BAB 72 [Hari Kelulusan]

67 8 0
                                    

"Aku sekarang percaya. Dunia yang kuanggap akan selamanya juga bisa pergi. Duniaku, Mamaku."

000

Satu bulan berlalu. Kehidupan Jingga yang menurutnya harus berhenti, kini perlahan dipaksa berjalan. Itu semua karena Fani, gadis itu terus memberikannya perhatian. Jingga mengedarkan pandangannya melihat orang-orang sedang sibuk dengan penampilan mereka.

Wajahnya pucat, kantung mata yang menghitam, tubuhnya kurus, Jingga seakan lupa untuk mengurusi dirinya sendiri. Sejak mamanya meninggal Jingga lebih banyak mengurung diri di dalam kamar untuk menghabiskan waktu menangis sekuat-kuatnya.

Teriakan orang-orang memanggil, tangisan anak kecil dan gerutuan orang tua temannya yang menemani mereka wisuda mengisi benak di kepalanya. Suara nyanyian diiringi musik menambah suasana yang ramai.

"Mama hati-hati dong jalannya."

"Iya, sayang."

Jingga menatap dua orang yang sedang bergandengan tangan. Jingga mengenalinya, itu Upi, teman sekelasnya sedang berjalan bersama mamanya.

Andai saja mamanya ada di sini, dirinya juga akan turut merayakan. Air matanya tumpah, membuat gadis itu merunduk. Hatinya hancur, benar-benar hancur.

Semua yang terjadi di dalam hidupnya mematahkan arah hidupnya. Berbagai memori indah bersama mamanya menciptakan kerinduan yang amat dalam bagi Jingga.

"Mama," lirih gadis itu sambil terisak.

Bulir air matanya membasahi wajahnya, gadis itu masih merunduk.

"Mama lo nggak bangga kalau lo terus-terusan gini." Jingga menghentikan tangisnya, ketika seseorang tiba-tiba bersuara ditambah dua uluran telapak tangan mengadah mengarah pada wajahnya yang merunduk.

Gadis itu mendongak, Jingga menatap seseorang itu dalam pandangan kosong.

"Air mata lo nggak boleh jatuh lagi, Je."

Jingga tidak menjawab, gadis itu memperhatikan pemuda dengan pakaian formalnya sedang menatapnya dengan tatapan dalam.

"Ayo duduk, sejam lagi nama lo pasti dipanggil sebagai siswi terbaik."

Pemuda itu memperhatikan wajah Jingga yang sudah basah, make up milik gadis itu juga luntur, membuat ia langsung berinisiatif mengambil sapu tangan di kantung celananya dan mendekat pada Jingga, membuat Jingga tersadar dari lamunannya.

Gadis itu memundurkan langkahnya. "Enggak perlu berlebihan, lo itu perusak handal."

Tangan Iqbal terhenti, pemuda itu menarik napasnya panjang, kemudian merunduk, lalu mengangkat kepalanya lagi.

"Je, gue minta maaf."

Jingga menatap nyalang Iqbal. "Permohonan maaf lo nggak bisa bangunin mama gue lagi."

Dengan sorotan kebencian, Jingga berdecih, lalu meninggalkan ruangan yang penuh dengan keramaian. Gadis itu mengelap bulir matanya dengan telapak tangan sambil berlari, hatinya rapuh.

Alasan dia hidup juga sudah tiada, gadis itu terus berlari mencari tempat sepi. Tidak peduli dengan hari kelulusannya, Jingga hanya ingin bertemu dengan Mamanya, tapi itu mustahil.

"Gue benci Iqbal!"

"Gue benci diri gue sendiri!" teriak Jingga saat berada di pohon, gadis itu bersandar, ia tidak peduli bagaimana kondisi wajahnya sekarang. Hasil riasan wajah dari Fani sudah luntur seperti kebahagiaannya.

Gadis itu belum bisa mengikhlaskan kepergian mamanya. Ia masih dapat merasakan kehadiran mamanya setiap kali gadis itu ingin terpejam.

Jingga memegang dadanya. "Sakit Tuhan."

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now