BAB 65 [Ketakutan Karin]

78 10 2
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja. Kehidupan Jingga berubah drastis, yang tadinya gadis itu periang dan selalu ingin merespon ucapan teman terdekatnya kini memilih membungkam mulutnya dan sesekali tersenyum. Gelora dalam tubuh gadis itu seakan lenyap dari empunnya, hidupnya sudah hancur. Perasaan hangat atas dasar cinta sudah hilang, lebih tepatnya dipaksa hilang.

Fani yang sedang memegang ornamen musik untuk mempersiapkan ujian praktek menggeleng kepala, dirinya sudah menyerah untuk membuat gadis itu tidak melamun seperti ini. Sudah sejak satu jam Jingga terus terduduk di atas kursi, tanpa menyentuh bagian pekerjaan gadis itu.

Lina yang satu kelompok dengan gadis itu melipat kedua tangannya. "Jangan diem! Lo kira dengan gini bakal bikin performa kita naik?!" Dengan nada keras, Lina berbicara.

Fani dan yang lain dibuat terkejut begitupun Jingga. Gadis itu menoleh, ia tersenyum dan berdiri. "Maaf," ucap Jingga dan kemudian memegang botol untuk ia ciptakan suara gabungan.

Lina berdecak, ia kembali pada tugasnya. Fani yang melihat itu menyenggol lengan Lina sembari berbisik, "Lin, ngertiin perasaan Jingga ya, kali ini. Dia lagi ada masalah."

Lina yang mendengar itu menghela napasnya. "Jangan egois, Fan. Jangan rusak pekerjaan demi masalah pribadi. Lo kira Jingga doang yang punya masalah?"

Jingga masih bisa mendengar itu memilih diam. Seharusnya gadis itu tidak mementingkan diri sendiri. Lina benar, ucapan gadis itu membuatnya tersadar dan Jingga berusaha menyakinkan dirinya, ia tidak harus bersikap lebay untuk masalahnya yang ini.

"Tema musik kontemporer petani yang bajak sawah? Yakin?" tanya Jingga.

Semuanya mengangguk. Gadis itu tersenyum. "Kayaknya, kita butuhin properti dikit, sih. Idenya juga udah ada, kan. Ayo mulai."

Fani mengangguk dan diikuti yang lainnya. Semuanya fokus berlatih untuk ditampilkan Senin depan.

Jingga mengesampingkan masalahnya dan sekarang yang gadis itu butuhkan adalah menyibukkan dirinya.

"Ah, capek juga!" Lina mendesah, gadis itu merentangkan tangannya ke atas, membuat Fani, Clasa, Upi, dan Jingga terkekeh.

"Akhirnya beres juga. Lo semua udah hapal, kan?" tanya Lina.

"Gue masih gak pede, sih, Lin." Upi menundukkan kepalanya, membuat Fani yang di sampingnya menggeleng.

"Kenapa nggak pede? Kan, yang nontonin cuma temen sekelas."

"Iya, bener. Gue aja semangat!" Clasa terkekeh.

Upi ikut terkekeh. "Malu aja, sih. Soalnya ada Kora, dia mantan gue."

Jingga mendelik. "Lu pernah pacaran sama Kora?"

Fani menaikkan satu alisnya. "Lo baru tau, ya?"

"Iya lah, baru tau. Sibuk mikirin Iqbal," celutuk Lina.

Semua teman-temannya tertawa, sedangkan Jingga memilih diam, ia hanya terkekeh pelan.

Lina yang menyadari sifat Jingga yang murung tiba-tiba merasa bersalah.

"Je, masalah Leo jangan diingetin lagi. Dia udah kena ganjarannya."

"Gue gak mikirin masalah Leo."

Lina mengingatkannya lagi, Jingga rasanya menyesal saat itu menerima ajakan Leo, kalau saja ia tidak menuruti Leo, Iqbal tidak akan mengatakan kalimat menyakitkan yang masih teringat jelas olehnya.

Sejak kejadian mengenaskan itu, Leo masih belum sadarkan diri dan Leo masih di rumah sakit. Iqbal juga mendapat hukuman tidak diperbolehkan masuk sekolah selama lima hari.

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now