BAB 64 [Pengakuan Iqbal]

77 11 2
                                    


"Dunia khayalan yang kubangun menjadi istana penuh suka cita hanya perlu membiasakan diri melindungi dari duka yang terus mematahkan." - Jingga

***

"Hati lo sekarang lagi seneng, kan, Je?" Iqbal yakin, Jingga menyukai tindakannya beberapa saat yang lalu, membuat senyum pemuda itu tidak bisa ia tahan.

Jingga bergeming. Melihat itu, Iqbal kembali berbicara. "Kenapa diem?" tanya Iqbal. Ia terkekeh geli melihat wajah Jingga yang mematung.

"Lagi salah tingkah, ya?" Iqbal kembali berbicara, kali ini lebih percaya diri, berharap Jingga gembira, ketika perasaan gadis itu terbalaskan dan penantian panjang Jingga membuahkan rasa cinta di hati Iqbal.

Keheningan terjadi, Jingga sama sekali tidak mengeluarkan satu katapun. Gadis itu menatap lurus, melihat kendaraan berlalu lalang melewati mereka, dirinya terkekeh. "Kenapa lo nyakitin gue lagi, Bal?"

Kalimat yang diucapkan oleh Jingga berhasil meluluh lantakkan dan menikam hati Iqbal yang membuatnya membisu. Dia tidak bermaksud menyakiti. Kerap kali ingin menolak kehadiran gadis itu dalam hidupnya entah kenapa pikirannya tak bisa lepas dengan nama Jingga. Isi kepalanya selalu ingin peduli kepada Jingga. Jingga membuat dirinya bisa merasakan perasaan bebas, Jingga juga yang berhasil masuk ke dalam hatinya sedalam ini.

Sejak kejadian di pantai, Iqbal mulai tidak malu pada hati untuk mengakui perasaan jatuh cintanya pada Jingga. Mungkin tidak hanya kejadian itu, saat hari ulang tahunnya waktu itu, Iqbal mulai memikirkan Jingga tiada hati. Dimulai perasaan bersalah, Iqbal merakit nama Jingga dan memasang memori indah yang ia ingat sampai detik ini.

Iqbal menyesal kala itu, tapi semua itu harus ia tahan dengan egonya. Tidak lupa juga, ia selalu menyusun kemarahannya agar tetap tidak menerima Jingga. Terlalu banyak menepis rasa, Iqbal lupa cara mencintai dengan benar.

Dirinya juga tidak segan-segan untuk menang dalam menolak kehadiran Jingga dengan berusaha mencintai Karin dan menjalin hubungan.

Iqbal akui, dia jatuh cinta dengan Karin, tapi semua itu menjadi omong kosong saat Karin mulai merusak kepercayaannya.

Hatinya terlalu jahat, melukai dua gadis sekaligus. Berniat mendapatkan keduanya, tapi tetap saja ia harus memilih. Tapi, harus jujur. Iqbal tidak berhak membuat pilihan itu, karena Iqbal sangat egois.

"Maaf," ujar Iqbal lirih.

"Untuk semua yang bikin lo sakit."

Jingga mematung dengan wajah tanpa ekspresi, perasaan gadis itu kacau tak kala melihat Iqbal dengan wajah tanpa dosa tersenyum tipis di sampingnya. Dirinya merasa kecewa, kenapa saat gadis itu ingin menyudahi perasaannya, Iqbal selalu merusak jalannya.

Iqbal menarik napasnya, kemudian menatap Jingga secara penuh seraya berujar, "Je? Sejujurnya gue takut untuk jatuh cinta sama lo. Sejak awal banyak hal yang gue simpen dan berakhir gue harus bersikap jahat agar lo gak cinta gue. Ego gue, perasaan bersalah selalu jahatin lo, bikin gue selalu menderita, tapi itu semua berakhir gue harus ngaku, gue sayang sama lo. Kalau aja gue nerima lo, mungkin gue gak bakal ada di sini dalam keadaan gini, mungkin kita bisa bahagia. Tapi, itu semua harus gue telan. Yakinin gue, Je. Sekali ini aja, bahwa gue bener-bener jatuh cinta sama lo. Gue butuh keyakinan lo buat gue yakin untuk pantas jatuh cinta sama lo."

Jingga mendengar itu sesak, kepalanya tiba-tiba terasa penuh. Lagi-lagi hatinya kacau. Kebimbangan hatinya, membuat Jingga menatap Iqbal dalam.

"Sekarang, lo mau nggak jadi pacar gue? Gue bisa putusin Karin demi lo. Yakinin gue, Je."

Jingga yang mendengar itu tiba-tiba ingin keluar mobil, membuat gadis itu berteriak.

"Buka! Buka! Iqbal buka!" Iqbal tak menggubris perkataan Jingga, ia kembali menjalankan mobilnya dengan cepat, membawa gadis itu pada satu tempat.

Jingga terus-terusan memaksa keluar. "Gue mau keluar!"

"Iqbal!"

Iqbal tidak mendengarkan, pemuda itu menghentikan mobilnya dan akhirnya membukakan mobilnya, membuat Jingga langsung keluar mobil diikuti Iqbal.

Gadis itu terus berjalan ke depan, disusul Iqbal.

"Je, gue butuh jawaban lo."

Iqbal berusaha mengejar gadis itu, tak peduli seragamnya penuh darah.

Jingga menoleh ke samping, dirinya menepi pada danau yang ditumbuhi beberapa pohon di dekat mobilnya terparkir dan terduduk pada salah satu pohon, lalu bersandar, karena kepalanya tiba-tiba pusing dan pernapasan gadis itu rasanya dicekat yang membuat Jingga susah bernapas, Iqbal merusak semuanya.

Melihat itu, Iqbal gelisah. "Je, lo nggak apa-apa, kan?"

Jingga merunduk, gadis itu menangis tersedu-sedu, membuat Iqbal terduduk di depannya.

"Kalau lo masih berat sama hal ini, untuk sekarang kita nggak pacaran dulu, tunggu gue putus sama Karin gimana?"

Lagi-lagi Iqbal melakukan kesalahan fatal. Jingga masih menangis, suara tangisannya kali ini lebih keras, membuat Iqbal bersalah dan terus mencari cara agar Jingga tidak lagi menangis.

"Je?" Iqbal hendak memeluk tubuh Jingga langsung cepat didorong gadis itu ke belakang.

"Setan mana yang ngerasukin lo anjing!" bentak Jingga, gadis itu masih menangis, membuat Iqbal pasrah.

"Lo ngerusak, lo perusak handal!" maki Jingga.

Jingga berdiri. "Gue benci banget sama lo, Iqbal!"

Iqbal menatap Jingga serius. "Gue minta maaf, Je."

Jingga mengusap air matanya, kemudian terkekeh miris. Iqbal telat menghargai perasaanya, pemuda itu juga berani-beraninya menempatkan diri gadis itu pada situasi sulit dan menderita.

Ia berjalan dan mengambil ponselnya di dalam mobil Iqbal dan meninggalkan pemuda itu pada pohon rindang itu, lalu menelepon seseorang.

"Halo, Je? Tadi keributan pulang sekolah sebut nama lo, gue baru tau waktu dari toilet. Kenapa? Ada masalah apa, Je, lo sama Iqbal?"

"Gue bakal jelasin semuanya. Fani, lo jemput gue sekarang. Gue lagi ada di Danau Merak," ujar Jingga menahan tangisnya agar Fani tidak mendengarnya suara lirih gadis itu dan khawatir tentangnya.

"Emangnya lo kenapa di sana? Je, ha-"

Jingga mematikan teleponnya dan kembali terisak-isak, Iqbal yang melihat punggung gadis itu dari jauh memukul pohon dengan tangannya.

Iqbal ikut meneteskan air matanya, punggung pemuda itu bergetar hebat menangis. Seharusnya Iqbal tau kondisi mengungkapkan perasaannya, dan sekarang pemuda itu telah menghancurkan segala yang menjadi pertahanan Jingga untuk terus mencintainya.

"ARGH!" Pemuda itu berteriak dan memukul-mukul pohon di depannya dengan kalut.

"Kenapa gue tolol banget bisa nyakitin Jingga!!"

"Argh!"

Jingga yang melihat Iqbal sedang memukul pohon hanya bisa menangis. Mulai detik ini, Jingga membenci Iqbal. Tidak ada lagi cintanya untuk Iqbal yang sama yang terus gadis itu pertahankan.

Kebingungan gadis itu tak lagi dengan bagaimana dia bertahan atau caranya pergi, tapi bagaimana ia harus menebus karma telah mencintai seseorang yang menjadi milik orang lain.

Jingga takut, Karin terluka.

***

Hey! I Just Want You!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora