18. Ketidakjelasan Hidup Jill Ernesta

22 4 0
                                    

Hujan turun dengan deras. Sialnya, Windy belum sampai ke rumah. Terpaksa, ia berteduh di ruko yang sudah tutup bersama sepedanya. Hujan lebat disertai angin membuat hawa dingin malam itu semakin menusuk. Sesekali Windy saling menggosokkan telapak tangannya agar terasa hangat.

“Kalo ujannya nggak reda, bisa-bisa gue nginep di sini nih.” Windy bergumam cemas.

Tak lama berselang, seseorang menghentikan motor di depan ruko. Si pengendara motor yang masih mengenakan helm itu berlari ke emperan ruko untuk berteduh. Melihat kedatangan sosok tinggi tersebut, Windy menggeser posisinya sedikit menjauh.

Si pengendara motor membuka helm dan menoleh ke arah Windy. Entah takdir atau kebetulan, Andra dan Windy seolah dipertemukan kembali. Setelah acara makan bersama beberapa saat tadi, kini hujan membuat mereka bertemu lagi di emperan ruko.

“Kenapa harus ketemu lagi, sih?” bisik Windy.

“Gue kira lo udah pulang dari tadi, Win,” kata Andra, memulai pembicaraan.

“Gue tadi nemenin Helen mampir ke toko aksesoris bentar. Baru perjalanan mau pulang, eh ujan turun,” jelas Windy dengan sesekali melirik Andra.

Untuk yang ke sekian kalinya, Windy mengagumi fisik nyaris sempurna Andra. Bahkan bayangan Andra tampak begitu menarik. Di SMA Adhyaksa memang banyak murid laki-laki yang berfisik nyaris sempurna. Tapi, Windy tak merasa tertarik pada para murid populer yang terkenal tampan di sekolah.

Andra melihat Windy yang tampak kedinginan. Malam hari hujan deras disertai angin hanya mengenakan kaos lengan panjang pasti terasa begitu dingin. Begitulah pemikiran Andra tentang apa yang dirasakan Windy saat ini.

Tanpa banyak bicara, Andra melepas jaket mahalnya dan menyodorkannya pada Windy. “Nih, lo pake!”

“Nggak usah! Lo pake sendiri aja! Lo juga pasti kedi—”

Seketika Windy menghentikan ucapannya saat Andra memakaikan jaket ke tubuh mungilnya. Rasanya, Windy benar-benar tak bisa menolak kali ini. Sosok Andra memang pemuda yang peka dan lembut.

“Lo pake aja!” tambah Andra dengan tersenyum.

Windy menelan ludah ketika melihat sikap dan senyuman manis Andra. Rasanya, ia ingin berteriak dan mengatakan pada Andra agar tak terus bersikap manis padanya. Sepertinya, tembok pertahanan Windy langsung runtuh dalam hitungan detik.

Di dada Windy seperti ada tsunami yang terjadi. Dalam keadaan gugup bercampur aduk dengan canggung, mendadak ponsel dalam saku Windy bergetar. Tampaknya ada pesan datang. Dengan cepat, Windy merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

[Kak Windy, Kakak di mana? Kenapa belum pulang?]

Sebuah pesan dari Rindu menampakkan diri di layar ponsel Windy. Sepertinya orang-orang rumah mengkhawatirkan Windy yang tak kunjung pulang. Windy tentu tak ingin membuat keluarganya khawatir. Ia lekas membalas pesan dari Rindu.

[Kakak lagi berteduh di salah satu ruko jalan pahlawan. Kakak kirimin lokasi Kakak sekarang. Oh iya, Kakak sama Andra sekarang. Jadi, kalo nanti Ayah jemput Kakak, suruh bawa dua jas hujan, ya!]

Selain mengirim balasan pesan, Windy juga mengirim lokasi tempat ia berada. Di saat seperti ini, menunggu hingga hujan reda akan membutuhkan waktu lama. Apalagi sejak pulang dari sekolah, Windy belum sempat belajar. Windy tentu berharap sang ayah menjemputnya.

Andra memerhatikan Windy yang sibuk dengan ponselnya. Sebenarnya, Andra cukup merasa bersalah pada Windy atas hasil evaluasi bulanannya yang mendekati peringkat seratus. Tapi, peringkat yang didapatnya di evaluasi bulanan kali ini bisa dikatakan cukup baik dari sebelumnya. Ya, peringkat 99 bagi Andra merupakan sebuah kemajuan.

All About You [END]Kde žijí příběhy. Začni objevovat