42. Bad Mood Andra yang Menyebalkan

11 2 0
                                    

Andra melempar beberapa kerikil ke pantai. Tampak jelas jika saat ini hatinya sedang kalut. Untuk yang ke sekian kali, Andra merasa begitu rendah. Sebuah ketulusan? Andra bahkan muak mendengarnya. Berkali-kali pemuda itu mengumpati dirinya sendiri. Bodoh sekali karena masih berharap ada yang benar-benar tulus menyukainya.

Memangnya siapa yang bisa menolak uang? Anak kecil saja tahu, bahwa dengan uang, apapun bisa dibeli.

“Dasar bego! Dasar goblok! Dasar nggak guna!” teriak Andra, meluapkan kekesalannya.

Ingin berteriak berapa kali pun, rasanya Andra tetap tak merasa puas. Ingin sekali ia mengumpat di depan Windy. Namun, hal itu sama saja dengan Andra menjatuhkan harga diri. Memang tak seharusnya terlalu berharap pada orang lain. Apalagi, mengharapkan sebuah ketulusan.

Andra membalikkan tubuh. Diraihnya tas bermerek yang tergeletak di atas pasir. Hari sudah petang. Bahkan matahari sudah tenggelam beberapa menit yang lalu. Hanya berdiri dan berteriak di tepi pantai tak akan mengubah apapun. Pada akhirnya, Andra harus pulang untuk sekadar mengistirahatkan badan dan pikiran.

Andra melangkah gontai seorang diri. Hanya angin kencang pantai yang menemani kekalutannya. Bagi Andra, rasanya hidup yang dijalani tidak adil. Dunia ini begitu luas dengan banyak manusia yang menghuni. Namun, Andra tetap berakhir dalam kesendirian dan kesepian.

Ponsel Andra berdering di saku celana. Seolah tuli, Andra tak mengindahkannya. Mau berdering berapa kali pun, Andra tak ada niat untuk sekadar melihat siapa yang meneleponnya saat ini.

Kini, Andra berdiri di tepi jalan. Ada banyak kendaraan umum yang melintas. Tapi, Andra sama sekali tak menghentikan. Tubuhnya seperti kosong tanpa arah dan tujuan. Selang beberapa saat, sebuah mobil menepi di dekat Andra. Kaca pintu mobil tersebut turun perlahan, menampakkan wajah Johan.

“Andra, lo ngapain di sini?” tanya Johan setengah berteriak.

Andra tersadar setelah mendengar suara Johan. Ia menoleh, melihat sang sepupu. Bibir Andra seolah terkunci. Andra berjalan meninggalkan tempat itu, seolah tak ingin berbicara dengan Johan maupun Pak Yudha.

“Itu anak mau kemana, sih?” kesal Johan.

“Biarin Andra sendiri! Dia butuh waktu buat nenangin diri,” kata Pak Yudha, mencoba mengerti perasaan Andra yang sedang kalut.

“Kayaknya, Andra terlalu berharap sama Windy. Jadi, dia marah karena tahu fakta yang sebenernya,” komentar Johan.

“Menurut kamu, Andra punya perasaan sama Windy?” tanya Pak Yudha.

“Udah jelas, 'kan? Kenapa masih nanya? Kayak Papa nggak pernah muda aja,” balas Johan dengan nada ketus.

Pak Yudha tersenyum. Lalu, menyenggol siku sang putra. “Kamu sendiri gimana? Udah tertarik sama cewek, belum?”

“Aku cuma tertarik sama gitar,” jawab Johan dengan ekspresi julid.

***

Windy duduk di depan pos keamanan bersama Pak Ali. Dengan sebuah kotak di tangan, gadis itu sesekali tersenyum mendengar cerita Pak Ali tentang Juli. Terlalu sibuk belajar, akhir-akhir ini Windy jarang mengunjungi Pak Ali. Jadi, sekalinya bertemu, keduanya saling bercerita.

Beberapa saat kemudian, terlihat Andra lewat. Seolah yang ditunggu telah datang, Windy langsung beranjak dari tempatnya untuk menghampiri Andra.

“Andra, nih buat lo!” ucap Windy dengan menyodorkan kotak di tangannya.

Andra tak memberikan respon. Ia terus berjalan seolah Windy tak terlihat. Rasa kecewa yang Andra rasakan tak bisa disembunyikan. Tak peduli apakah Windy tahu penyebabnya atau tidak.

All About You [END]Where stories live. Discover now