BAB 56 [Khawatirnya untuk Pertama Kali]

72 13 2
                                    

"Saat genggaman janji yang kupastikan untuk membawamu berlari dari buruknya dunia, itu tidak apa-apanya pada upayamu yang berhasil menciptakan batu api yang ketika digenggam tidak sempat kupikir lagi dunia, melainkan sesal menyelamatkan orang yang diharap bisa buat bahagia, pada akhirnya lebih buruk dari dunia."

- Jingga

***

Gadis itu dilarikan di rumah sakit. Beberapa orang terdekatnya yang sedang terduduk di samping pintu UGD menatap pintu menakutkan itu dengan untaian doa. Fani mengangkat kedua tangannya dengan air mata yang tak bisa ia bendung seraya berujar banyak doa agar sahabatnya tidak terjadi kenapa-kenapa.

Baju lengan pendek dan tipis yang ia kenakan kini terselimuti jaket yang ada di dalam mobil saat ia membawa Jingga ke rumah sakit, ia tidak punya banyak waktu untuk melepaskannya, tidak peduli itu masih dalam keadaan basah, yang terpenting sahabatnya bisa selamat dan sadarkan diri.

Ingatannya tertarik ke belakang saat dirinya di tengah perjalanan ke rumah sakit, Fani mengambil ponselnya dan menelepon Rita. Mendengar suara Rita yang begitu khawatir membuat Fani menangis tak keruan.

Ia berjanji tidak akan meninggalkan Jingga lagi apapun itu keadaannya. Gadis itu tersentak dari lamunannya dan menoleh pada seseorang wanita paru baya di sampingnya yang juga terduduk lemas.

Fani memeluk tubuh itu dengan erat dan mengelusnya pelan. "Ma, Jingga nggak bakal kenapa-kenapa, kok."

Rita mengangguk ikut memeluk Fani dari samping, ia hanya bisa menundukkan kepalanya, mereka sama-sama terdiam menunggu seorang dokter keluar.

"Fan, gimana keadaan Jingga?"

Mendengar suara yang tak asing, Fani mendongak, ia berdiri dan sontak memeluk tubuh pemuda berkacamata yang terengah-engah, karena berlari cepat datang ke sini. Fani menangis histeris, tak kuasa menahan rasa sedih bercampur penyesalan.

"Gak ada yang buat gue setakut ini, No!"

Mama Jingga yang duduk tidak berdaya, melihat kedatangan Eno hanya bisa ikut menangis. Ia seharusnya tidak mengizinkan kedua putrinya untuk berpergian tanpa dirinya, seharusnya juga Rita menentang keras dan menelepon keduanya untuk pulang.

"Lo tenang, ya." Eno mengusap punggung Fani untuk menenangkan gadis itu, tapi dari lubuk hatinya paling dalam pemuda itu sama khawatirnya dengan Fani.

Eno melepaskan pelukan tubuh Fani dan menuntun gadis itu untuk duduk kembali.

"Ma," sapa Eno. Pemuda itu menyalami Rita, membuat Rita memeluk dirinya erat.

"Duduk, Nak."

Eno mengangguk. "Mama udah makan?"

Rita menyeka air matanya, menggeleng pelan. "Niat mama kalau Jingga sama Fani pulang bakal makan malam bersama, tapi denger kabar ini, jantung mama kumat lagi. Hati mama gak bisa tenang, Nak."

Eno yang mendengarnya sedih, ia kemudian menoleh pada Fani.

"Fan, temenin gue beli makan."

Rita menggeleng cepat. "Enggak perlu. Kalian tunggu di sini aja."

"Mama duduk aja," ujar Eno. Pemuda itu kembali menghadap Fani mengisyaratkan gadis itu agar menuruti keinginannya.

Fani yang mendapatkan instruksi dari Eno mengangguk pelan. "Ma, Fani mau beli makan di kantin buat kita."

Hey! I Just Want You!Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt