50. PMS (Perasaan Marah dan Sensitif)

8 2 0
                                    

Windy mengetuk pintu apartemen Andra. Beberapa detik berselang, pintu apartemen terbuka dan menampakkan sosok Andra yang menyambut kedatangan Windy dengan senyuman. Windy mengulurkan kantong plastik di tangannya pada Andra. Sebagai tuan rumah, Andra merasa ini salah. Seharusnya, ia yang memberikan sesuatu pada Windy. Namun, ia juga akan merasa bersalah jika tak menerima barang yang Windy berikan. Niat baik, tentu harus dibalas baik pula.

Thanks, Win!” ucap Andra sembari menerima kantong plastik pemberian Windy. “Yuk, masuk!”

Andra mempersilakan tamunya masuk. Ia menggeser posisinya agar Windy bisa masuk dengan leluasa. Windy memasuki apartemen mewah Andra untuk yang kedua kalinya. Masih sama seperti sebelumnya, apartemen mewah itu terlihat hampa dan sunyi. Tak ada sesuatu yang menarik di sana. Yang ada hanya beberapa perabotan mahal dan alat elektronik bermerek dengan harga fantastis.

“Duduk dulu! Gue ambil minum bentar,” kata Andra seraya memasuki dapur.

Windy duduk di sofa. Ia melihat dinding yang berhiaskan lukisan abstrak. Tak ada foto keluarga atau foto yang menggambarkan si pemilik. Selain lukisan abstrak, Windy juga melihat sesuatu yang menyita perhatiannya. Sebuah medali emas terpajang di samping lukisan abstrak tersebut.

Windy beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju tempat medali emas itu dipajang. Ia menyentuh medali tersebut dengan ribuan tanda tanya yang bergelantungan di kepala.

“Andra pernah ikut lomba lari?” bisik Windy heran.

“Win, minum dulu, gih!”

Andra yang baru kembali dari dapur menyuguhkan minuman pada Windy. Pemuda itu duduk di seberang meja seraya meletakkan nampan yang berisi beberapa makanan kecil. Windy kembali duduk. Lalu, menenggak softdrink pemberian Andra. Kentara sekali jika ia kehausan setelah mengayuh sepeda.

“Oh iya, yang tadi itu nasi goreng bikinan gue sendiri. Gue bikinnya kebanyakan, jadi gue bawain buat lo,” ujar Windy, setelah selesai minum.

“Pasti rasanya nggak enak,” tebak Andra, menggoda Windy.

“Kalo nggak enak, nggak usah dimakan!” balas Windy ketus.

Andra tertawa. Setiap menggoda Windy, Andra selalu merasa terhibur. Apalagi saat gadis itu membalasnya dengan nada ketus. Ekspresi wajah Windy juga tampak menggemaskan.

“Yuk, kita mulai belajarnya!”

Windy mengeluarkan beberapa buku dan alat tulis dari tasnya. Begitu pula dengan Andra. Keduanya kompak mengerjakan tugas sekolah. Seperti biasa, Windy yang merupakan murid teladan selalu mengerjakan tugas dengan sebaik mungkin. Sementara Andra masih sempat melirik Windy di tengah kegiatannya.

“Kalo ada soal yang sulit, lo bisa tanyain ke gue!” ucap Windy tanpa melihat sang lawan bicara.

Andra mengangguk. Lalu, kembali mengerjakan soal. Beberapa menit memusatkan pikiran pada soal-soal yang bertaburan angka membuat pemuda berahang tajam itu mengantuk. Ia menghentikan kegiatannya dan melihat Windy yang masih sibuk mengerjakan tugas.

“Win, gimana sih caranya biar nggak ngantuk pas belajar sama ngerjain tugas?”

Suara Andra membelah kesunyian apartemen mewah tersebut. Windy berhenti menulis sejenak. Ia menoleh, memandang Andra.

“Lo harus punya motivasi,” jawab Windy.

“Motivasi?” Andra mengangkat sebelah alisnya yang tebal.

“Motivasi lo belajar itu buat apa? Kayak gitulah. Misalkan gue nih, ya, gue belajar biar bisa dapet nilai bagus dan dapet beasiswa. Terus, gue bisa masuk salah satu perguruan tinggi terbaik buat ngejar cita-cita gue. Nah, hal itu gue jadiin pendorong buat nggak males belajar,” jelas Windy.

All About You [END]Where stories live. Discover now