BAB 74 [Totebag}

51 8 0
                                    

"Gue bentar lagi ke sana, kok."

Fani membelalakkan matanya, ketika membaca pesan tersebut. Dengan segera Fani langsung membalas pesan itu dan menoleh pada Eno di sampingnya.

"Jingga bentar lagi ke sini," ungkap Fani girang.

Eno yang sibuk menelepon Jingga menoleh, pemuda itu menarik alisnya sebelah. "Tadi gue telponin daritadi nggak diangkat."

Fani langsung menunjukkan pesan tersebut, membuat Eno bernapas lega.

"Untung baru pembukaan acara," ujar Eno. Pemuda akhirnya bisa duduk dengan santai.

"Emang nyebelin banget Jingga, bikin jantung gue hampir jatuh."

Eno terkekeh. "Kasihan banget lo."

Fani, gadis itu mencibir dan memutar bola matanya malas, lalu melihat Karin yang sedang berdiri di atas podium menyambut kedatangan kepala sekolah dan dinas pendidikan daerah.

Gadis itu teringat tentang hubungan Karin dan Iqbal, ia sempat mendengar sebulan lalu saat insiden kematian Mama Rita sekolah digemparkan oleh berita Iqbal dan Karin telah usai dengan segala hubungan romantis yang mereka ciptakan.

Fani sejujurnya tidak peduli, tapi ia yakin dari tragedi itu, gadis itu tau bahwa Iqbal adalah pemuda berengsek yang memiliki keegoisan tinggi. Mengingat kepergian Mama Rita, diam-diam Fani selalu datang ke kuburan Rita dan menangis sedih.

Gadis itu sudah benar-benar menganggap Rita sosok Ibu berhati malaikat, semoga Tuhan memberi Rita kebahagiaan luar biasa di atas sana.

Fani menyeka air matanya, ini bukan momen untuk meratapi kesedihan, ini adalah momen bahagia karena gadis itu akan menempuh kehidupan sebenarnya.

"Terima kasih untuk sambutan kepada Bapak Harianto selalu Kepala SMA 1 REMBULAN, sekarang kita akan memasuki acara sebenarnya. Tebak apa?" Dengan semangat Karin berbicara, membuat semua orang yang menyaksikan berteriak heboh.

"Yahhh, kita akan memasuki acara inti yakni pengumuman siswa-siswi terbaik kelas 12. Beri tepuk tangan yang meriah!"

"Eitsss, no no!" Tiba-tiba seorang pemuda datang dan naik podium. Karin mengerutkan keningnya, melihat adik kelasnya itu tersenyum ke arahnya.

"Ini kan, adalah hari terbesar Kakak kelas, harusnya Anda duduk di kursi yang kami siapkan bukan membawa acara."

Karin terkekeh, lalu berkacak pinggang. "Enggak apa-apa kali buat pengabdian terakhir saya di sekolah ini."

"Biarkan saya aja, silakan duduk, Kak," ucap Pratama dengan wajah jengkelnya.

Orang yang menyaksikan itu tertawa. Karin yang mendengar itu mengerecutkan bibirnya gemas, lalu turun.

"Oke, baik-baik Kakak kelas sekalian. Beri tepuk tangan untuk kalian semua yang berjuang selama tiga tahun ini!"

Mereka bertepuk tangan heboh. Pratama tersenyum. "Kita akan ke acara inti. Mau pembacaan nominasi siswa terbaik Bahasa, MIPA atau IPS dulu, nih?"

"MIPAAAAAAA!" teriak anak jurusan MIPA yang lebih banyak jumlah siswanya.

"Waduhhh, semangat banget, ya. Kalian sudah tau kah, tiga kandidat untuk nominasi siswa-siswi terbaik di MIPA?"

"Tauuuu!"

Berbagai rentetan ujaran mereka lalui dengan heboh hingga tiba pada nominasi siswa terbaik satu, Pratama membacakan nama Iqbal Maulana sebagai juara umum satu di angkatan MIPA semua orang bertepuk tangan, kecuali Karin, gadis itu masih berduka tentang hubungan keduanya yang kandas.

Tapi, beberapa kali Pratama memanggil Iqbal tidak muncul, pemuda itu tidak terlihat batang hidungnya. Hingga Eno tersadar bahwa temannya itu juga tidak ada di sini.

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now