutan, tidak terlalu dekat dengan laut. Dirinya takut.

Rumah Alina memiliki luas 3×4. Sebelah kanan ada area kamar dengan ranjang kecil yang terbuat dari kayu dan desain seadanya. Lebar kasurnya 75 cm, panjangnya tak sampai 2 meter, sedangkan tinggi ranjangnya setengah meter. Kasurnya jauh dari kata empuk

Bagian sebelah kiri gubuk itu ada area masak dengan semen disekeliling tuk menghindari sambaran api, lalu tak jauh dari sana ada karpet kuno yang sangat tradisional bersama tumpukan beberapa alat masak dan alat makan di wadah khusus.

Hanya ada satu lemari di gubuk ini, itu pun hanya terbuat dari triplek sebagai sisi. Lemarinya tidak tinggi, namun panjang. Lemarinya dijadikan pemisah antara kamar dan area dapur.

Wanita dalam balutan daster mahal itu membuka pintu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wanita dalam balutan daster mahal itu membuka pintu. Ia disuguhi oleh air sungai yang sedang tinggi. Bibir Alina melengkung manis menyaksikan pemandangan itu.

"Hmpt!"

"Hoek! Hoek! Hoek!"

Alina berlari tergopoh menuruni tangga tuk menuju kamar mandi di bawah.

Wanita itu memindahkan seluruh isi makanan yang telah ia makan lahap tadi pagi. Mual-mual sudah seperti jadi rutinitas bagi Alina.

"Hoek! Hoek. Uummh. Ga nyaman banget, ya, ampuun." Alina mendongak dengan rambut yang ia satukan di belakang.

"Udah pasti. Ini udah pasti hamil," ucap Alina tak bisa berkutik.

"Udah dua mingguan aku mual terus."

"Hhhhh. Malah keburu hamil," imbuh Alina tampak kecewa. 

Wajah Alina yang ditekuk lesu seketika terperanjat, ia menggeleng. Ia usap perutnya dengan posesif, ia tak bermaksud.

"Bukan, sayang, bukan. Mamah ga nyesel, kok, punya kamu." Alina bicara begitu lembut. Perut bawahnya seolah menjadi makhluk hidup saja ia ajak bicara.

"Maaf, yaa."

"Hmmppt! Hoek! Hoek!"

"Eungh? Dedek marah sama mam-hoek! Hoek!"

"Ssssttt! Sekarang sama pusiiinghh. Dedek maraah? Hmm?" kicau Alina mendongak menekan pelipis. Satu tangannya mencengkeram sisi pinggang karena pegal disana.

Alina's Love Story [TAMAT]Where stories live. Discover now