BAB 33 [Luka Kecil]

88 14 0
                                    

Senyum miring.

Karin puas. Dia puas dengan tubuh Jingga yang membeku di tempat.

Mata semua orang memandang ke arah Iqbal yang menahan tangan gadis itu saat hendak menampar Karin, sosok gadis yang akhir-akhir ini membuatnya geram.

Api amarah yang ada di mata Jingga mulai mereda saat mata Iqbal menatapnya dalam, seolah di sana pemuda itu mengisyaratkan sesuatu. Sesuatu yang menyuruhnya berhenti dan membuat Jingga tidak bisa berkutik.

"Apa gue harus kasarin lo baru lo bisa berhenti usik kehidupan gue, Je?" tanya Iqbal dingin.

Jingga masih membeku. Nasibnya sekarang benar-benar sial-sial. Bibirnya kelu, ketika melihat kilat amarah, kekecewaan dan tidak percaya dari mata Iqbal.

Karin yang melihat semua orang terdiam mengambil ancang-ancang agar nantinya dirinya tidak tersudutkan, ia memasang wajah sedihnya, gadis itu memeluk lengan Iqbal dengan manja dan menangis.

"Sayang ..." Karin merengek.

"Aku cuma salah paham, aku reflek pegang lengannya biar dia ngaku atas perbuatannya dan eh malah Jingga angkat tangannya buat nampar aku." Karin menunjuk Jingga.

Semua orang memilih diam dan tak berani bersuara, penjaga kantin ingin menolong tapi juga ikut terurung, karena ingin melaporkannya pada pihak sekolah atas kejadian perundungan beberapa saat lalu.

Cika dan Lina yang masih terkejut mendekat, mereka menghampiri Karin. "Lo bener, Kar. Seharusnya Jingga gak bersikap kasar sama lo," ujar Lina.

"Kamu denger sendiri, kan, Bal?" Iqbal mendengar itu, tapi pemuda itu memilih diam saja dan berusaha menyingkirkan semua pikiran kalut dan amarahnya terhadap Jingga.

"Iya, Bal. Kasihan Karin, untung lo datang tadi kalau gak datang pasti Karin bakal lebih disakitin Jingga." Cika tersenyum miring, gadis itu merasa puas, Jingga salah berurusan dengan dirinya. Ia akan membalaskan dendamnya atas kata-kata Jingga barusan.

Cika kembali bersuara. "Lo semua gue jamin gak ada yang buta, lo semua setuju kan, apa yang gue omongin?" Suara Cika mengeras, semua orang mengangguk-anggukkan kepala yang membuat Cika terkekeh. Mereka takut nanti Cika akan memberi pelajaran keras untuk mereka dan nasib mereka akan sama dengan Anton beberapa saat yang lalu.

"Terus lo kira Karin gak nyakitin Jingga, hah?!" teriak Fani emosi. Dia tidak setuju apa yang dibicarakan Cika dan Lina yang menyudutkan Jingga.

"Lo jangan percaya gitu aja, Bal. Lo lihat lengan Jingga yang berdarah."

Iqbal beralih pada lengan Jingga, ia melihat beberapa tetes darah jatuh.

"Gue gak sengaja, Fan! Gue gak tahu kalau bukan Jingga pelaku pembullyan di sekolah!" balas Karin.

"Sedangkan Jingga sengaja mau kasarin gue, lo lihat sendiri, kalau gue laporin ke kepala sekolah dia bakal kena masalah!" lanjutnya lagi membela dirinya sendiri.

Fani membuka mulutnya tak percaya, bagaimana Karin bisa mengatakan bahwa dirinya tidak sengaja? Dan malah membenarkan perbuatannya tadi.

"Lo diem berarti gue bener!" sentak Karin.

"Tapi lo gak kenapa-kenapa kan, sekarang? Gak ada yang lecet yang datangnya dari Jingga, kan?!"

"Kalau gak ada Iqbal mungkin gue bakal trauma! Dan pipi gue bakal bengkak! Bahkan berdarah! Jingga harus mengakui perbuatannya dan meminta maaf sama gue!" final Karin.

Fani mendengarnya mngepalkan kedua tangannya.

"Apa yang mau dingakuin, Kar? Jingga gak bersalah wajar dia bales perbuatan lo yang kek anjing!" bentak Fani, lalu menarik tangan Iqbal ke bawah agar melepaskan lengan Jingga hingga terlepas.

"Lepasin Jingga!"

"Lo semua tolol!" teriak Fani lagi.

Bagaimana bisa dirinya menerima sahabatnya diperlakukan seperti seorang penjahat. Semua orang tidak ada satupun memihak mereka berdua, membuat Fani geram.

"Je lengan lo!" Fani khawatir, gadis itu ingin mengajak Jingga pergi, akan tetapi Iqbal langsung mencegatnya.

"Gak perlu, luka kecil gak sebanding sama kesalahan besarnya."

"Luka kecil?" racau Jingga.

Cermin menghela napasnya, gadis itu bingung harus membela siapa. Di sisi lain, Cika adalah sahabatnya di sisi lain juga perbuatan Cika itu salah dan merusak suasana kantin yang ramai dengan teriakan pesanan.

"Ya, luka kecil, karena luka yang di lengan lo itu sepele." Iqbal menatap Jingga, membuat kedua mata mereka tak pernah lepas. Jingga dengan isyarat matanya berusaha menjelaskan dirinya tidak memulai masalah ini.

Eno yang baru saja tiba di kantin terkejut, ia tadi memilih ke toilet lebih dulu harus dihadapkan pada Iqbal yang sedang berhadapan pada Jingga. Pemuda itu bingung kejadian apa yang sudah terjadi di sini, sehingga suasana terasa dingin dan mencekam.

"Gue mau lo berhenti Jingga."

Jingga menggeleng pelan, kepalanya yang kaku kini perlahan bergerak ke kanan dan kiri secara pelan. Ia tidak ingin Iqbal menyuruhnya berhenti begitu saja.

"Gue udah punya Karin. Lo perempuan seharusnya ngerti perasaan perempuan lain."

Jingga menggeleng lagi. "Gue gak ganggu hubungan lo, Bal. Masalah gue sama Karin tadi gak ada hubungannya sama lo dan lo ikut campur gitu aja walaupun lo mikirnya gue yang ikut campur masalah lo padahal gak sama sekali."

"Karin itu pacar gue, semua yang nyakitin dia berurusan sama gue!" Iqbal berusaha memperingati Jingga, tapi gadis itu sama sekali tidak gentar.

"Semua?" Jingga berdecih, dirinya merasa dibodohi sekarang. "Walau orang itu benar sekalipun? Terus Karin punya hak nyakitin orang lain? Dan itu juga berurusan sama lo?"

"Naif banget lo, Bal!" Jingga tersenyum miris. Kedua bola matanya yang hampir mengeluarkan beberapa tetes air mata ia bendung kembali dengan menatap ke atas. Ia melupakannya luka goresan dengan darah yang mulai mengering dan lengannya berubah menjadi bengkak.

Jingga benar-benar patah hati sekarang. Hatinya mencolos, merasakan sakit yang luar biasa di hatinya.

"Gue tau kenapa lo pacaran sama Karin, karena lo pengen gue enyah dari hidup lo. Lo gak perlu berbuat banyak gitu, Bal. Gue bisa berhenti kalau lo nerima gue sebagai seorang gadis yang suka sama lo, ngerhargain sedikit aja keberadaan gue."

"Gue butuh respon baik lo, Bal. Gue haus sama pujian lo, pengakuan lo."

"Kalau lo bisa berhenti, kenapa lo gak berhenti sekarang?"

"Karena gue masih sayang sama lo ...."

"Sayang banget," lanjut Jingga.

Iqbal tertegun, hatinya tiba-tiba bimbang. "Lo cuma obsesi Jingga! Lo gak beneran cinta."

"Kalau gue obsesi berarti cinta gue lebih besar dari sebuah cinta, Bal."

"Ngelantur! Omongan lo kelewat batas, Je! Gue pacar Iqbal, gue yang berhak bilang itu!" balas Karin, ia tidak suka jika Iqbal berbicara dengan nada lembut pada Jingga apalagi gadis itu terus-terusan membicarakan perasaannya pada pacarnya.

"Sayang ayo pergi!" Karin terus bergelanyut di lengan Iqbal dengan manja, membuat Fani juga ikut membujuk Jingga.

"Je ayo balik! Kayaknya kita harus makan di kelas aja, gue bakal suruh penjaga kantinnya untuk anterin makanan."

Jingga mengangguk dan keduanya berbalik untuk meninggalkan kantin dan menuju ke kelas, tapi lagi-lagi Iqbal menahan gadis itu, menahan lengan Jingga satunya.

"Lo boleh pergi, tapi lo harus minta maaf dulu sama Karin, pacar gue."

***

Hey! I Just Want You!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ