BAB 13 [Surat Jingga & Harapan]

101 17 0
                                    

"Kamu bisa percaya pada siapapun, tapi dalam hatimu tidak ada kesempatan kepercayaan, ketika dikhianati satu kali."

***

Selain mencari referensi buku, Jingga juga berniat untuk "numpang adem" di dalam perpustakaan, pasalnya jam kosong hari ini benar-benar menyelimuti kelas Jingga secara penuh, membuat gadis itu merasa bosan di kelas dan meninggalkan Fani diam-diam untuk pergi ke perpustakaan sendirian.

"Gue denger-denger Fani deket sama mantan lo." Jingga menghentikan langkahnya dan melihat Cermin dengan satu temannya sedang berbincang di perpustakaan.

Cermin menyibakkan rambutnya. "Barang bekas gak perlu diomongin di sini."

"Emang udah lo pake?" tanya Sheila.

Langkah kakinya perlahan bergerak dan berusaha bersembunyi. Jingga memperhatikan punggung keduanya dari rak buku.

Gadis itu mengenal suara kedua gadis itu. Suara Cermin dan Sheila, teman sekelasnya.

"Hampir. Lo gak tahu seberapa brengsek dia, Shei. Dia pengen gue tidur bareng dia. Maksa gue neguk pil yang gak gue tahu itu jenis apa, untung Cika bikin gue sadar, Goza gak baik untuk dijadikan pasangan."

"Gila!" Sheila nampak syok, Jingga yang mendengarnya ikut melotot.

Cermin tertawa pelan. "Gue cuma khawatir sama Fani."

"Lo harus ingetin dia, Cer. Dia juga sahabat lo dari SD, kan?"

"Gak lagi, karena Jingga udah bikin Fani ngejauh dari gue."

Mendengar itu Jingga meneguk ludahnya. Dirinya baru saja tahu bahwa Fani dan Cermin pernah bersahabat sebelumnya dan itu sudah sejak lama.

Jingga merasa bersalah dan memikirkan Fani yang tidak sedikitpun menyinggung masalah persahabatan dengan Cermin dan percintaannya kepada dirinya.

"Goza?" ucap Jingga pelan, gadis itu tidak pernah mendengar laki-laki itu sebelumnya.

"Terlalu keren, ya?" Suara kekehan itu terdengar berat, Jingga langsung berbalik arah dan melotot.

"Lo-"

***

"Lo harus jadi pacar gue."

Kalimat sialan. Jantung gadis itu hampir saja jatuh dari tempatnya, hatinya terasa tidak keruan, dan pikirannya berkecamuk hebat.

Bagaimana bisa? Dirinya harus menerima kenyataan bahwa gadis itu sulit untuk melupakan kejadian kemarin. Sesekali dia mendesis berusaha menolak pikiran sialan itu.

"Kar, lo gak apa-apa, kan?" Iqbal bertanya, pasalnya raut wajah gadis itu terlihat merah padam. Mata gadis itu menyiratkan banyak masalah, Iqbal khawatir tentang itu.

'Karin, ayolah! Bersikap profesional' kalimat itu terus saja berkeliaran di kepalanya, mengelilingi bak seekor lalat yang singgah lama sampai menemukan makanannya.

"Karin ...." lirih Iqbal.

"Eh!"

Karin memandang laki-laki di depannya dengan wajah terkejut bersamaan dengan raut bingung.

Akan sadar dengan Iqbal di depannya Karin berdehem dan membuang mukanya, berusaha menghindar dari dua bola mata yang masih menatapnya serius.

Mengingat hari kemarin adalah mimpinya selama ini, tapi gadis itu tidak ingin berbuat gegabah.

Masih banyak hal yang ia lakukan, dibanding harus menjalin suatu hubungan dengan sebutan pacaran itu.

Iqbal yang melihat ekspresi Karin yang menyembunyikan sesuatu darinya membuat laki-laki itu menyipitkan matanya.

"Muka lo pucet, Kar. Lagi gak enak badan?" Lagi, dirinya bertanya, karena tidak ada sahutan pertanyaan balik dari Karin.

Iqbal merasa Karin hari ini tidak nyaman atas keberadaannya.

"Em, emang pucet?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Iqbal, Karin-gadis itu memilih bertanya-dirinya benar-benar bingung harus bagaimana lagi.

"Iya. Lo bengong dari tadi, ada yang lagi lo pikirin? Makanan yang lo beli aja gak disentuh."

"Habisin gih, lalu ke lapangan buat kumpul." Laki-laki itu melirik layar ponselnya dan melihat jam istirahat akan berakhir.

Dengan senyuman lebar, Iqbal mengangkat tangan kanannya untuk mengusap kepala Karin.

Karin yang mendapatkan reaksi tiba-tiba itu meneguk ludahnya.

"Udah kenyang," jawab Karin.

Karin meraih pergelangan tangan Iqbal dan meletakkannya kembalj di atas meja, berusaha menolak secara halus.

"Yakin?"

"Ya-yakin kok, Bal!" gugup Karin.

Dirinya menatap canggung dan reflek saja berpaling arah, merasa tidak nyaman.

"Ada sesuatu yang pengen lo kasih tau ke gue?"

Karin, gadis itu memilih diam, takut berbicara banyak, tapi cukup membuat Iqbal mengerti.

"Kegiatan lo lagi banyak, Kar? Atau ada sesuatu yang lo pikirin?"

Iqbal lagi-lagi bertanya, berbasa-basi untuk melihat dugaannya benar.

Karin segera mengangguk. "Em, minggu depan kita ujian, banyak persiapan dari OSIS untuk penempelan nomor ujian, rapat dan beberapa kegiatan di luar sekolah. Untuk itu ...."

"Gue ngerti," balas Iqbal, laki-laki itu terkekeh.

"Pikiran lo yang berantakan kebanyakan datangnya dari gue?"

Karin mengangguk. "Untuk pernyataan kemarin, kasih gue waktu, Bal."

***

"Lo harus dapat ranking satu Jingga!" Fani mengerat tangan gadis itu dan mengguncangnya semangat, Jingga membuka mulutnya.

"Lo gila?!" teriak Jingga.

"Gue gak gila, tapi lo harus." Jingga membekap mulut Fani.

"Masih ada Leo, Fani!" Fani mengerat tangan Jingga lagi.

"Ini kesempatan besar buat lo, lo harus punya kemajuan dari rangking dua umum yang setiap semester itu," ujar Fani, gadis itu menarik tangan Jingga dan duduk di kursi koridor kelasnya.

"Kesempatan apaan?" Jingga bingung, Fani memberinya banyak teka-teki.

"Kemarin waktu ultah Iqbal, lo gak punya kesempatan buat foto bareng sama dia."

Jingga mendengar itu melebarkan matanya.

"Terus-terus? Gue harus apa?"

"Belajar, biar lo bisa rangking satu umum di angkatan Bahasa dan berdiri di samping Iqbal yang notebone juara umum bertahan di angkatan MIPA dan sekaligus bikin dia bangga."

"Ide lo kali ini bikin gue semangat lagi, Fan."

***

Hey! I Just Want You!जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें