47. Bukan Sebuah Mimpi

6 1 0
                                    

Nyonya Cecil membuka pintu gudang. Kaki wanita itu berjalan di atas lantai gudang yang berdebu. Dibukanya almari yang ada di pojok ruangan. Terlihat sebuah buku gambar lusuh di sana. Nyonya Cecil mengambil buku gambar tersebut. Tangan mulusnya membuka lembar demi lembar buku gambar milik putra pertamanya itu.

“Andra,” bisiknya.

Ingatan ketika masih menjadi menantu keluarga Bharata berputar. Hari-hari Nyonya Cecil mulai berwarna sejak kelahiran Andra. Walau sejak awal pernikahannya bermasalah. Namun, wanita itu tetap berusaha bertahan demi Andra. Melihat Andra tumbuh hari demi hari. Melihat perkembangan Andra yang setiap harinya selalu memberikan cerita tersendiri.

Air mata Nyonya Cecil berlinang membasahi pipi mulusnya. Setiap melihat Andra, hatinya terasa sakit. Sakit itu disebabkan oleh dua hal, yaitu ego dan kewajibannya yang bertentangan.

“Cecil!” panggil seorang pria dari depan pintu gudang.

Mendengar suara sang suami memanggil, Nyonya Cecil segera mengusap kasar air matanya. Ia kembali memasukkan buku gambar di tangannya ke almari. Lalu, membalikkan tubuh memandang sang suami.

“Ada apa, Mas?” tanya Nyonya Cecil menghampiri sang suami.

Pria yang biasa dipanggil Tuan Hanung itu menatap Nyonya Cecil intens. Diraihnya pundak sang istri. “Kalo kamu punya sesuatu yang mau kamu omongin, ngomong aja!”

Nyonya Cecil terdiam. Ia dalam dilema berat. Pikirannya kemana-mana, memikirkan bagaimana kehidupannya jika ia tetap menjadi layaknya seorang ibu bagi Andra.

“Kamu percaya sama aku, 'kan?” tanya Tuan Hanung.

“Aku juga terlahir dari keluarga broken home. Orang tuaku punya keluarga baru dan aku dibesarin sama nenek aku. Berada di posisi itu, rasanya sakit banget,” sambung Tuan Hanung.

Perkataan Tuan Hanung barusan seolah mengarah pada Andra. Pada akhirnya, Nyonya Cecil tak bisa terus-terusan menyimpan rahasia dari sang suami. Dibawa kemana pun, Andra tetap akan menjadi putranya. Di dunia ini, tak ada mantan anak, mantan ayah atau mantan ibu.

“Sejak kapan Mas Hanung tahu?” Nyonya Cecil tampak merasa bersalah.

“Baru beberapa hari yang lalu. Aku kaget waktu tahu kebenarannya. Ternyata, anak laki-laki yang tinggal sendiri di lantai 15 adalah Andra, anak kamu,” beber Tuan Hanung.

“Maafin aku, Mas!” sesal Nyonya Cecil.

“Jangan minta maaf sama aku! Tapi, kamu harus minta maaf sama Andra! Anak itu udah cukup menderita. Seenggaknya, kamu harus jadi sandarannya, karena kamu ibunya!” tutur Tuan Hanung yang terdengar peduli.

Nyonya Cecil memeluk Tuan Hanung sembari terisak. Ia merasa bersalah, karena telah membohongi sang suami. Seharusnya, ia jujur sejak awal. Akan tetapi, Nyonya Cecil terlalu takut mengungkap identitas Andra, karena khawatir Tuan Hanung tak mau menerimanya.

Nyonya Cecil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa terharu sekaligus beruntung ketika mengingat ucapan Tuan Hanung beberapa hari yang lalu. Kini, Nyonya Cecil bisa memberikan kasih sayang sepenuhnya pada Andra. Bahkan Tuan Hanung juga memberikan kebebasan pada Nyonya Cecil, jikalau wanita itu ingin mengajak Andra tinggal bersama.

Nyonya Cecil menoleh. Terlihat Andra yang tengah tertidur dengan menyandarkan kepala pada pundaknya. Pelan-pelan, Nyonya Cecil mengusap lembut rambut sang putra.

“Andra, Mama janji, Mama nggak akan ngebiarin kamu ngerasa sendiri dan kesepian lagi!” bisik Nyonya Cecil.

***

Andra membuka mata. Sesekali ia mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadaran. Sebuah pemandangan yang cukup tak biasa di netra Andra. Pemuda itu menoleh, melihat dinding bercat oren dan coklat. Andra yakin, saat ini ia tak berada di apartemennya. Andra bangun dan memandang sekeliling.

All About You [END]Where stories live. Discover now