BAB 75 [Akhir Kisah]

153 14 3
                                    

"Tidak ada permulaian dalam kisahnya, kenapa harus punya kisah untuk diakhiri? Bukannya kita hidup untuk Tuhan pangku setelahnya."

000

Yogyakarta, 21 April 2027

Bola matanya menelisik langit dengan cahaya rembulan yang memekak keindahan. Hilir angin membuat gadis itu mengusap lengannya yang kedinginan. Gadis berambut panjang dengan rambut yang sengaja itu warnakan menjadi oranye bersinar di tengah cahaya kamarnya yang meredup.

Yogyakarta, menjadi tempat persimpangan untuk lupa tentang dukanya. Kota asing yang menjadi jejak sebagian orang untuk berpijak kehidupan setelah menaruh mimpi yang besar.

Dipandangnya ke bawah, kendaraan berlalu lalang, hatinya bergemuruh. Ia rindu tempat tinggalnya dulu, ia merindukan Fani, tapi Jingga belum ingin pulang. Di sisi lain ini adalah hari istimewa pemuda yang pernah hinggap dalam hatinya, membuatnya kembali teringat banyak kisah masa lalu. Ia juga ingat di mana hatinya kembali hancur, karena saat itu Fani mengabarkan Eno, sahabat Iqbal telah berpulang, karena kecelakaan.

Eno yang tidak pernah menolak keberadaannya dan selalu mendukungnya ikut pergi seperti Mamanya. Saat malam itu ia tidak bisa berhenti menangis, kenapa Tuhan mengambil orang-orang baik lebih dulu? Jingga bahkan belum sempat berpamitan pada Eno. Pemuda itu berhasil menciptakan senyuman di bibirnya, Jingga berharap Eno tenang dan bahagia di atas sana.

Suara ketukan di pintu kamarnya mengagetkan Jingga, gadis itu berbalik dan berjalan melangkah membukakan pintu. Gadis itu tersenyum lebar saat menemukan pemuda berdiri di depannya dengan membawakan satu kardus besar.

"Ini, Je. Gue udah bawain lo kaset-kasetnya," ujar pemuda itu.

"Astagaaa! Kamar lo gelap banget, ini udah malem!"

Jingga memiringkan kepalanya memperhatikan bibir pemuda itu terlihat manis dan menggemaskan saat berbicara.

"Terserah deh, gue harus letakin di mana?" tanya pemuda itu, Jingga yang melamun langsung gelagapan.

"Biar gue aja yang bawa," ucap Jingga segera mengambil kardus berisi kaset-kaset itu. Pemuda itu langsung berdecak tidak membiarkan Jingga membawanya dan masuk begitu saja, membuat Jingga terkekeh.

"Lo peka juga," puji Jingga.

"Iya, ugh, akhirnya!" ucapnya selesai meletakkan kardus itu pada meja belajar Jingga. Pemuda itu memegang pinggangnya, karena menaiki tangga ke kost milik Jingga itu sangat melelahkan.

"Lo mau apain ini kaset-kaset lama? Gue tadi trobos aja, nih, ambil sebanyak-banyaknya di Toko Rongsokan."

"Buat gue teliti modelnya," jawab Jingga menyalahkan saklar kamar kostnya.

"Lo yakin skripsi lo tentang kaset butut ini?" tanya pemuda itu.

"Iya, siapa tau gue nemu film legendaris di sini."

"Ah, terserah lo, deh," balasnya pasrah.

Jingga terkekeh. "Sebagai bentuk terima kasih gue, gue traktir lo makan gimana?"

"Emang lo punya duit?"

Jingga menaikkan alisnya. "Ada lah, gue kemarin gajian."

Leo, pemuda itu mengelus puncak kepala Jingga, membuat gadis itu meringis sambil berujar kesal, "Heh! Gue mahal-mahal ya, perawatan rambut!"

"Iya-iya," balas Leo malas. Leo bingung, kenapa dirinya harus ditakdirkan bertemu dengan Jingga lagi, di universitas yang sama. Sudah empat tahun ini mereka lewati bersama, suka dan duka bahkan semua cerita brutal Jingga termasuk Jingga yang sengaja memperlambat kelulusan perkuliahannya membuatnya geleng-geleng kepala, padahal lulus lebih cepat itu enak, ia lebih bebas dari beban-beban.

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now