BAB 40 [Confusing]

74 12 0
                                    

"Aku ingin kau tahu sesuatu!"

"Aku tidak akan membiarkan kamu berhasil, dia seperti nyawaku sekarang!"

Suara bising dari bawah, membuat gadis itu membuka kedua matanya dan berusaha mendengar dengan jelas suara yang mengganggu tidurnya.

Jingga mengambil sandal jepit di bawah tempat tidur dan memakainya untuk turun, tapi lengan gadis itu ditahan oleh seseorang yang juga ikut tidur bersamanya.

"Lo mau ke mana, Je?"

Jingga menoleh ke belakang, melihat Fani dengan wajah khas bangun tidurnya di kegelapan.

"Lo denger suara mama lagi berantem nggak? Tapi, lagi berantem sama siapa, ya?"

Fani mengerutkan keningnya. "Gue gak denger apa-apa, lo salah denger mungkin?"

Jingga berdecak, gadis itu tak mungkin akan salah dengar. "Enggak mungkin salah denger, kuping gue masih berfungsi dengan baik, gue mau turun dulu, Fan. Gue khawatir."

"Di sini aja, biar gue turun."

"Lah? Gue aja."

"Lo tunggu sini, aelah!"

"Bareng aja gimana?" tawar Jingga. Gadis itu juga penasaran.

Fani menggeleng cepat. "Lo tunggu sini aja, jangan bawel, biar gue aja turun."

Gadis itu menatap Fani ragu, kemudian mengangguk. "Oke, tapi kalau ada sesuatu terjadi sama lo dan mama gimana?"

"Tenang aja! Gue bakal teriak sekencang-kencangnya dan itu signal gue buat lo telpon polisi, gimana?"

Jingga mengangguk pelan, membuat Fani turun dari ranjang dan keluar kamar untuk turun ke lantai satu.

Degup jantung gadis itu berdetak tak karuan, Jingga mengkhawatirkan mamanya.

Jingga melirik jam dinding di kamarnya, dua puluh menit Fani tak kunjung kembali juga membuatnya benar-benar khawatir dan berniat untuk menyusul Fani, akan tetapi saat hendak menyusul tiba-tiba Fani datang bersama Rita, mamanya.

"Fani bilang kamu enggak bisa tidur?" Jingga mengangguk. "Mama tadi lagi bicara sama siapa?"

"Bicara?" tanya Rita, mamanya tertawa. "Kamu halusinasi kali."

"Enggak kok, ma. Aku denger mama teriak dan lagi ngomong sama seseorang."

"Lo halusinasi, Je. Tadi gue turun mama lagi tiduran di kamarnya."

"Tapi, kenapa lo lama banget balik, Fan?"

"Abis bincang sama mama," jawab Fani.

Jingga memicingkan matanya, gadis itu memperhatikan wajah mamanya.

"Muka mama kenapa memerah?" Rita menggeleng. "Emang merah, ya, Fani?"

"Enggak kok, Ma. Malah biasa-biasa aja."

"Ayo, Je. Kita tidur lagi, yang lo denger tadi salah." Fani hendak mengajak Jingga, tapi gadis itu menolak, ia masih tidak percaya.

"Kok, bisa lo gak kedengaran, Fan?" tanyanya.

"Bisalah, lo lihat sekarang jam berapa?" Jingga melirik jam dindingnya kembali. "Dua malem."

"Nah, Fani bener. Sekarang cepet tidur, besok kalian berdua sekolah, kan?" Rita melirik kedua putri satu persatu, membuat Jingga menghela napasnya.

"Mau peluk mama!" Jingga mengerucut bibirnya dan merentangkan kedua tangannya membuat Rita memeluk anaknya itu dan mengelusnya pelan.

"Semakin gede makin manja ya, sama mamanya."

Fani tersenyum memandang Jingga dan Rita, gadis itu ikut memeluk keduanya.

"Aaaaaa! Sweet banget, sih!" pekik Fani terharu, membuat Jingga yang masih memeluk mamanya tersenyum.

"Mau pelukan terus sampe pagi, hm?"

Jingga dan Fani melepaskan pelukan dari Rita dan cengengesan.

"Malah sekarang sudah pagi, ma," jawab Fani.

Jingga yang setuju ucapan Fani mengangguk, gadis itu masih dengan wajah cengengesannya, membuat Rita berkacak pinggang.

"Ayo kembali tidur!" Rita menatap marah, membuat keduanya sama-sama melakukan gerak hormat.

Keduanya menurut dan merebahkan diri di atas ranjang yang di selimuti Rita.

"Besok harus punya energi ke sekolah! Awas aja gadang kayak gini lagi!"

"Ma, yang perlu energi banyak itu, Jingga." Fani terkekeh sambil melanjutkan ucapannya. "Karena dia butuh tenaga buat mencintai orang yang salah."

"FANIII!" teriak Jingga. Gadis tidak terima dengan pernyataan gadis di sampingnya.

"Sudah-sudah! Besok sekolah."

***

"Karin!" Seseorang berteriak dan menyapa gadis itu, membuat Karin yang sibuk bersama rekannya membahas pergantian OSIS tahun ini menoleh ke sumber suara.

"Iya?" tanya Karin dan mengisyaratkan pada kedua rekannya untuk melanjutkan perbincangan nanti, Anisa dan Angel memaklumi dan memilih pergi.

Karin menatap seseorang di depannya ini, tidak biasanya pemuda itu menemuinya.

"Lo kemarin sama Iqbal abis jalan-jalan, ya? Rumor lo sama dia pacaran emang bener?"

"Rumor itu bener. Soal jalan-jalan gue lagi banyak urusan organisasi nggak ada waktu buat Iqbal."

Dino, dirinya mengangguk dan tersenyum. "Gue kemarin lihat Iqbal jalan sama cewek gue kira elo."

Karin mengerutkan keningnya. "Lo salah lihat. Iqbal setelah gue suruh pulang, dia pulang, karena gue ada rapat kemarin."

"Itu mungkin sepupu ceweknya."

"Oh, pantesan." Dino terkekeh. "Yudah kalau gitu gue cabut dulu."

"Eh? Eh!" Karin mencegat pemuda yang hendak pergi itu.

"Soal penolakan gue semester kemarin, gue minta maaf, No."

"Santai aja. Btw, lo free sekarang?"

Karin melirik arlojinya. "Free, sih. Semuanya udah selesai tinggal tunggu besok buat pemilu wakil dan ketua OSIS."

Dino memegang dagunya. "Lo sibuk banget, Kar, sejak dulu. Kalau boleh, lo mau nemenin gue makan di kantin gak?"

"Mau nggak, ya?" Karin ikut memegang dagunya, tapi dengan elusan lembut sembari berpikir.

"Nanya gini ke gue, berarti gue bisa makan gratis, nih?"

Dino terkekeh geli. "Tenang aja. Kalau perlu seluruh isi kantin dan kantinnya gue borong agar lo bisa bahagia."

***

Jingga menatap Cermin yang datang bersama Cika, gadis itu mengalihkan arah pandangnya ke arah lain sembari menunggu Fani yang sedang pergi toilet, karena mengeluh sakit perut.

Cermin yang melihat keberadaan Jingga mengajak Cika untuk menghampiri gadis itu.

"Je, Goza milih buat putus sekolah." Jingga menoleh, gadis itu menautkan kedua alisnya. "Urusannya sama gue apa?"

"Secara pribadi gue akui gue salah waktu itu dan sikap gue selalu buruk sama lo, gue minta maaf, Je, dan atas nama Goza gue minta maaf, mungkin cara ini nggak cukup buat lo."

"Masalahnya udah lama jangan keseringan dibahas!" Ketiganya menoleh, Fani berjalan menghampiri dan duduk di samping Jingga.

Cika yang masih kesal dengan kedua gadis itu menggebrak meja. "Disopanin malah kurang ajar!"

"Santai, Cik." Cermin merangkul pundak Cika agar sahabatnya itu tenang.

Cermin tersenyum memberikan sesuatu yang membuat keduanya saling melirik.

"Gantungan kunci ini sederhana, sih. Gue cuma mau kita bisa temenan baik di kelas, gue juga janji bakal berubah yang lebih baik." Cermin tersenyum, membuat Fani dan Jingga merasa aneh dengan sikap gadis di depannya ini.

"Gue juga mau kasih tau, gue sama dia udah putus dan lo, Je ... harus hati-hati sama Karin."

***

Hey! I Just Want You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang