34. Dibenci Orang Lain Tanpa Tahu Alasannya Memang Mengesalkan

26 1 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Pak Yudha sudah datang ke sekolah. Kedatangan Pak Yudha yang lebih pagi dari biasanya cukup mengejutkan beberapa murid, bahkan guru yang piket. Pak Yudha berkeliling sekolah dengan sesekali memberikan senyuman pada orang-orang yang berpapasan dengannya.

Setelah berkeliling sekitar lapangan dan halaman sekolah, Pak Yudha melanjutkan acara berkelilingnya ke gedung IPA. Pria itu menghentikan langkah di depan salah satu kelas IPA unggulan. Ia seperti tengah menunggu seseorang.

“Selamat pagi, Pak!” sapa beberapa murid perempuan yang baru datang.

“Selamat pagi juga!” balas Pak Yudha ramah.

Pemandangan langka Pak Yudha berada di depan kelas tersebut menyita perhatian semua murid yang datang. Mereka saling berbisik, mengungkapkan opini masing-masing. Sungguh sang kepala sekolah membuat penasaran.

Tak lama kemudian, seorang murid laki-laki dengan tagname Ramon Alberto datang. Sambil sedikit membungkuk, pemuda itu melewati Pak Yudha dengan santai.

“Ramon Alberto!” panggil Pak Yudha.

Ramon menghentikan langkah. Ia membalikkan tubuh, memandang sang kepala sekolah dengan wajah dinginnya.

“Ada sesuatu yang mau Bapak bicarain sama kamu. Bisa ikut Bapak ke ruangan Bapak sekarang?” tanya Pak Yudha dengan senyuman yang menghiasi wajah.

Ramon memberikan jawaban dengan mengangguk. Kemudian, ia melangkah mengikuti Pak Yudha dengan beberapa pasang mata yang melihatnya penuh tanya.

Sosok Ramon memang cukup terkenal di kalangan murid SMA Adhyaksa karena ia termasuk jajaran murid terbaik. Selain itu, sosok Ramon juga terkenal karena sikap angkuhnya. Ia kerap menjadi bahan gunjingan murid lain karena sikapnya terkadang menyebalkan.

Sesampainya di ruangan Pak Yudha, Ramon duduk dengan santai. Sementara Pak Yudha mengambil minuman dan laptop dari meja kerjanya.

”Ayo diminum!” kata Pak Yudha seraya menyodorkan satu kaleng softdrink pada Ramon.

Ramon hanya mengangguk pelan. Lalu, meraih kaleng softdrink tersebut dan membukanya. Dipanggil kepala sekolah secara langsung dengan tiba-tiba sama sekali tak membuat Ramon takut atau bingung. Pemuda itu terlihat tenang, seolah tak ada hal yang membuatnya harus takut atau cemas.

Pak Yudha memutar sebuah video di laptopnya. Ditunjukkannya video tersebut pada Ramon. Melihat video itu, Ramon masih terlihat tenang, seolah orang yang ada di video yang diputar, bukan dia.

“Ramon, bisa nggak, kamu jelasin ini?” tanya Pak Yudha setelah selesai memutar video.

Ramon hanya diam. Ekspresinya masih sama. Tenang dan santai. Bibir tipisnya tak bergerak, seolah enggan menjawab atau sekadar memberikan respon.

“Bapak janji bakal rahasiain ini dari orang-orang. Tapi, tolong kamu kasih penjelasan!” tambah Pak Yudha.

“Bapak bisa ngasih tahu ke semua orang kalo Bapak mau,” balas Ramon yang malah seperti menantang.

Jawaban Ramon barusan membuat Pak Yudha tak habis pikir. Memaklumi sikap kurang baik seorang pemuda memang tak bisa dianggap normal. Benar, bahwa manusia selalu memiliki dua sisi, yaitu baik dan buruk. Sayangnya, ada beberapa manusia yang membiarkan sisi buruk menguasai dirinya. Bahkan saat sisi buruk itu bisa ditekan oleh sisi baik.

Pak Yudha menghela napas. Ia tak bisa terlalu memaksa Ramon untuk bicara. Sepertinya, cara pertama yang Pak Yudha tempuh tak berhasil. Mau tak mau, Pak Yudha harus menggunakan rencana B.

“Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau ngomong! Kalo gitu, kamu bisa kembali ke kelas sekarang!” ucap Pak Yudha.

***

Helen membiarkan ponselnya berdering di atas meja. Gadis itu masih tak percaya dengan pernyataan Windy semalam. Mau dipikirkan berapa kali pun, rasanya Helen masih tak percaya jika Ramon adalah orang yang mencoba mencelakai Andra. Helen dan Ramon memang belum lama dekat dan akrab. Namun, sikap Ramon pada Helen sangat berbalik dengan apa yang dikatakan orang-orang tentang Ramon.

“HP lo bunyi tuh!” kata Nino sembari memasukkan buku ke dalam tas.

“Biarin!” balas Helen tanpa mengubah posisinya.

Nino yang masih kecewa pada Helen, memutuskan untuk tak peduli. Toh, orang yang dipedulikan tidak merasa. Kini, Nino memasang headset di telinga. Dibukanya buku tebal yang dipinjam dari perpustakaan umum. Evaluasi bulanan akan segera datang, tinggal menghitung hari saja. Nino tidak ingin pusing memikirkan masalah orang lain yang tidak ada kaitan dengannya.

“Nino, ajarin gue rumus ini, dong!” ucap Vera menghampiri Nino.

Nino melepas headset-nya. Ia mendongakkan kepala, melihat teman satu kelasnya yang membutuhkan bantuan.

“Yang mana?” tanya Nino.

“Yang nomer 12 sama 15. Dari tadi gue ngerjain itu, tapi jawaban gue nggak ada yang cocok.” Vera menggeser kursi yang dekat dengannya agar bisa duduk dan lebih konsentrasi mendengar penjelasan dari Nino.

Beberapa saat kemudian, Ramon memasuki kelas 12 IPA 2. Kedatangan Ramon langsung menghebohkan seisi kelas. Tak peduli komentar orang-orang tentangnya, Ramon berjalan dengan santai menuju tempat duduk Helen.

“Kenapa nggak lo angkat?” tanya Ramon tanpa basa-basi.

Helen mengangkat kepala, memandang Ramon. Tak pernah Helen sangka, jika Ramon akan nekad mendatanginya ke kelas.

“Eum ... gue lagi nggak enak badan,” jawab Helen, membuat alasan.

“Ya udah, kalo gitu.”

Ramon membalikkan tubuh, berniat kembali ke kelasnya. Sebenarnya, tujuan Ramon datang ke kelas 12 IPA 2 selain untuk menemui Helen, juga untuk memastikan sesuatu. Setelah melihat gelagat Helen yang mendadak menjauhinya, Ramon yakin Helen mengetahui sesuatu tentangnya.

Saat berada di depan pintu, Ramon bertemu dengan Andra dan Windy yang baru kembali dari perpustakaan dengan membawa beberapa buku. Mata Ramon dan Andra saling bertemu tatap, seolah saling berbicara lewat sorot mata.

Andra mengepalkan tangan, menahan rasa ingin membantai Ramon. Begitu pula dengan Ramon, ia juga mengepalkan tangan kuat, menahan rasa ingin mencabik Andra. Windy meraih tangan Andra, seolah menenangkan pemuda itu. Permasalahan yang diselesaikan dengan kekerasan justru bisa berbuntut panjang. Oleh karena itu, Windy mencoba untuk menahan Andra, agar tak menuruti emosi sesaat.

“Andra, yuk masuk!” ucap Windy sembari menarik tangan Andra memasuki kelas.

***

Sore hari telah tiba. Semua murid keluar kelas dengan penuh suka cita. Windy menggandeng tangan Helen dengan Andra dan Nino yang berdiri di belakang keduanya. Untuk sementara, orang yang mengetahui perihal apa yang Ramon lakukan hanya Andra, Windy dan Helen. Nino yang tak tahu menahu hanya ikut bergabung.

Di koridor, tampak Ramon berdiri memandang Helen dari kejauhan. Melihat Ramon, Helen rasanya tak sanggup. Ia merasa bersalah karena menghindari Ramon, seolah menganggap Ramon jahat. Padahal, akhir-akhir ini Ramon banyak membantunya.

“Win, gue nggak bisa ngehindar terus dari Ramon. Gue sama sekali nggak ngebenerin apa yang dia lakuin. Tapi, seenggaknya gue harus dengerin penjelasan dari dia dulu.” Helen melepas tangan Windy.

“Tapi Hel ....”

Helen kini berlari ke arah Ramon. Dinding persahabatan Helen dan Windy seolah terkikis oleh keterlibatan Ramon pada kecelakaan yang menimpa Johan. Akhir-akhir ini, Helen dan Ramon memang dekat dan banyak menghabiskan waktu bersama. Helen bahkan tampak begitu menyukai Ramon. Windy juga bisa melihat hal itu.

“Gue sedikit khawatir sama Helen. Tapi ... kayaknya Ramon juga suka sama Helen.” Windy bergumam.

“Gue nggak kenal sama Ramon sebelumnya. Jadi, menurut lo, kenapa dia sampe ngelakuin itu?” tanya Andra.

Windy menoleh, memandang Andra. Windy seperti merasakan kebingungan yang dialami Andra. Dibenci oleh seseorang tanpa tahu sebabnya memang sangat menyebalkan dan mengesalkan. Mengapa harus ada orang yang membenci orang lain tanpa sebab? Mendengarnya saja, rasanya itu tidak adil.

- Bersambung -

All About You [END]Where stories live. Discover now