BAB 55 [Kehilangan Kesadaran]

67 12 0
                                    

Dengan ego yang ia belakangkan, Fani melepaskan seragam sekolahnya dan hanya memakai tank top untuk menyusul Jingga masuk ke dalam air laut. Fani terus mengejar Jingga yang sudah lebih dulu ke tengah. Apa Jingga tidak menyadari betapa bahayanya itu? Apakah Jingga bisa menjamin gadis itu bisa selamat.

Di sisi lain, Jingga berenang cepat, untung saja gadis itu bisa berenang dengan sangat baik melawan arus pantai. Setelah sampai mendekat pada tubuh Iqbal yang lemas, Jingga kemudian menarik tangan Iqbal dan tubuh Karin yang sudah memucat.

Mata sayu Iqbal memandang kerutan wajah Jingga yang penuh khawatir, akan tetapi perhatiannya teralihkan pada Karin yang sudah tidak sadarkan diri.

"Tinggalin gue, Je. Bawa Karin ke tepi pantai."

Jingga menggeleng kuat. "Lo juga harus ikut gue."

"Gue bisa berenang sendiri."

"Jangan keras kepala, Bal. Lo juga perlu bantuan."

Fani yang sampai menghampiri ketiganya. "Biar gue aja bawa Karin, Jingga lo bantuin Iqbal." Fani berujar dengan napas terengah-engah, napasmu berantakan, karena harus menandingi kecepatan berenangnya Jingga. Jingga mengangguk dan menyerahkan tubuh Karin yang tak sadarkan diri pada Fani.

Sebelum membawa tubuh Karin, Fani mengecek apa denyut jantung dan pernapasan gadis itu masih berfungsi. Fani menghela napasnya, merasa lega, ia kemudian dengan cepat membawanya ke tepian, sedangkan Jingga dan Iqbal menatap satu sama lain.

"Iqbal pegang tangan gue." Jingga menyalurkan satu tangannya, membuat Iqbal terdiam sesaat merasakan sakit pada dadanya yang sudah banyak menelan air, lalu mengangguk lemas.

Keduanya ikut menyusul Fani yang sudah sampai pada tepian. Jingga membantu tubuh Iqbal berdiri, akan tetapi pemuda itu tidak kuat dan membuatnya jatuh ke pasir dengan tubuh telungkup.

Menyadari Iqbal jatuh, Jingga terduduk berusaha meneletangkan tubuh pemuda itu, lalu mengguncang tubuh Iqbal dan menekan dada Iqbal cepat.

Fani yang berusaha melakukan pertolongan pertama untuk Karin dikagetkan Iqbal yang pingsan.

"Je, Iqbal kenapa?"

"Gue juga nggak tau." Jingga meneteskan air matanya dan berupaya mengeluarkan air yang ada dalam tubuh pemuda itu.

"Lo bantu Karin!" ujar Jingga.

Fani mengangguk cepat dan menekan beberapa kali dada Karin.

"Uhuk!" Karin terbatuk air membuat dadanya membusung ke depan. Perasaan lega juga didapatkan dari Jingga, bersamaan kesadaran Karin, Iqbal juga ikut sadar dari pingsannya.

Jingga sontak saja memeluk tubuh Iqbal. "Gue sayang banget sama lo, Bal. Lo jangan bikin gue khawatir lagi, hiksss ...."

Langit orange di ufuk barat mulai menghilang, terganti malam dengan hawa dingin yang menusuk. Gadis itu terus menangis histeris memekakkan malam yang sepi, jantung gadis itu berhasil berdetak tak keruan, bukan karena gadis itu bisa memeluk Iqbal sedekat ini, melainkan perasaan hancurnya melihat sosok pemuda yang teramat ia cintai hampir saja mati di tengah laut, Jingga benar-benar bersyukur kepada Tuhan, gadis itu bisa mendapat kesempatan lagi melihat mata teduh yang sedang ia tatap ini.

Iqbal yang melihat Jingga menangis menyeka air mata gadis itu. "Semua baik-baik aja, Je."

"Lo nggak perlu khawatir."

Jingga tertunduk, menenggelamkan kepalanya pada perut Iqbal, menangis tersedu-sedu.

Iqbal menoleh, melihat Karin yang sedang menatapnya juga.

Pemuda itu bangun melepaskan diri dari pelukan Jingga dan menghampiri Karin.

"Sayang kamu nggak apa-apa?"

Fani yang di samping Karin tersenyum. "Dia baik-baik aja."

Iqbal menggeser duduknya dan mengecek hawa tubuh Karin yang dingin.

Karin ikut bangun mengabaikan Iqbal yang ingin merengkuh gadis itu. Karin menyorot pada wajah Fani dan melihat ke belakang Iqbal di sana Jingga masih menangis tersedu-sedu.

"Gue nggak tau harus ngomong apalagi sama lo, Fan, Je."

Jingga mendongakkan kepalanya. Ia mengelap bulir matanya memandang Karin.

"Kalau bukan karena lo berdua, gue sama Iqbal mungkin bakal jadi mayat apung."

Jingga menggeleng. "Lo jangan bilang gitu, Kar. Lo tau nggak betapa khawatirnya kita." Gadis itu masih tidak menahan kesedihannya, mengingat bayang-bayang kejadian yang baru menimpa keduanya.

Suasana yang mulai larut dan tidak mengenakan Fani akhirnya memutuskan sesuatu. "Sekarang udah malem. Daripada sakit, kita pulang aja. Kejadian ini cukup jadi pelajaran buat lo berdua, terutama lo, Jingga." Fani menoleh pada Iqbal dan Karin yang juga menatapnya, kemudian dengan tatapan tajam mengarah pada Jingga.

"Gue harap lo nggak arogan mutusin hal yang membahayakan diri lo sendiri, Je."

"Tapi, gue bisa berenang, Fan."

Fani berdecak. "Tapi, bahaya!"

Fani bangun, ia membantu Jingga berdiri. Gadis itu memegang pundak lengan Jingga dan menghela napasnya. "Semuanya udah baik-baik aja, Je. Lo nggak perlu nangisin hal yang udah lewat."

Gadis itu mencari ponsel keduanya dan meraihnya untuk diletakkan ke dalam sakunya basah, ia tidak memikirkan barang-barang yang lain, cukup ponsel keduanya dan Jingga yang harus ia bawa pergi.

Fani membawa tubuh Jingga agar melangkah pergi, tapi sesaat mulai menjauh, Jingga dikejutkan suara Iqbal yang memanggilnya.

"Jingga!" Jingga dan Fani menoleh ke belakang melihat Iqbal yang menggendong tubuh Karin ikut menyusul pulang.

"Makasih buat hari ini ya, gue bakal selalu inget jasa lo!" Iqbal tersenyum, Jingga melihat dengan jelas wajah pemuda itu tersenyum ke arahnya diikuti Karin.

Dengan seulas senyum, Jingga mengacungkan jempolnya kanannya dengan bergetar. Setelah itu, Fani kembali menuntun tubuh lemas Jingga berjalan.

Jingga menoleh ke samping, bibir gadis itu bergetar hebat. "Fan ... gue takut ...." Gadis itu kembali mengeluarkan air matanya dengan napas tidak stabil.

Jingga bertanya lirih, "Iqbal nggak bakal ninggalin gue, kan, Fan?"

"Cukup papa gue yang ninggalin mama sama gue, jangan Iqbal. Gue bener-bener cinta sama Iqbal, Fan."

"Pikirin lo aja, Je. Gue harus berapa kali bilang ke elo, hah?! Jangan bodo! Coba aja lo biarin bajingan itu mati berdua sama Karin! Hidup lo pasti tenang, tanpa harus ngeliat kemesraan mereka yang bikin hati lo sakit."

Jingga menggeleng kuat. "Gue nggak bisa jadi bodo amat kayak lo."

"Mata lo buta, ya?! Gue hampir mati lihat lo berenang gitu aja, kalau lo yang tenggelam mati dan mereka nggak kenapa-kenapa gimana?!"

"Lo nggak bakal bisa rasain gimana sakitnya, Fan, ngeliat orang lo cintai hampir mati!"

"Maksud lo, cuma lo aja yang menderita, ya?! Lo cuma ngeliat penderitaan lo terus, lo nggak liat penderitaan gue yang sayang banget sama lo! Kalau bukan karena lo sok jadi pahlawan kesiangan gue nggak bakal bantu mereka berdua, gue bakal suruh mereka mati! Gue benci mereka berdua yang udah nyakitin lo!"

Napas Fani naik turun, hatinya bergemuruh.

"Bukan gitu, Fan," balas Jingga. Fani melepaskan tuntunannya pada tubuh Jingga dengan hentakan kasar, gadis itu naik pitam dan mengepalkan tangannya kuat, lalu pergi melangkah cepat.

"Fan! Gue bisa jelasin!" teriak Jingga. Jingga mengejar Fani yang berjalan ke arah mobil mereka, saat hendak melangkah lagi, Jingga merasakan perasaan yang tidak enak, penglihatan Jingga buram ketika menatap punggung Fani dan sekeliling lampu yang menyala menjadi kabur, dirinya memijit pelipisnya, tapi usahanya gagal, gadis itu terjerembap dan ia kehilangan kesadaran dirinya.

Fani yang mendengar suara jatuh dari belakang, membuat Fani membalikkan tubuhnya, matanya mendelik.

Fani panik dan berlari ke arah Jingga.

"JE!" teriak Fani.

"BANGUN!"

"Gue minta maaf sama lo."

***

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now