BAB 4 [Penolong]

165 24 2
                                    

Suara teriakan di kelas sebelah yang berisik menyuarakan kelegaan mereka sehabis belajar, menandakan bel istirahat pertama sebentar lagi berbunyi. Jingga merasa bisa bernapas lega, karena kelas terlihat hanya beberapa orang. Gadis itu sudah lebih dulu mengganti seragam olahraganya menjadi seragam pramuka, karena sebelumnya mereka punya jadwal olahraga di lapangan basket sekolah.

Jingga begitu menikmati hari ini, karena ia pagi tadi bertemu dengan laki-laki yang disayang: Iqbal Maulana. Jingga mengetuk jarinya beberapa kali, akan teringat sesuatu gadis itu mengambil ponselnya dan melihat last seen Iqbal yang kemarin lusa aktif.

Jingga menekan layar ponselnya pada profil WhatsApp laki-laki itu.  Ia melihat sosok Iqbal yang memunggung dengan kaos hitam miliknya yang bertuliskan 'islam bukan teroris' menatap senja di atas bukit, membuat gadis itu tersenyum hangat.

Jingga memeluk ponselnya. "Gue masih nunggu lo datang ke gue dengan harapan besar. Pertanyaan gue cuma satu, kapan gue bisa sama lo, Bal?"

"Hei kutu!" Jingga tersentak dan menoleh ke sumber suara.


"Gue denger-denger lo nyamperin Iqbal lagi? Gak ada malu-malunya."

Dengan tatapan remeh, Cika menatap Jingga dari bawah ke atas dan beralih sebaliknya.

"Woi, tuli!"

Jingga memilih diam dan tidak menggubris Cika. Gadis itu memilih kembali sibuk pada ponselnya.

Cika yang kesal, lalu mencoba menarik ponsel milik Jingga yang berada di genggamannya. Jingga melihat ponselnya sudah di tangan Cika, lalu berusaha merebut ponselnya.


"Cika, balikin, gak?" Jingga menatap Cika dengan rasa kesalnya. Cika menjulurkan lidahnya dan terdiam sejenak.

Cika ingin memastikan apa yang dilakukan Jingga sehingga tidak seperti biasanya, ketika gadis itu mengganggunya.

"Buset!" Gadis itu tertawa kencang melihat layar ponsel Jingga yang menampilkan profil kontak Iqbal di WhatsApp Jingga.

"Cer! Cer!" Cermin yang sedang menguap lebar pada pojok bangku menoleh pada Cika.

"Lo harus lihat ini, sih."

Cermin berdiri untuk menghampiri dan mengambil ponsel yang ada di tangan Cika dan menyipitkan matanya.

Gadis itu menyunggingkan senyum miringnya. "Sadar diri seharusnya penting buat langkah awal lo saat jatuh cinta sama Iqbal."

Cika tertawa, perkataan dari Cermin membuatnya merasa puas.

"Lo harus baca juga chatnya, Cer."

Jingga menatap Cermin dan Cika secara bergantian, gadis itu melotot.

"Cika, gue gak pernah ikut campur sama urusan lo. Balikin hp gue!" ujar Jingga dengan nada keras sembari mencondongkan jari telunjuknya memperingati Cika.

Cermin melihat Jingga yang membentak sahabatnya tidak terima.

"Ambil aja kalau bisa!" Cermin terkekeh dan memberikannya pada Cika, Jingga segera cepat menangkap ponselnya, tapi usahanya gagal, karena Cermin dan Cika saling mengoper ponsel milik gadis itu.

"Gue bakal aduin lo walas!"

"Sok suhu lo!"

"Sok suhu itu lo berdua!" teriak Jingga, beberapa orang yang masuk terkejut melihat ketiganya dan tidak ada satupun yang peduli dengan kejadian itu, mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.

"Balikin hape gue tolol!"

Cermin mendesis dan melempar buku antropologi tebal ke arah Jingga.

"Aw!" ringis Jingga, ketika buku tebal itu mengenai lengannya, gadis itu meringis ngilu.

"Jangan kasar dong, Cer!"

Fani yang baru saja masuk sehabis mengganti pakaiannya merasa sudah muak melihat kejadian itu lagi-lagi terjadi.

Ia mendekat pada Jingga, Fani hanya merasa kasihan dengan Jingga yang setiap hari selalu menjadi objek bully dua orang gadis ini.

"Terlalu ikut campur gak akan baik buat lo ke depannya, Fan," peringat Cermin.

"Seharusnya lo ngaca. Siapa orang yang tega ngeliatin orang lain dirundung gini?!"

"Munafik!" teriak Cermin.

Cika yang melihatnya akan terjadi pertengkaran besar langsung menarik tangan Cermin hendak keluar, akan tetapi Cermin menepisnya kuat, membuat Jingga mengerutkan keningnya.

"Lo gak apa-apa?" Jingga menoleh pada Fani memilih diam saja.

Jingga mendekat pada Cermin untuk merebut ponselnya kembali.

Jingga tersenyum simpul pada Cika, lalu beralih ke arah Cermin yang menatap sengit pada Fani.

Gadis itu meraih kedua kerah baju mereka dengan dua tangannya dan terkekeh.

"Lo berdua kumpulan sampah, sampah seharusnya gue singkirkan lebih dulu."

000

"Je!" teriak Fani, Jingga berhenti melangkahkan kakinya dan menoleh. Kali ini Jingga ingin sendiri melewati koridor kelas IPS untuk ke kantin, tapi Fani terus memanggilnya.

Gadis itu tersenyum tipis. "Oh, yang tadi. Gue makasih banyak sama lo," ujar Jingga, membuat Fani bingung.

"Gue bukan mau bahas tadi."

Jingga mengerutkan keningnya. "Ada sesuatu yang salah?"

"Gue pengen punya temen."

"Really?" tanya Jingga.

"Bukannya lo punya banyak temen, Fan?" Jingga tidak mengerti dengan Fani, gadis itu juga sering mengamati Fani yang dikelilingi banyak teman sekelasnya.

"Gue pengen temenan sama lo, Je. Lo terlihat beda dari orang-orang dan itu bikin gue tertarik. Pertama kali lo ngelawan mereka berdua itu buat lo keren di mata gue."

Fani tersenyum dan hendak merangkul pundak Jingga, tapi gadis itu langsung mundur selangkah.

"Jangan tertarik temenan sama gue. Sifat jahat gue bakal buat alasan lo ninggalin gue nanti. Tetep batas jadi teman sekelas ya, Fan. Lo terlalu baik buat gue."

"Je, gue serius."

"Gue tahu, lo cuma kasihan."

***

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now