BAB 43 [Pilihan]

91 13 2
                                    

Seolah ditarik di tempat, saat berlari. Seolah juga hidupku hanyalah sebuah permainan seru. Mungkin takdirnya atau Tuhan tahu, aku kuat. -Jingga

***

"Gue mau jawaban jelas dari lo bukan hah!"

Jingga merapatkan bibirnya, kedua tangannya tertaut erat di bawah meja makan warung, entah kenapa pertanyaan Iqbal membuatnya merasa sedikit 'istimewa', apa boleh gadis itu punya secuil harapan? Jika tidak, kenapa Iqbal seakan menyuruhnya untuk berdiri di tempat dan tidak mengizinkan gadis itu maju atau mundur sedikitpun.

"Lo punya gebetan baru pasti!" tebak Iqbal sambil terkekeh dan mengambil ponselnya untuk memotret Jingga.

Gadis itu kembali terkejut. "Bal ... ini bukannya berlebihan?"

"Enggak perlu kaget. Gue mau kirim pap ke Karin," balas Iqbal beralasan, membuat Jingga tertunduk gugup.

"Maaf, Bal. Gue cuma nggak biasa sama sikap lo belakangan ini, dan tentang prihal asmara gue, lo masih jadi pemenangnya yang bikin gue jatuh hati sekaligus patah."

Iqbal terpaku, pemuda itu berdehem pelan. "Gu-"

"Pesanan sampai ...." Keduanya menoleh ke kanan dan melihat satu wanita paru baya sudah berdiri di antara mereka berdua duduk.

Jingga yang tersadar tersenyum lebar seraya berkata, "Terima kasih, Bu."

Iqbal juga ikut tersenyum dan membantu wanita paru baya itu menyusun makanan pesanan mereka di atas meja.

Wanita paru baya itu menghadap Iqbal dan membuka suaranya. "Sudah lama Ibumu tidak datang ke sini, ngomong-ngomong dia baik-baik aja, Bal?"

Iqbal menoleh dan mengangguk. "Alhamdulillah, baik-baik aja," balasnya.

Mendengar itu wanita paru baya yang berdiri di antara keduanya merasa lega dan beralih pada Jingga.

Wanita itu menyipitkan matanya, mengingat-ingat sesuatu. "Kalau tidak salah, kamu yang beberapa hari lalu ke sini bersama Iqbal, bukan?"

Jingga mengangguk canggung. "Iya, Bu. Saya sama Iqbal kemarin ke sini."

"Oh, inget-inget. Maaf ya, kemarin nggak bisa nyapa kalian berdua, soalnya warung kecil Ibu rame."

"Enggak apa-apa, Bu." Jingga mengangguk maklum, dirinya agak ragu.

"Pacarnya?" Pertanyaan itu hampir saja membuat Jingga tersedak ludahnya.

"Hah? Bukan. Saya sama Iqbal cuma temen."

Iqbal menoleh ke arah Jingga dengan seulas senyum tipis. "Temen istimewa."

Marni terkekeh mendengarnya, kemudian mengangguk. "Teman istimewa begitu rupanya, baiklah. Kalau gitu, silakan dimakan. Ibu mau ke belakang dulu."

"I-iya, Bu."

Jingga mengakhirinya dengan senyuman, membuat tawa Iqbal pecah.

"Enggak perlu gugup gitu, Je."

"Pertanyaan Bu Marni bikin gue jantungan, gimana nggak gugup, Bal?"

"Lupakan yang tadi, buruan makan, lo pasti laper banget," ajak Iqbal, membuat Jingga pasrah dan mulai mengambil piring.

Mata Iqbal menyoroti gerak Jingga yang sedang bersiap memasukkan makanannya ke dalam mulut gadis itu. Iqbal, pemuda itu merasa penasaran dan berkata, "Kelulusan tinggal tujuh bulan, lo bakal ke mana setelah ini, Je?"

Jingga mendongak dan menatap mata Iqbal. "Ke mana aja."

"Kuliah?" Iqbal bertanya, lagi. Jawaban gadis itu sama sekali menjawab pertanyaannya.

Hey! I Just Want You!Where stories live. Discover now