BAB 45 [Sebuah Perasaan]

94 13 4
                                    


"Gue jatuh cinta sama lo."

Pertama kali dalam hidupnya, gadis itu mengambil langkah berani dan keputusan yang membawanya pada hidup penuh warna-warni.

Tidak peduli bagaimana ia hidup setelah ini. Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan dan gadis itu juga tidak peduli atas jawaban yang akan terlontar dari seorang pemuda yang sedang berhadapan dengan dirinya saat ini.

Hatinya harus lega untuk hari ini, detik ini juga bahkan sebelum detik ini beralih pada detik selanjutnya.

Jari jemarinya terjerat erat pada rok birunya, membuat roknya berkerut. Jantungnya seperti dibawa terbang ke langit, dunianya yang semula berputar cepat kini perlahan kehilangan geraknya.

"Gue nggak minta lo buat ngehargain perasaan gue," lanjutnya lagi.

Bibir gadis itu bergetar. "Mulai sekarang gue bakal suka sama lo."

"Lo siapa?" Pemuda itu bingung.

"Atas dasar apa lo suka sama gue?"

"Gue Jingga dari kelas sebelah yang direndahkan banyak guru, karena kebanyakan tololnya dibanding pinter. Mungkin lo bakal ilfeel sama gue."

"Jingga?" Pemuda itu terkekeh. "Jangan gila lo."

"Sebelum kenal lo juga gue udah gila, Bal. Sekarang tambah gila, karena lo. Tanpa alasan, tanpa paksaan dan tanpa berharap balasan."

Ini pertama kali juga dalam hidup Iqbal, pemuda itu tidak bisa merasa tenang. Surat demi surat, chat demi chat, hadiah demi hadiah, teriakan demi teriakan, tatapan demi tatapan, ia dapatkan hingga sekarang dari Jingga. Bagaimana ini bisa terjadi? Iqbal tidak paham mengapa Jingga sangat tergila-gila dengan dirinya.

Bukankah saat pertama kali Jingga mengungkapkan perasaannya Iqbal sudah memberikan kalimat penolakan begitu menyakitkan.

Iqbal merasa keduanya tidak pernah saling mengenal, bagaimana gadis itu bisa jatuh cinta kepadanya yang bahkan berkomunikasi terhitung tidak ada.

"Gue nggak peduli."

Jingga menatap Iqbal lekat. "Gue suka sama lo."

"Gue nggak ada waktu buat ngerespon cinta lo. Lo paham nggak dua tahun lagi kita lulus dari SMP ini?"

Jingga menggeleng.

"Bagi gue, nilai ujian nasional lebih penting dibanding perasaan monyet lo, Jingga!"

"Bal-"

"Fokus sekolah baru berpikir buat jatuh cinta sama gue."

Iqbal membenci takdir Tuhan. Iqbal benci, ketika takdir membawanya pada sosok gadis bernama Jingga.

Pada kenyataannya di dasar berbeda pemikiran, bagi Jingga: Iqbal adalah takdir Tuhan untuk Jingga agar gadis itu punya alasan untuk hidupnya selain mamanya.

Jika, harus berbicara atas takdir Tuhan dan pilihan manusia. Manusia berhak memilih cintanya, tapi ... ada tapinya. Manusia juga berhak untuk tidak mempunyai pilihan atas cintanya.

Sedangkan agar pilihan itu terbentuk, manusia harus hidup atas pemberian takdir Tuhan.

Begitupun hidup itu adalah takdir Tuhan. Entah itu melanjutkan atau berhenti, menolak atau menerima, dan memaksa dirinya tetap ada atau menyerah dengan kegagalan harapannya. Selain bukan dari pilihan, untuk jatuh cinta pada seseorang yang tidak kita duga adalah sebuah takdir.

Manusia tidak bisa melawan dengan segala pertanyaan rasa bingung untuk menjebak manusia lainnya dengan pikiran filsafat.

Takdir yang entah kapan menjadi harapan bahagia di atas adanya pilihan seorang gadis.

Begitupun yang dilakukan oleh Jingga, gadis itu tidak bisa menolak hatinya berlayar ke mana. Tuhan memberinya takdir dengan perasaan cinta yang mendalam untuk Iqbal, untuk melanjutkan cintanya atau tidaknya itu adalah pilihan yang dibatasi oleh Tuhan untuknya.

Dia tidak akan marah atau bertanya-tanya kenapa gadis itu bisa jatuh cinta sedalam ini, karena dia paham itu semua sudah ditetapkan.

"Je, kenapa ngelamun?"

Jingga tersentak. Gadis itu menoleh kanan dan kiri kemudian menoleh di hadapannya.

"Eh, gue nggak kenapa-kenapa, No. Kenapa lo bisa ada di sini?"

"Ada, deh. Lagi mikirin sesuatu, ya? Lo bisa berbagi ke gue."

Kini keduanya berada di perpustakaan, Eno yang ingin mencari buku paket fisika tidak sengaja menemukan Jingga sedang melamun, membuat pemuda itu menarik kursi ke belakang untuk duduk di hadapan Jingga.

"Gue bingung. Gue beneran suka Iqbal atau sekedar pengen hapus rasa penasaran gue buat jadi milik Iqbal."

Eno terdiam, kemudian tersenyum simpul.

"Coba tanya kata hati lo, kemungkinan apa yang lo suka dari Iqbal dan bayangin jika lo udah dapatin Iqbal, lo bisa bahagia sekaligus mendapatkan keuntungan nggak dari cinta yang lo kasih ke Iqbal."

"Kemungkinan?"

Eno mengangguk pelan. "Iya kemungkinan apa dan kenapa lo bisa suka sama Iqbal?"

"Pikirin itu sebelum lo jawab."

Jingga diam, mengembuskan napasnya perlahan. Gadis itu tersenyum seraya berkata, "Gue nggak punya alasan, No. Gue juga nggak tau apa yang gue suka dari Iqbal."

Eno mengangguk-anggukkan kepalanya, ia memegang dagunya berpikir, lalu menatap bola mata Jingga yang kini menatapnya juga.

Eno dapat melihat banyak harapan di sana, membuatnya tidak tega.

"Ah, gue tahu," ujar Eno sambil menjentikkan jarinya.

"Kalau gitu kita coba dari ... gimana lo bisa pertama kali suka sama Iqbal?"

***

"Je, gue butuh lo. Temui gue di rooftop sekarang."

Jingga menatap layar ponselnya, lalu beralih pada seseorang yang sedang memunggunginya. Gadis itu melangkah pelan, agar seseorang itu tidak merasa terusik.

"Lo kenapa?" Dengan pelan, gadis itu bertanya.

Seseorang itu berbalik, menatap Jingga bersama rambutnya berantakan, karena angin.

Iqbal tersenyum dan melangkah mendekat, membuat Jingga memundurkan langkahnya.

"Lo kenapa, Bal?" ulang Jingga.

Iqbal menggeleng. Pemuda itu tetap memajukan langkahnya dan sontak memeluk Jingga.

Gadis itu terpaku dan membisu di tempat. Perlahan isak tangis terdengar dan bahu yang memeluknya berguncang hebat.

Iqbal menangis di pelukannya, membuat Jingga ikut terlarut dalam kebisuan beserta keterkejutannya saat ini.

Jari jemari Jingga bergerak pelan untuk membalas pelukan itu, tapi gadis itu tak berani, ia mengurungkan niatnya.

Iqbal terus terisak, membuat air mata Jingga ikut mengalir.

"Bal-"

"Kasih gue bahu lo, Je, untuk hari ini aja. Gue nggak punya siapa-siapa saat ini."

Jingga mengangguk pelan. Gadis itu membalas pelukan Iqbal, dadanya sesak mendengar Iqbal menangis. Perasaannya campur aduk, gadis itu seharusnya senang Iqbal membutuhkannya, tapi di sisi lain punggungnya terguncang melihat orang yang amat ia cintai kini lemah di pelukannya.

"Bal ... gue ikutan sakit."

***

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now