BAB 15 [Cemburu]

137 14 1
                                    

"Kesederhanaan yang lo tunjukin, buat gue ngerasa lo terlalu banyak lebihnya dibanding kurangnya."

***

"Sifat Cermin emang gitu, gak usah heran, Je."

Fani berusaha meluruskan kesalahpahaman di antara Jingga dan perasaan buruknya tentang Goza.

"Gue bisa aja percaya ucapan Karin bahwa mereka sepupuan, tapi tentang Goza gue masih ragu," jelas Jingga sembari melangkahkan kakinya bersama Fani ke parkiran.

"Bisa aja ini taktik Cermin dan satu temennya Sheila-Sheila itu, Je."

"Maksud lo?"

"Dalam artian dia provokasi semua orang demi validasi."

Fani tersenyum pada Jingga dan memeluknya sebentar.

Gadis itu mengangkat satu tangan kanannya di atas bahu kanan Jingga.

Fani paham tentang kekhawatiran tentang Jingga tentang dirinya, tapi setahunya Cermin tidak pernah berhubungan dengan Goza, mantan sahabatnya terus saja menceritakan hal sering dilebih-lebihkan dan mengarang sehingga orang lain menganggap Cermin perempuan yang menjadi korban di sini.

"Ini sering terjadi. Lo jangan terlalu percaya sama Cermin dan yang bisa lo percayai itu gue, sahabat lo, Je."

***

Jingga-dirinya memandangi punggung seseorang yang tak jauh dari arah pandangannya. Jingga sangat mengenal punggung itu, punggung tegap dengan pakaian seragam putih abu-abu dan sepatu hitam khas anak sekolahan berdiri di depan ruangan ujiannya.

"IQBAL!" Gadis itu berteriak sembari menjinjing tas berlarian untuk menghampiri Iqbal, akan tetapi langkahnya terhenti memandangi satu gadis yang keluar dari ruangan itu, gadis itu Karin.

Karin tersenyum pada Iqbal, sesekali tertawa kecil.

Melihat pemandangan itu Jingga menghentakkan satu kakinya dan beralih pergi.

Eno yang tadinya ingin menyusul Iqbal, tapi malah mendapati Jingga yang hendak berbalik arah untuk pergi entah ke mana, dari raut wajah gadis itu sepertinya Jingga tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.

Laki-laki berkacamata dengan gigi putih bersihnya yang tertata rapi dan punggung lebar tegap hanya bisa terdiam menyadari alasan Jingga tiba-tiba saja pergi.

Eno berdecak dan memilih mengejar Jingga. Dirinya ingin sedikit membantu gadis itu.

***

"Gue penasaran sama warna merah," celetuk Eno saat melihat Jingga sendirian duduk di atas rerumputan hijau memandangi satu lapangan luas. Dirinya ikut terduduk di samping gadis itu.

Jingga memilih diam dan mencabut kasar rumput, gadis itu merasa kesal, dirinya memandangi langit pagi sebentar dan menatap ke bawah, melihat rumput subur yang sempat menjadi bahan pelampiasannya.

"ARGH!!!!!!!!" Gadis itu mengacak-acak rumput itu merasa benar-benar kesal.

"GUE CEMBURUUUU!" Dirinya bernapas cepat dan menatap Eno sengit.

"Dia terlalu istimewa!" Eno yang mendengarnya menautkan kedua alisnya. "Warna merah atau Iqbal?"

"Dua-duanya, lah!" Gadis itu menatap remeh. "Ngapain lo nanya begitu? Apa ada sesuatu?"

Eno menoleh sebentar pada Jingga dan menggeleng cepat. "Gue penasaran setiap pita merah yang lo iket disurat itu."

Jingga mendengarnya menatap Eno dengan perasaan senang. "Jadi Iqbal gak buang suratnya?"

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now