29. Sebuah Kepercayaan

22 1 0
                                    

Pagi telah datang menyambut. Sinar matahari memasuki sebuah ruang rawat yang menampakkan seorang pemuda tengah terbaring dengan melihat ke arah jendela. Tangan kiri pemuda yang tak lain adalah Johan itu digips. Sedangkan tangan kanannya menggenggam sebuah sapu tangan.

Sebuah ingatan di hari kecelakaan yang menimpanya berputar layaknya roll film. Saat itu, Johan ingat bahwa ada seseorang yang menggenggam tangannya dan memanggil namanya dengan panik. Johan yakin, ia tak sedang bermimpi kala itu.

“Johan, ayo sarapan dulu, Nak!” ucap seorang wanita memasuki ruang rawat Johan.

Tak ada reaksi dari Johan. Pemuda itu bahkan tak bergerak sedikit pun. Sekadar menoleh saja enggan. Wanita dengan pakaian khas wanita karir itu duduk di samping ranjang Johan, memegang satu nampan berisi makanan.

“Johan, ayo buka mulut kamu!”

Wanita yang biasa dipanggil Bu Siska itu masih tak menyerah. Walau tahu sang putra masih merajuk. Tapi, ia tetap berusaha untuk membujuknya.

“Johan ....”

Bu Siska menggenggam tangan dingin Johan yang berbalut gips. Setelah pertengkarannya dengan Johan dua hari yang lalu, sebenarnya Bu Siska sangat menyesal. Akan tetapi, ia tetap membenarkan apa yang telah dilakukannya. Johan memang keras kepala dan masih terlalu muda untuk memahami maksud baiknya. Begitulah pemikiran Bu Siska dan Pak Yudha.

“Kamu boleh ngambek atau nggak bicara sama Mama. Tapi Mama mohon, kamu makan dulu, ya! Dari tadi malem kamu nggak makan apa-apa lho!” pinta Bu Siska.

Johan masih pada posisinya dengan bibir terkunci. Dalam hal diam, Johan memang ahlinya. Bahkan jika sudah merajuk, Johan bisa berhari-hari tak bicara dengan orang yang membuatnya marah. Watak Johan memang sekeras kepala itu.

Tak lama berselang, Pak Yudha dan Andra memasuki ruang rawat Johan. Melihat kedatangan suami dan keponakannya, Bu Siska lekas meletakkan nampan ke atas meja dan menghampiri keduanya. Dengan ekspresi cemas, Bu Siska memberitahukan pada sang suami, bahwa Johan masih diam dan tak mau makan.

Pak Yudha menghela napas. Sudah ia duga, bahwa Johan akan tetap merajuk. Walau Pak Yudha dan Bu Siska adalah orang tua Johan. Namun, hingga detik ini keduanya masih kesulitan menghadapi sifat kepala batu Johan.

“Andra, tolong bujuk Johan, ya!” pinta Pak Yudha berbisik di telinga Andra.

Andra mengangguk pelan. Lalu, berjalan menghampiri Johan. Pak Yudha meraih tangan Bu Siska dan mengajak wanita itu keluar. Pak Yudha ingin memberikan ruang pada Johan dan Andra agar saling bicara. Walau jarang menunjukkan keakraban, tapi Pak Yudha tahu bahwa sebenarnya Johan dan Andra saling peduli. Memang tidak sia-sia upaya Tuan Bharata dan Nyonya Bharata yang kerap mempertemukan keduanya.

Setelah Pak Yudha dan Bu Siska keluar dari ruang rawat, Johan menoleh pada Andra. “Kayaknya ada yang salah sama motor lo,” ujar Johan.

“Maksud lo?” tanya Andra yang tak paham.

“Motor lo remnya blong. Padahal baru aja lo servisin. Pas kita berangkat sekolah, remnya masih berfungsi, 'kan? Gue yakin, pasti ada yang sengaja mau nyelakain lo,” tutur Johan, mengungkapkan pendapatnya.

Andra terdiam. Apa yang Johan katakan ada benarnya. Akhir-akhir ini, Andra merasa ada seseorang yang berusaha memojokkannya dengan menyebarkan rumor buruk tentangnya. Namun, Andra tak pernah berpikir bahwa orang tersebut akan berbuat sampai sejauh itu.

“Soal masalah lo di sekolah lo yang dulu, itu nggak bener, 'kan?” tanya Johan yang mendadak membahas masalah lama Andra.

“Bener atau enggak, orang lain mana peduli. Kalo misalkan gue bilang itu nggak bener, apa lo bakal percaya?” balas Andra yang malah balik bertanya.

All About You [END]Where stories live. Discover now