BAB 58 [Menjenguk]

80 10 1
                                    

Dengan kepala menunduk pemuda itu terus memperhatikan arloji di tangannya. Waktu yang dia tunggu sebentar lagi tiba, ponsel yang sempat ia selipkan pada saku bajunya kembali dipegang untuk menghubungi seseorang.

"Halo, No. Gue udah sampe di sini. Lo udah ngejamin gue bisa ke sana?"

"Belum. Ntar gue telepon balik." Panggilan terputus. Perlahan napas pemuda itu tarik dengan pelan, lalu memerhatikan beberapa orang berlalu lalang dengan hati yang berkecamuk.

Iqbal memilih pergi dari tempat sini dan melangkah ke tempat yang sepi, jantung pemuda itu terus berdetak tak keruan, was-was akan seseorang memergokinya.

Dengan tas yang digendong ia masuk ke dalam toilet rumah sakit dan mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian bebas yang terdiri dari celana pendek dan kaos hitam, ia juga merogoh rokok dan korek api di dalam tas miliknya, setelah itu menyelipkan rokok dibibirnya untuk dinyalakan.

Iqbal memberanikan dirinya datang ke sini setelah mengantar Karin ke sekolah dan memilih membolos pelajaran. Untung saja Eno bisa diandalkan dan merelakan hari ini untuk membantunya bertemu Jingga.

Pemuda itu meringis memandang wajahnya pada kaca toilet yang besar, sudut bibir pemuda itu robek setelah mendapatkan bogeman mentah dari Eno sepulang dari rumah sakit untuk membayar admistrasi Jingga, seharusnya saat itu Iqbal tidak mendatangi Eno ke rumahnya, tapi mau bagaimana lagi Iqbal membutuhkan bantuan Eno kali ini untuk menemui Jingga langsung.

Dempulan asap rokok perlahan ke langit-langit toilet, membuat sekitar toilet penuh dengan asap putih, Iqbal dengan wajah datarnya terus memperhatikan kaca kemudian melihat arloji di tangannya, lalu beralih pada ponsel miliknya untuk menanti Eno menghubungi pemuda itu lagi.

Selang beberapa saat, dering ponselnya berbunyi, membuat perhatiannya cepat pada ponsel, lalu mengangkat panggilan dari Eno, pemuda itu telah menghubunginya kembali.

"Bal, lo sekarang ke sini. Gue ditugaskan Mamanya Jingga buat jagain dia."

"Oke, Jingga udah siuman?" tanya Iqbal sembari mengisap puting rokok yang hampir tandas, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah yang tersedia di toilet.

"Belum, Bal, dari semalem sampai sekarang ."

"Fani ada di sana nggak? Gue takut aja dia bikin keributan. Oh, iya, Mamanya pergi ke mana sampai nitipin Jingga ke elo."

"Aman, sih, Fani ngabarin dia lagi di sekolah dan Mamanya lagi ambil keperluan Jingga di rumah sekalian bersih-bersih diri."

"Oh oke, thanks, No."

Setelah mengatakan itu, Iqbal mematikan panggilan sepihak, lalu berjalan keluar toilet sembari menggendong tas di punggung pemuda itu untuk menjenguk Jingga dan melihat langsung keadaan terkini gadis itu.

Sesampainya di ruang inap Jingga, pemuda itu membuka pintu dan dibuat mematung melihat tubuh Jingga yang terbaring di ranjang rumah sakit, ia dapat melihat wajah Jingga yang pucat.

Melihat kedatangan Iqbal, Eno memilih menyuruh sahabatnya itu masuk ke dalam lebih jauh dan segera menutup pintu.

"Bal, cepetan tutup, ntar lo ketahuan di sini."

Iqbal mengangguk paham dan menutup pintu ruang inap Jingga.

Pemuda itu berjalan pelan menuju tempat Jingga berbaring dan memegang besi ranjang sembari menatap wajah gadis itu yang tertidur pulas bersama tabung oksigen.

Hati pemuda itu seolah tenang, ketika sudah melihat wajah Jingga. Iqbal menggeser kursi untuk mendekat pada ranjang dan duduk di atasnya.

Iqbal meraih tangan Jingga dan mengelusnya pelan. Melihat itu Eno memilih diam dan duduk di sofa tak jauh dari posisi Iqbal saat ini, ia terus memperhatikan Iqbal untuk memastikan pemuda itu tidak melakukan hal yang lebih.

Eno mendelik matanya saat melihat Iqbal hendak mencium tangan Jingga, Eno berdehem keras, membuat Iqbal mengurungkan niatnya.

"Je, maafin gue dan makasih, ya." Iqbal mulai berbicara, ia mengelus punggung tangan Jingga.

"Gue berhutang budi ke lo dan makasih udah mencintai gue setulus ini."

"Makasih udah nolongin orang yang gue sayang, Je. Kalau bukan karena lo gue sama Karin pasti udah dibawa arus bahkan bisa mati di tengah laut. Lo cewek baik yang gue bisa temui di kehidupan gue, bukan cewek baik bahkan lo paling baik di antara cewek di luar sana."

Iqbal menundukkan kepalanya. "Tapi, maaf, Je. Gue gak bisa nerima cinta lo, tapi gue janji deh sama lo, gue bakal lebih bersikap baik agar lo gak sakit."

Pemuda itu tersenyum. "Oh, iya, gue punya sesuatu buat lo."

Iqbal melepaskan tas dari punggungnya dan membukanya.

Pemuda itu meraih tiga tangkai bunga mawar yang diselimuti plastik buket dari tasnya dan meletakkan bunga itu di samping Jingga terbaring.

"Buat lo, anggep aja ini sebagai hadiah gue yang pertama kali buat lo, Je."

***

Wanita paru baya itu kembali masuk ke dalam rumah sakit seusai membersihkan dirinya dan mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan putrinya saat gadis itu nanti sadarkan dirinya untuk dibawa. Kali ini Rita tak sendiri datang melainkan dibantu sopir dan asisten rumah tangganya untuk membawakan barang-barang dirinya dan Jingga.

Rita menghentikan gerak jalannya membuat dua orang yang membantu Rita ikut menghentikan langkah.

"Kenapa, Bu?"

Rita hanya diam untuk mengingat suatu yang janggal. Tidak biasanya perawat rumah sakit tidak menghubunginya untuk membayar admistrasi Jingga yang dirawat. Sepengetahuan Rita, perawat rumah sakit akan menelpon atau memberitahunya untuk meminta tagihan atau uang DP.

"Kalian bawa barang ini masuk, ya, di ruang inap dua belas."

Keduanya mengangguk dan langsung pergi. Sebelum melangkah menjauh, Rita berbelok arah untuk menuju meja resepsionis untuk menanyakan semua biaya yang akan ia keluarkan.

"Halo, Mas." Rita menyapa, membuat sang resepsionis yang terduduk berdiri.

"Iya, halo. Ada yang bisa saya bantu?"

"Untuk total biaya rumah sakit atas nama Jingga Kanistha Putri di ruang 12 itu berapa? Saya ingin membayarnya."

"Jingga Kanistha Putri? Sebentar, ya."

"Sudah dilunasi tadi pagi sekitar jam tiga."

Rita mengerutkan keningnya. "Kalau boleh tau siapa yang membayarnya?"

"Mengenai hal itu saya kurang tau Bu, karena tadi malam yang bertugas sebagai kasir bukan saya melainkan penjaga lain."

Resepsionis itu tersenyum. "Kalau Ibu ingin tau, saya akan menghubungi penjaga yang tadi malam berjaga di sini."

Rita berpikir sesaat kemudian menggeleng. "Tidak perlu repot-repot, mungkin saja Fani anak saya yang melunasinya."

Rita pasti yakin, gadis itu yang melunasinya, karena Fani terus mengingatkan dirinya untuk membayar uang administrasi Jingga yang belum dibayar juga.

"Baik, kalau begitu, Bu. Ada hal yang lain yang bisa saya bantu?"

"Enggak ada. Makasih, Mas."

"Sama-sama, Bu."

Setelah berbincang dengan resepsionis banyak pertanyaan yang menggeluti pikiran Rita, wanita itu masih bingung, jika Fani yang membayarnya berarti gadis itu kembali lagi ke rumah sakit, tapi mengapa Fani tidak menghubunginya terlebih dahulu? Bukankah gadis itu meminta izin pulang, karena ada urusan mendadak. Rita juga tau, Fani akan menemui papanya yang baru saja pulang dari Kanada, tapi ini terlalu mustahil apabila Fani kembali ke rumah sakit lagi.

Rita menepis semua pikiran itu, wanita itu terus berjalan menuju ruang inap Jingga dan membuka knop pintu. Ia memblablakan matanya, wanita itu tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya. Detak jantung yang normal kini berdetak tak keruan, hati Rita bergemuruh hebat.

Rita tidak bisa membayangkan apa yang ia harapkan terjadi sekarang, yakni melihat putrinya yang sudah sadarkan diri sembari terduduk memandanginya dengan wajah tersenyum.

***

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now