41. Fakta yang Mengecewakan

10 2 0
                                    

Rindu duduk di bawah pohon dekat taman sekolah seorang diri. Tangannya menggenggam secarik kertas yang berisi kumpulan nilainya di evaluasi bulan ini. Rasanya, Rindu ingin menyembunyikan kertas itu dari keluarganya, terutama sang ibu. Melihat Windy yang berhasil mendapat peringkat satu membuat Rindu semakin khawatir dan tertekan. Ya, khawatir akan dibandingkan dengan sang kakak.

“Aku udah belajar keras. Tapi, emang kemampuanku cuma segini,” gumam Rindu seraya memainkan kerikil di dekat sepatunya.

“Kalo udah belajar, ya udah! Nggak usah ngeluh mau dapet peringkat berapa!”

Indera pendengaran Rindu menangkap suara seseorang menyahuti gumamannya. Gadis itu lantas menoleh. Didapatinya seorang pemuda tinggi dengan tangan kiri dibalut gips memandangnya.

“Kak Johan ...” lirih Rindu.

Johan duduk di samping Rindu. Mata indah pemuda itu memandang lurus ke kolam ikan yang berada di tengah taman.

“Nggak usah sedih kalo nggak dapet peringkat teratas!” Johan kini menatap Rindu intens. “Gue yang anaknya kepala sekolah aja cuma dapet peringkat lima.”

Rindu menunduk. Jika saja ia bisa masuk sepuluh besar, mungkin ia tidak akan sekesal ini pada dirinya sendiri. Sayangnya, kemampuan seorang Rindu hanya sampai pada peringkat 30 besar.

“Tapi, tetep aja beda. Kak Johan nggak butuh beasiswa buat bertahan di sekolah ini. Kalo aku ... aku harus masuk sepuluh besar biar bisa dapet beasiswa. Kalo aku nggak dapet beasiswa, aku bakal makin nyusahin ayah sama ibu aku,” ungkap Rindu sembari meremas kertas nilainya.

Johan tidak tahu bagaimana rasanya berjuang untuk mendapat beasiswa. Selama ini, ia mampu bersekolah di sekolah elite karena kedua orang tuanya memang mampu membiayai. Bisa dikatakan, Johan dituntut untuk mendapat nilai bagus bukan untuk beasiswa, melainkan untuk memenuhi hasrat kedua orang tuanya yang ingin memamerkan nilai akademisnya di depan para kolega.

Melihat betapa tertekan dan sedihnya Rindu, Johan jadi iba. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Akan tetapi, terkadang keadaan memaksa seseorang untuk memaksakan kekurangannya menjadi kelebihan.

“Ikut gue!” Johan meraih tangan Rindu.

“Hah? Kemana?” tanya Rindu.

“Ikut aja!”

Johan menarik tangan Rindu agar ikut bersamanya. Si pemilik tangan mengikuti dengan rasa penasaran yang tinggi. Sungguh Rindu tak pernah menyangka, jika ia dan Johan akan sedekat ini. Kalau dipikir lagi, awal kedekatan mereka terjadi secara kebetulan. Melalui banyak kebetulan itulah, seolah Tuhan memberi keduanya kesempatan untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain yang memiliki latar belakang berbeda.

Saat melewati koridor, Johan dan Rindu menjadi pusat perhatian. Sebuah pemandangan langka, melihat seorang pemuda cuek dan culas seperti Johan bersama murid perempuan dan terlihat akrab. Johan yang memang tipe manusia yang tak peduli kata orang, tampak santai saat menjadi pusat perhatian. Sementara Rindu yang tak pernah menjadi pusat perhatian, merasa bingung dan gugup. Terlebih, pandangan para kakak kelas padanya terlihat sinis.

Setelah melewati lantai dua yang penuh dengan tatapan sinis, akhirnya Johan menghentikan langkah di lantai empat. Tepatnya, di ujung ruangan yang tak lain adalah gudang. Dilepaskannya tangan Rindu. Lalu, Ia mulai merogoh kunci dari saku jas seragamnya.

“Kita ... kita ngapain ke gudang?” tanya Rindu dengan pikiran yang tidak-tidak.

“Nanya mulu kayak Dora! Gue nggak bakal macem-macem kok!” jawab Johan seraya membuka pintu gudang dengan kunci yang dibawa.

Ketika pintu gudang terbuka, Johan langsung masuk. Sedangkan Rindu masih berdiri di depan pintu gudang. Ia melihat Johan yang tengah membuka jendela gudang dan membuat ruangan yang gelap itu jadi terang. Sekarang, Rindu bisa melihat sebuah gitar yang bertengger di atas kursi lusuh dekat jendela. Johan mengambil gitar tersebut dan mulai memainkannya pelan-pelan.

All About You [END]Where stories live. Discover now