06. Saat Keraguan Menghalangi

35 10 0
                                    

Windy memarkir sepeda di tempat parkir barisan khusus sepeda. Ia memeriksa beberapa bahan praktikumnya. Berharap tak ada yang ketinggalan. Setelah memastikan semua bahan lengkap, Windy melangkah menuju kelas.

Dalam perjalanan menuju kelas, Windy bertemu dengan Reynaldi Hermawan yang merupakan ketua OSIS. Sebagai sesama murid teladan, Windy dan Rey cukup akrab. Beberapa kali keduanya mengikuti perlombaan yang sama, namun dengan mata pelajaran berbeda.

“Win, entar jam pelajaran ke berapa kelas lo mau praktikum kimia?” tanya Rey.

“Jam pelajaran keempat. Emangnya kenapa, Rey?” balas Windy.

“Enggak. Cuma mau tanya aja sih. Soalnya nanti mau ada rapat OSIS di ruangan samping laboratorium kimia. Takut kalo barengan, bisa ganggu konsentrasi kelas kalian yang lagi praktikum,” jelas Rey.

“Lo atur aja gimana baiknya! Gue ke kelas dulu, ya!” pamit Windy.

Windy berjalan kembali. Rey tersenyum memandang punggung Windy yang semakin menjauh. Sejak bersekolah di SMA Adhyaksa, Rey begitu tertarik pada sosok Windy. Sayangnya, perbedaan jurusan memisahkan mereka. Rey memutuskan untuk memilih jurusan IPS saat menginjak kelas sebelas.

Ketika berada di lantai dua, Windy dicegat oleh segerombolan murid perempuan. Para murid perempuan itu sengaja berdiri di tengah jalan agar Windy tak bisa lewat. Walau tahu tujuan para gadis tersebut, tapi Windy berusaha untuk tak terpancing.

“Permisi! Gue mau lewat,” ucap Windy.

Guys, pernah denger soal tukang caper, nggak?” kata murid perempuan dengan tagname Shinta sembari berkaca.

“Pernah, dong! Si tukang cari perhatian biar cowok-cowok populer ngelihat kelebihan dia. Padahal aslinya cuma tukang ngemis. Tukang cari gratisan,” tambah murid berambut panjang sepunggung yang biasa dipanggil Vrista.

Murid perempuan lain yang satu sirkel dengan Shinta dan Vrista menyambut perkataan dua murid populer dan kaya itu sembari tertawa. Shinta melirik Windy yang masih berdiri di tempat dengan kesal.

“Sekolah kok maunya gratisan. Apa nggak malu?” Shinta sengaja berbicara cukup keras.

Sekalipun Shinta dan Vrista tak menyebutkan nama. Tapi Windy tahu, bahwa orang yang mereka maksud adalah dirinya. Sejak kelas 10, Shinta dan Vrista kerap menyindir Windy dengan kata-kata yang cukup kasar.

Keduanya yang berasal dari keluarga berada merasa berhak menghina Windy yang bisa menikmati fasilitas sekolah secara cuma-cuma. Mereka semakin tak menyukai Windy karena menganggap Windy merebut perhatian murid laki-laki incarannya. Padahal, murid laki-laki tersebut tertarik pada Windy karena prestasi Windy di bidang akademis sangat bagus. Bahkan mampu mempertahankan peringkat dua selama dua tahun dari ratusan murid di SMA Adhyaksa. Selain dalam hal akademis, fisik Windy juga ikut andil dalam mendapat perhatian para murid laki-laki.

“Belajar kayak orang gila biar bisa mempertahankan gratisan,” timpal Vrista seraya melirik Windy.

Windy mengepalkan tangan, menahan rasa jengkel. Masih terlalu pagi untuk marah atau menjambak rambut para tuan putri laknat itu. Walau sering mendengar perkataan sejenis dari beberapa mulut. Tapi, tetap saja Windy tidak ingin terbiasa mendengar penghinaan tersebut.

“Seenggaknya yang suka gratisan pake otaknya buat dapetin gratisan. Daripada sok dermawan tapi nggak punya otak!” sahut Windy.

Kemudian, Windy mendekat pada Shinta. “Oh iya, sejak kapan Canberra jadi ibukota Rusia?”

Windy tersenyum miring. Ia menyindir Shinta yang pernah asal menjawab pertanyaan dari guru geografi secara lantang yang sempat menjadi bahan tertawaan ketika kelas sepuluh.

All About You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang