BAB 34 [Belajar Dewasa?]

79 12 0
                                    

"Biadab!" Fani mengumpat keras sembari duduk di kursi panjang kantin, gadis itu masih marah atas kejadian Iqbal yang meminta Jingga untuk meminta maaf kepada Karin, jelas-jelas Karin yang salah di sana.

Jingga membawa dua mangkuk mie ayam untuk diletakkan di atas meja, lalu duduk dan tersenyum. "Terpenting gua gak ngikutin kata-kata Iqbal, kan?"

"Tapi, Iqbal mikir lah, dikit! Seenaknya banget mentang-mentang dia disukai sama lo." Dengan kesal, Fani menuangkan cabai dan kecap yang banyak di atas mangkuknya.

"Wajar," ucap Jingga sambil terkekeh, ia memandang Fani. "Orang-orang yang merasa dirinya dicintai selalu gitu, Fan. Seenaknya, haha!"

Fani menggeram, ia mengaduk-aduk kuah mie ayamnya dengan penuh emosi. "Kalau gue jadi lo, gua bakal berhenti anjir! Gue bisa cari yang lain dan-" Fani menyuapkan sesendok mie ayam yang ia gulung dengan garpu dan mengunyahnya cepat.

Jingga masih menunggu ucapan selanjutnya dari Fani. "Dan?"

"Dan gua bakal berusaha mencintai seseorang yang cinta sama gue! Kalau gak nemu juga gue bakal milih jatuh hati sama seseorang yang bisa ngerhargain gue bukan kayak manusia biadab itu, Jingga!"

Jingga menghela napasnya, ucapan Fani yang menyuruhnya berhenti itu hanya sebuah lontaran sia-sia, itu semua susah untuk diterapkan di kehidupan nyata, apalagi hatinya yang masih mencintai Iqbal.

"Je! Gue mohon lo mulai buka hati sama yang lain."

"Gak bisa, gue cintanya sama Iqbal, mau sebanyak apapun cowok di dunia ini kalau gak setuju sama hati gue mau air liur lo abis juga gua gak akan mau."

Fani memutar bola matanya, gadis itu menatap sebal. "Terserah lo, deh. Kalau sakit hati mending lo pacarin temennya itu."

"Siapa?"

"Eno, emangnya siapa yang mau temenan sama manusia biadab itu?"

***

Matanya menyipit memperhatikan kondisi seseorang yang menjadi kekasihnya sekarang, pemuda itu khawatir saat mata teduh nan bercahaya itu tak terlihat bersemangat sejak tadi.

Ia berdehem pelan dan menoleh ke samping kanannya, tepat gadis itu duduk. Pemuda itu memikirkan kata-kata yang pas ia ucapkan untuk membujuk sosok gadis yang sekarang menjadi miliknya itu.

"Kar, atas nama Jingga aku minta maaf." Karin yang asik dengan ponselnya mendengus.

"Ya, aku maafin." Tanpa menoleh dan membalas tatapan Iqbal, Karin lebih tertarik dengan sesuatu di dalam ponselnya itu.

"Kamu marah?"

"Gak, cuma kesel aja." Gadis itu tetap fokus pada ponselnya.

Iqbal menghela napasnya. "Kalau ngomong sama aku jangan fokus ke lain."

Mendengar itu, Karin ikut menarik napasnya dan menoleh. Mata mereka bertemu, membuat Iqbal tersenyum.

Iqbal meraih kedua tangan Karin, pemuda itu mencium punggung tangan gadis itu dengan lembut.

"Kar, aku tau kamu juga salah di sini dan aku paham kamu begitu, karena Jingga selalu ganggu hidup kita. Aku gak bermaksud menyalahkan kamu soal tadi, tapi kelakuan kamu nyakitin Jingga sampai berdarah gitu, seharusnya kamu juga minta maaf dan tanggung jawab."

Karin terpaku, gadis itu diam dengan kedua bola matanya terarah serius dengan kedua bola mata Iqbal.

"Mau belajar dewasa, Kar?" Iqbal bingung harus bagaimana lagi, Jingga selalu saja ada di dalam semua masalah di hidupnya.

"Gimana? Kamu paham sekarang?"

Karin terkekeh geli, gadis itu lalu tertawa kecil.

"Dewasa, Bal? Aku gak paham sumpah jalan pikir kamu, kamu itu sekarang pacarku! Yang seharusnya bersikap tegas itu kamu! Bukan aku! Kamu harus tegas ke Jingga dan buat dia berhenti tergila-gila sama kamu, Bal!"

"Aku udah coba semuanya, Kar." Iqbal tidak berbohong, pemuda itu juga sadar sudah melakukan segala cara yang menyakiti Jingga, tapi selalu gagal dan membuatnya hampir gila, karena semangat Jingga untuk mendapatkan perhatiannya itu selalu bertambah besar dan tak pernah sedikitpun padam mau itu sekecil atau sebesar apapun luka yang Iqbal toreh.

"Lakuin lagi! Tegasin!"

"Gimana caranya?" Iqbal pasrah, pemuda itu sudah tidak bisa berpikir lagi.

"Kalau perlu, kamu sakitin dia sampai dia denger nama kamu aja muak."

***

Eno melambaikan tangannya pada Fani, membuat gadis itu yang hendak masuk ke dalam kelas menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan dirinya tak salah lihat.

Menyadari itu Eno terkekeh dan mengangguk, membuat Fani ikut terkekeh.

Fani langsung berjalan menghampiri. "Kenapa, No? Em, kelas lo jam kosong?" tanyanya membuka pembicaraan.

"Gak, gue izin ke toilet tadi. Gue mau nyamperin Jingga di kelas, takut gak keburu dan kebetulan ada lo."

"Mau gue panggilin?" tawar Fani.

"Gak usah, ada lo udah cukup, Fan."

"Maksudnya?"

"Gue mau ngasih ini ke Jingga." Eno memberikan satu flashdisk dan tersenyum simpul.

"Ini punya Jingga. Kayaknya gua gak bisa nyimpen lama-lama," ucap Eno.

"Isinya apa?"

"Musik favorit Jingga dan beberapa file penting." Fani mengangguk, gadis itu menerima flashdisk tersebut.

"Bel pulang bentar lagi, lo gak siap-siap, No?"

"Habis ini. Gimana sama lukanya Jingga? Gak separah istirahat pertama tadi, kan?"

Fani menggeleng. "Jingga baik-baik aja kok, No. Makasih ya, udah nanyain itu, Jingga gak kenapa-kenapa."

"Sama-sama, sana ke kelas ntar gurunya marah."

"Jam kosong, kalau gitu gue cabut dulu."

"Sebentar." Eno menahan lengan Fani dan kembali tersenyum.

"Kenapa, No?"

"Gue mau ngomong sesuatu."

"Apa?"

"Gue suka sama Jingga."

***

"Je!" Jingga yang ingin bersiap-siap untuk pulang mendongak dan melihat Fani.

"Lama banget lo ke toiletnya, njir!"

Fani terkekeh dan duduk di samping gadis itu. Kebetulan mereka jam kosong untuk pelajaran terakhir membuat kelasnya dipenuhi kebisingan dan terisi dengan kesibukan masing-masing.

"Biasa ngedennya lama," sahut Fani dan menunjuk flashdisk beberapa saat lalu diberikan oleh Eno.

"Buat lo, Je."

"Apa tuh?" Jingga menghentikan aktivitasnya untuk bersiap-siap diri.

"Flashdisk, kata si Eno ini punya lo."

"Kok, bisa ada di dia? Bukannya gue kasih buat Iqbal?"

"Kurang tahu, mungkin aja Iqbal ngasihnya lewat Eno?" tanya Fani, Eno hanya menyuruhnya untuk memberikan ini kepada Jingga tanpa alasan.

"Kenapa dikembalikan?" Lagi-lagi Jingga bertanya.

"Mana gue tahu. Btw, lo tadi dianterin kan, ke sekolahnya?"

Jingga mengangguk. "Sama mama."

"Telepon mama lo gak usah repot-repot jemput, gue bisa sekalian kebetulan bawa mobil."

Jingga yang masih bingung tentang benda kecil itu memilih menerimanya dan memasukannya ke dalam saku rok.

"Emangnya lo gak kerepotan, Fan?"

"Sedikitpun sih, gak." Fani mulai bersiap-siap untuk meletakkan semua bukunya dan alat tulis ke dalam tas.

Jingga tersenyum, gadis itu memeluk Fani, membuat Fani tertawa.

"Sebelum pulang gue traktir bakso kesukaan lo deh!"

"Seriusan?!" Mata Fani mendelik, gadis itu merasa terkejut dan senang.

"Apa wajah gue kelihatan sering bercanda, Fan?"

***

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now