36. Ketika Kebenaran Menampakkan Diri

15 2 0
                                    

Helen keluar dari tempat kelompok belajar dengan lesu. Lagi-lagi, Helen dipaksa untuk melakukan hal yang tak diinginkan. Berada di kelompok belajar tersebut membuatnya sangat tertekan. Terlebih, kini Ramon juga sudah keluar. Helen seolah tak memiliki sandaran di tempat layaknya neraka beratap emas itu.

“Helen!”

Seseorang memanggil Helen dari seberang jalan. Helen mendongakkan kepala, berusaha mencari si pemanggil. Mata Helen membelalak tatkala melihat Ramon berada di antara penyeberang yang tengah berjalan melewati zebra cross.

“Ramon?” bisik Helen.

Setelah menyeberang, Ramon berlari ke arah Helen dan meraih tubuh Helen. Si pemilik tubuh hanya mematung karena kaget. Tak pernah Helen duga, bahwa Ramon akan menemuinya. Helen pikir, ia tak akan pernah bertemu Ramon lagi tanpa bisa mengatakan sesuatu.

Setelah puas memeluk Helen, perlahan Ramon melepaskan pelukannya. Ditatapnya Helen dengan mata berkaca-kaca. Semilir angin yang berembus menyapu poni Ramon dan menampakkan kening putih pemuda itu.

“Mulai besok, gue udah nggak bisa nemuin lo lagi,” ujar Ramon.

“Setelah tahu semuanya, apa lo masih mau jadi temen gue?” tanya Ramon dengan melihat si lawan bicara lekat.

Helen meraih tangan Ramon dan menggenggamnya erat. Gadis itu memandang Ramon pekat dengan netra indahnya.

“Bagi gue, lo tetep Ramon yang baik dan peduli sama gue. Kata orang, manusia itu nggak luput dari dosa. Jadi, menurut gue wajar aja kalo lo ngelakuin kesalahan dan lo menyesali itu. Yang nggak wajar itu, kalo lo udah ngelakuin kesalahan, tapi nggak mau nyadarin kesalahan lo,” balas Helen sembari tersenyum tulus.

Hati Ramon seperti disiram air. Terasa sejuk dan segar. Walau Helen bukan murid yang pandai dalam hal akademis. Tapi, perkataan gadis itu selalu mampu menenangkan Ramon yang keras kepala. Alasan lain mengapa Ramon begitu menyukai Helen adalah sikap apa adanya Helen. Terkesan bodoh, namun memiliki rasa peduli dan pengertian yang tinggi.

“Biarpun gue tinggal di luar kota, tapi kita tetep temen, 'kan?” Ramon memandang Helen penuh harap.

“Iya, dong! Kita tetep temen. Lagian, sekarang 'kan zamannya udah canggih. Kalo kangen, kita bisa VC-an sama ngirim pesan tiap hari.” Helen berusaha untuk menahan air matanya yang mendesak ingin keluar.

Ramon tersenyum haru. Tak pernah Ramon sangka, ia akan mengenal sosok Helen yang mampu membuatnya merasa nyaman. Sosok gadis yang mampu memahami perasaannya. Bahkan Ramon merasa memiliki sandaran setelah mengenal Helen lebih dekat.

***

Pagi hari menyambut. Seperti biasa, para murid berangkat sekolah dengan berbagai cara. Ada yang pergi dengan mengayuh sepeda, diantar menggunakan mobil, menaiki motor dan menggunakan kendaraan umum. SMA Adhyaksa yang merupakan salah satu sekolah unggulan memiliki murid dari berbagai kalangan. Walau didominasi oleh murid yang berasal dari kalangan atas dan menengah. Namun, sekolah tersebut juga memiliki murid dari kalangan bawah, walau tidak begitu banyak.

Windy dan Rindu keluar dari area parkir setelah memarkirkan sepedanya. Kakak-beradik itu berjalan bersama menuju kelas masing-masing. Windy yang berada di kelas 12 harus menaiki tangga sampai ke lantai tiga. Sedangkan Rindu yang masih berada di kelas 10 tak perlu repot-repot menaiki tangga, karena kelasnya berada di lantai satu.

Saat berjalan menyusuri koridor, Windy dan Rindu melihat murid lain yang tengah heboh dengan ponsel masing-masing. Entah ada kehebohan apalagi hari ini. Ada saja berita heboh yang menjadi trending topic di sekolah elite tersebut.

“Eh Win, udah liat thread tentang pelecehan guru olahraga ke murid cewek di cuwiter, belum?” teriak Vera yang baru datang, langsung berlari menghampiri Windy dengan heboh.

All About You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang