BAB 51 [Sikap Tidak Sopan]

56 11 0
                                    

Keheningan lama terjadi sejak Iqbal menolak pemberian dari Karin. Gadis itu sama sekali tidak membuka suaranya sama sekali, Karin merasa tidak enak dengan barang kejutannya untuk Iqbal. Meskipun merasa sedih, dengan memaksakan hatinya, Karin berusaha memaklumi kondisi Iqbal, mungkin saja ada rasa trauma dengan pita merah, yang membuat Iqbal berkata seperti itu.

"Mau gue anterin ke mana?" tanya Iqbal, sejak tadi ia memperhatikan Karin yang melamun di sampingnya.

Karin menunjuk arah depan. "Jalan aja lurus, kalau sudah sampai gue bakal bilang ke elo."

Iqbal mengangguk dan memasang sabuk pengaman Karin, lalu beralih memasang sabuk pengamannya. Melihat Karin yang tidak beraksi apa-apa, ia mengembuskan napasnya.

"Gue minta maaf sama lo."

"Hum? Soal?" Karin sontak menoleh. "Masalah tadi, ya?" tanyanya lagi.

Iqbal mengangguk. "Gue nggak mau hal-hal yang gue benci itu datangnya dari elo."

"Emang ada apa, sih, Bal?" Karin bertanya, dirinya benar-benar tidak paham arah pembicaraan Iqbal, yang membuat dirinya harus bersiap memasang telinga, agar bisa memastikannya dengan jelas.

"Enggak, lo pasti kecapean." Setelah mengatakan itu, Iqbal mulai fokus mengendarai mobilnya untuk mengantar Karin pulang.

"Kalau lo tau penyebabnya, gue jamin lo nggak akan kasih gue pita merah lagi."

***

Jingga yang hendak keluar dari toilet tiba-tiba menghentikan langkah, gadis itu merogoh saku seragam putih itu untuk mengambil ponselnya yang berbunyi.

"Halo!" Suara keras dari telepon membuat Jingga menarik napasnya.

"Gue pusing, Fan. Gue pusing!" ujar Jingga kesal, dirinya tau Fani akan membicarakan apalagi, gadis itu pasti terus memaksanya untuk mencoba banyak hidangan makanan yang berada di stand jualan. Penyebab gadis itu bisa di toilet, karena Eno dan Fani memberinya banyak pentol pedas, yang membuat Jingga harus buang air besar, karena perutnya terasa nyeri.

"Lo masih di toilet?" tanya Fani, mengabaikan keluhan Jingga.

"Ya, gue masih di toilet dan gue gak mau lagi ke tempat itu. Panas, sumpek, rame, dan banyak banget yang bikin gue darah tinggi."

"Ha? Lo bilang apa?! Di sini rame!" Fani berteriak.

"Udah, lah, Fan. Gue gak bakal ke sana lagi."

"Yudah, gue susul lo," balas Fani, lalu mematikan teleponnya.

Melihat kelakuan sahabatnya yang tidak sopan, Jingga memilih untuk meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku dan berjalan.

Ia memperhatikan tidak ada satupun orang yang berkeliaran apalagi arah menuju kantin yang tidak jauh dari ia berdiri, semuanya seolah fokus pada kesibukan acara, yang membuat Jingga bisa meredakan perasaan lelahnya.

Jingga yang merasa jenuh, akhirnya memutuskan untuk berjalan ke arah taman berdekatan dengan kelasnya Iqbal, kebetulan di sana memang tempat terdekat di antara tempat yang sering Jingga kunjungi.

Gadis itu mencoba melepaskan rok kain yang ia kenakan kebetulan Jingga mengenakan celana abu-abu panjang, agar gadis itu lebih leluasa berjalan dan memasukkan kainnya ke dalam tas.

Sesampainya di taman, Jingga disambut angin dan tempat teduh, gadis itu akhirnya duduk di salah satu kursi di bawah pohon dekat kelas Iqbal, bukan karena Jingga ingin menarik perhatian Iqbal, tapi tidak ada tempat sepi kecuali arah kantin dan taman ini.

Gadis itu mulai memejamkan matanya pelan, membayangkan dirinya berada sendiri di dalam dunia indah khayalannya. Baru hendak menikmati imajinasi yang ia susun di dalam kepala, Jingga dikejutkan pada suara gesekan sepatu, ia menoleh ke sana-kemari untuk mencari sumber suara.

Pupil mata gadis itu melebar melihat di samping kanannya yang berada dekat sudut belakang kelas XII MIPA 1 di dekat taman tempatnya berisitirahat, ia melihat dua orang yang saling tersenyum dan tertawa.

Jingga sontak saja berdiri untuk pergi, gadis itu tidak ingin keduanya menyadari dirinya berada di sini. Dengan gugup, gadis itu menundukkan kepala sambil membawa tasnya.

Ia berdecak kesal, karena dirinya ceroboh dan tidak berpikir dua kali untuk datang ke sini. Jika saja dirinya tidak ke sini, Jingga tidak akan melihat dua orang itu.

Dengan keyakinannya, gadis itu melangkah pelan, tapi langkahnya terhenti pada dinding yang menghalangi dirinya dan dua orang yang sedang asik bercanda.

"Makasih, ya, bunga ini. Gue suka." Karin memperlihatkan setangkai bunga tersebut, lalu menciumnya, membuat Jingga memperhatikan seksama dan mengintip dari kejauhan.

Jingga memperhatikan Iqbal mengangguk. "Gue ikutan seneng kalau lo seneng."

Dengan mata menyipit, gadis itu berusaha melihat dengan jelas Karin mengeluarkan sebuah botol kecil sembari tersenyum ke arah Iqbal.

"Gue juga ada sesuatu yang kecil buat lo, semoga lo juga suka. Ini ambil," suruh Karin, membuat Iqbal memperhatikan botol ukuran sedang itu.

Jingga menyandarkan punggungnya pada dinding, berusaha untuk tidak peduli, gadis itu sejenak memejamkan matanya, lalu memilih tidak ingin melanjutkan aktivitas mengintipnya dan pergi. Sudah cukup Iqbal mematahkan hatinya, dirinya harus bisa mencari kebahagiaan.

***

Seorang gadis menepuk pundak Jingga. Jingga yang sedang duduk di kelas sontak saja menoleh ke belakang.

"Ngapain lo di sini? Gue cariin juga."

"Gue butuh angin." Setelah mengatakan itu, Jingga pergi keluar kelas yang membuat Fani menarik napasnya, dia sudah menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi pada Jingga.

"Je, berhenti!" bentak Fani, membuat Jingga menghentikan langkahnya.

"Gue lagi butuh sendiri!" ucap Jingga lantang.

Fani menarik tangan Jingga kuat dan membawanya pergi ke roftoop di mana tidak ada siapapun yang di sini.

"Kenapa, sih, lo?!" teriak Jingga.

"Je, gue muak ...."

"Muak kenapa, hah? Gue nggak ada salah sama lo."

"Lo emang gak salah, tapi diri lo sendiri yang bermasalah, Je!" Fani menunjuk dada Jingga kuat.

Fani tersulut. "Gue muak liat lo dengan gilanya lo nunjukin rasa cinta lo yang bahkan dia aja gak mau dengernya. Sekali aja, dalam ingatan lo, lo benci dia."

Mendengar kalimat yang terlontar oleh Fani, membuat Jingga membatu di tempat dan tertawa kecil, miris.

"Gue nggak bisa."

"Bisa, lo bisa, Je!" sentak Fani. Gadis itu mengguncang-guncangkan tubuh Jingga, agar sahabatnya bisa sadar kembali.

Jingga tetap pada pendiriannya, ia menggeleng kepalanya dan sontak mendekap erat Fani. "Sebentar aja," lirihnya.

Fani membuka mulutnya, terkejut dengan sikap Jingga yang tiba-tiba memeluknya.

"Gue izin nangis, ya?" Setelah mengatakan itu, Fani dapat merasakan tubuhnya bergetar, karena Jingga yang menangis di pelukannya.

Fani yang mendengarnya langsung membalas dekapan Jingga erat. "Sakit ya, Je?"

"Iya ...."

"Gue nyerah aja ya, Fan?"

***

Hey! I Just Want You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang