47. Putra menangis.

1.2K 99 14
                                    


Alina seperti tak bernyawa. Berhari-hari ia dirawat di rumah sakit, berhari-hari pula Rangga merawatnya, memberi makan, bahkan memandikannya. Setelah hari dimana keributan itu terjadi, kondisi Alina langsung drop, Alina tak sadarkan diri.

Meski selalu berdua, keduanya seperti bukan orang saling kenal, apalagi seperti pasangan suami istri. Alina tak banyak bicara, sedangkan Rangga yang tak mau emosinya tersulut. Rangga tahu dirinya seperti apa. Lebih baik diam.

Tubuh Alina digendong oleh Rangga, dibawa ke kamar mandi. Alina ingin buang air kecil. Saat berusaha berdiri, perut Alina seperti diremas. Itulah kenapa Rangga harus selalu disisinya.

"Pegang, kuat," ucap Rangga mengalungkan tangan istrinya di leher. Istrinya duduk di atas toilet duduk.

Di samping mereka tak lupa ada tiang infusan dan cairan lainnya.

"Ssst!" ringis Alina berusaha mengangkat bokong agar celananya bisa ditarik kebawah.

"Sakit? Bisa duduk?" tanya Rangga begitu peduli. Wajah mereka sangat berdekatan.

"Bisa." Alina mengedip lemah.

"Kamu udah pipis tiga kali sejak jam enam. Ini baru jam sepuluh."

"Iya."

Rangga berjongkok di depan istrinya yang kencing. Ia genggam dua tangan itu sembari menengadah. Raut cemas di wajah tak bisa ia sembunyikan.

Keran itu Rangga ambil, ia arahkan ke kemaluan istrinya. Rangga seperti perawat berpengalaman.

"Hold on," ucap Rangga mengambil tisu tuk istrinya.

"Makasih, mas."

"You're welcome," jawab Rangga menyalipkan helai rambut istrinya.

"Perutnya masih sakit? Mual-mualnya masih?"

"Aakh! Ssst!" ringis Alina berusaha mengangkat bokongnya lagi.

"Sabar, sebentar." Rangga sangat cemas. Kedua matanya menatap takut pada sang istri kala dua tangannya memasangkan celana dalam dan celana seragam pasien. Ringisan istrinya membuat ia ikut kesakitan.

"Akkh! Ssst!"

"Ssut! Ssut! Ssuut! Cuma sebentar." Rangga mengangguk seperti seorang ibu yang takut anaknya kesakitan. Ia tangkup wajah pucat itu, ia beri kecupan penuh cinta di kening.

"Hati-hati, mas."

"Ssuut!"

Tubuh kurus itu digendong ala pengantin. Dengan sigap Alina membuka pintu toilet untuk mereka, lalu suaminya bisa dengan cepat menuju ranjang.

Sesungguhnya mereka saling cinta, termasuk Alina. Namun, fakta besar itu membuat Alina nyaris hancur.

"Hoek! Hmmpt! Hoek! Hoek! Mmmh!"

"Wait, wait, wait!" cegah Rangga mencari wadah dengan sigap.

"Hoek! Hoek!"

"Mmmh! Euungh! Sakiiit, maaas." Alina dibantu memegang baskom oleh suaminya.

"Iya, iya. Sssut. Aku disini, jagain kamu."

Tubuh itu berselonjor di ranjang. Alina menitikkan airmata seiring bahunya didekap dan punggungnya diberi pijatan.

Rangga berdiri merengkuh bahu itu. Ia kecup ujung kepala istrinya. Ia biarkan istrinya menangis.

"Sakiiit. Sakit teruus. Putra ga gini," lirih Alina terpejam tak bertenaga. Ia jadikan dada suaminya sebagai sandaran.

"Maafin, yaa. Maafin anak aku."

"Maafin dia udah bikin kamu mual, bikin kamu sakit," ucap Rangga membelai kepala istrinya.

Alina's Love Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang