57. Tuan Arga VS Johan

7 2 0
                                    

Seorang gadis duduk di depan terminal dengan menunduk melihat sepatu yang dikenakan. Matanya berkaca-kaca, memikirkan si pemberi sepatu tersebut. Setelah bertahun-tahun, akhirnya seseorang yang dirindukan kembali. Seharusnya, ia senang saat orang itu datang menemui. Sayangnya, emosi sesaat menguasai hatinya hingga tak bisa berpikir jernih. Beruntung, sosok yang diam-diam dicintainya berusaha memberi pengertian.

“Temui? Enggak? Temui? Enggak? Temui? Enggak?” gumam gadis tersebut.

Tak jauh dari tempat gadis berambut sebahu itu berada, terlihat seorang pria paruh baya berjalan dengan wajah lelah. Pria yang tak lain adalah Pak Zen, menghentikan langkah tatkala melihat sang putri sudah menunggu di depan terminal. Pak Zen tersenyum sumringah, seolah rasa lelahnya hilang dalam sekejap.

“Jill!” teriak Pak Zen seraya melambaikan tangan.

Si pemilik nama menoleh. Perlahan, senyuman terukir di bibir mungil gadis bergaya tomboy itu. Jill bangkit dari tempatnya dan berlari menghampiri sang ayah. Ia menghambur ke pelukan Pak Zen sembari terisak.

“Ayah ...” bisik Jill.

Setelah berjuang dan menunjukkan keseriusan. Akhirnya, Jill membuka hati dan memberi kesempatan pada sang ayah untuk menebus semua kesalahan di masa lalu. Walau luka di hati Jill belum sepenuhnya sembuh. Tapi, ia mencoba untuk meyakinkan diri memulai kehidupan baru tanpa rasa dendam. Mencoba mengesampingkan masa lalu yang menyakitkan.

“Kamu boleh nggak maafin Ayah! Tapi, Ayah mohon, kasih kesempatan Ayah buat nebus semuanya!” pinta Pak Zen penuh harap.

Jill mengangguk pelan dalam dekapan sang ayah. Hatinya yang keras seolah mencair perlahan. Ia banyak memikirkan ucapan Andra hari itu, ketika Andra memberinya saran. Jill pikir, ia lebih beruntung dibandingkan Andra, karena setidaknya, ayahnya mau menyadari kesalahan di masa lalu dan mencoba memperbaiki.

Dalam acara peluk-pelukan tersebut, terdengar suara tak asing yang berbunyi. Pak Zen segera melepaskan pelukannya dari sang putri. Jill mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha menutupi rasa malu.

“Wah, kayaknya ada yang harus diisi nih,” kata Pak Zen terkikih.

“Ayah sih, lama banget keluarnya! 'Kan aku nungguin sampe kelaperan,” balas Jill, berusaha menjaga imej kerennya.

“Kalo gitu, maafin Ayah, ya, Cantik!” Pak Zen berusaha mencairkan suasana agar tak canggung.

“Oh iya, kebetulan di deket sini ada kedai nasi goreng yang enak banget. Gimana kalo kita makan di sana aja?” tawar Pak Zen.

“Kalo kata Ayah di sana makanannya enak, ya udah, kita makan di sana,” jawab Jill tampak antusias.

Jill dan Pak Zen berjalan bersama menuju kedai nasi goreng yang dimaksud. Sambil berjalan, mereka banyak mengobrol. Jill menceritakan tentang kehidupannya saat masih dikejar-kejar oleh rentenir. Sementara Pak Zen menceritakan pengalamannya ketika bersembunyi dan berakhir masuk penjara. Sebuah cerita yang terdengar menyedihkan. Lewat cerita-cerita itu, keduanya seolah mencoba memahami rasa sakit satu sama lain.

Kurang dari sepuluh menit, Jill dan Pak Zen sudah sampai di kedai tujuan. Kedai sederhana itu tampak ramai dengan para pelanggan yang datang. Jill dan Pak Zen masuk ke kedai dengan berbagi tugas. Jill yang mencari tempat duduk, sementara Pak Zen yang memesan makanan.

Beberapa pelanggan yang sedang makan mengalihkan atensi mereka pada sepasang pemuda yang tengah bercanda di tempat duduk paling ujung. Keakraban dua pemuda tersebut membuat orang-orang di sana berpikir yang tidak-tidak tentang hubungan mereka.

“Mereka pasangan gay kali!” tebak salah seorang pelanggan sembari menyedot es teh.

“Zaman sekarang ngeri, ya. Yang ganteng sukanya sama yang ganteng juga,” timpal seorang gadis dengan seragam batik.

All About You [END]Where stories live. Discover now