43. Hanya Teman

7 2 0
                                    

Windy dan Rindu berdiri di seberang jalan bersama murid lain. Mereka tengah menunggu untuk diseberangkan oleh petugas keamanan sekolah. Jalan raya begitu ramai oleh lalu-lalang kendaraan di pagi hari. Windy melirik jam tangannya, memastikan waktu yang masih dimiliki.

“Duh, lama banget,” gumam Windy.

Selang beberapa detik, petugas keamanan meniup peluit seraya berjalan ke tengah jalan. Ia memberi kode pada para murid untuk segera menyeberang. Semua murid berlari dan menuntun sepeda menuju gerbang sekolah. Sebuah pemandangan khas yang setiap hari bisa disaksikan di depan SMA Adhyaksa.

Ketika sudah memasuki halaman sekolah, Windy dan Rindu menaiki sepeda menuju tempat parkir bersama beberapa pengendara sepeda lain. Dari koridor, Helen berteriak memanggil Windy. Otomatis Windy menoleh ke tempat Helen berdiri. Di saat bersamaan, ada seorang murid perempuan berjalan sembari mengotak-atik ponsel. Murid itu tidak menyadari jika dari arah samping ada Windy yang sedang melajukan sepeda. Tabrakan pun tak terhindarkan.

Windy dan sepedanya ambruk bersamaan. Sedangkan murid perempuan tadi jatuh tak jauh dari Windy. Murid lain yang melihat kejadian itu segera menghampiri dan berkerumun. Tak terkecuali Rindu yang sudah hampir sampai di tempat parkir, langsung meninggalkan sepedanya untuk melihat keadaan sang kakak.

“Kak Windy nggak apa-apa, 'kan?” tanya Rindu sembari membantu Windy bangun.

“Nggak apa-apa, kok. Cuma lecet dikit,” jawab Windy sambil membersihkan roknya yang kotor oleh debu.

“Eh, Windy! Lo harus ganti rugi! LCD HP gue rusak, nih,” sungut gadis yang ditabrak Windy, menghampiri Windy kesal.

Gadis yang biasa dipanggil Lily itu menunjukkan ponselnya sebagai bukti. Windy melihat benda pipih tersebut dengan perasaan khawatir dan cemas. Terlebih, saat melihat mereknya.

“Baru kemarin bokap gue beliin HP ini dari KL. Eh, sekarang malah lo rusakin,” oceh Lily.

“Tapi 'kan Kak Windy nggak sengaja nabrak lo,” sanggah Rindu, mencoba membela Windy.

“Tapi gara-gara ditabrak Windy, HP gue jatuh dan rusak,” balas Lily tak mau kalah.

“Udah! Udah! Nggak usah debat! HP lo biar gue bawa! Entar sepulang sekolah, gue bawa ke tempat servis,” lerai Windy.

“Jangan asal bawa ke tempat servis! HP mahal nih. Model terbaru. Di Indonesia belum ada.” Lily dengan congkaknya memperingatkan Windy.

“Lo tenang aja! HP lo bakal gue bawa ke tempat servis resmi, kok,” tukas Windy yakin.

Lily menyerahkan ponselnya pada Windy. Gadis itu masih tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Sementara Windy menerima ponsel tersebut dengan hati-hati. Rindu yang berdiri di samping Windy hanya bisa menatap Lily tajam. Jika saja Windy tidak melerai, mungkin Rindu akan berdebat sampai titik darah penghabisan.

Di balik kerumunan para murid yang melihat kejadian tersebut, ada Andra yang diam-diam memerhatikan Windy. Dari situ, Andra bisa melihat bagaimana cara Windy menghadapi sikap kasar murid lain yang meremehkannya karena status sosial.

***

Andra memasukkan bola ke ring berkali-kali. Hari ini, ia dan Windy kembali seperti orang asing. Windy tak berbicara dengannya, begitu juga sebaliknya. Walau tak saling bicara, Andra terus memikirkan Windy. Terlebih, setelah kejadian tadi pagi. Andra bisa melihat kekhawatiran yang berusaha Windy sembunyikan.

“Kenapa gue jadi ngerasa bersalah terus, sih?” bisik Andra sambil melempar bola. Kali ini, lemparannya tak masuk ke ring.

Andra menghela napas. Dipikir berapa kali pun, Andra tetap tak tenang karena telah bersikap kasar pada Windy tanpa sebab. Dibandingkan kecewa, sebenarnya Andra hanya terkejut mengetahui fakta tentang Pak Yudha yang membayar Windy untuk menjadi teman belajarnya.

All About You [END]Where stories live. Discover now