60. Pengakuan yang Tertunda

6 2 0
                                    

Johan berjalan keluar dari tempat bimbel bersama beberapa murid dari sekolah lain. Ia memandang area depan bimbel yang ramai. Ada banyak orang yang menjemput para murid. Ketika melihat seorang pemuda berdiri di seberang jalan melambaikan tangan, mendadak Johan teringat pada Andra. Ia ingat ketika sang sepupu menjemput dan mengajaknya pergi ke festival budaya secara paksa. Tak bisa Johan pungkiri, bahwa sebenarnya ia sudah lelah merajuk. Ia ingin kembali melakukan banyak hal dengan Andra. Pemuda 17 tahun itu bahkan merindukan telur ceplok setengah gosong buatan Andra.

Beberapa saat kemudian, tampak Pak Yudha berlari menghampiri Johan. Pria itu terlihat panik dan khawatir, membuat Johan heran.

“Johan!” panggil Pak Yudha sembari mengatur napas terlebih dahulu.

Johan mengangkat sebelah alisnya, memandang sang ayah. Sungguh ia dibuat penasaran dengan ekspresi panik dan cemas ayahnya. Setelah selesai mengatur napas, Pak Yudha kembali berbicara.

“Johan, ayo kita ke rumah sakit sekarang!” ajak Pak Yudha dengan meraih tangan mulus sang putra.

“Ke rumah sakit? Ngapain?” tanya Johan ketus.

“Andra masuk rumah sakit. Kata Pak Boni, sekarang Andra kritis,” jawab Pak Yudha.

Bagai disambar petir di siang bolong. Jantung Johan nyaris copot mendengar jawaban sang ayah. Ia bahkan hampir tak percaya dengan apa yang didengar barusan. Pemuda itu yakin, bahwa tadi siang ia masih melihat Andra baik-baik saja. Hanya selang beberapa jam, Johan sudah mendengar kabar bahwa Andra masuk rumah sakit.

“Papa bercanda, 'kan? Tadi siang Andra masih baik-baik aja kok!” bantah Johan tak percaya.

“Kejadiannya mendadak. Nanti kita tanya kejadiannya sama Om Arga aja.”

Pak Yudha menarik tangan Johan memasuki mobil. Johan hanya bisa mengikuti. Pikirannya tak karuan. Untuk memastikan kebenaran dari perkataan sang ayah, Johan menelepon Andra. Sayang sekali, tak ada jawaban dari si pemilik ponsel.

Pak Yudha melajukan mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan kota yang ramai. Walau Andra bukan anaknya, tapi Pak Yudha menyayangi Andra seperti ia menyayangi Johan. Ia juga selalu merasa bersalah pada Andra, karena tak bisa menggantikan peran Tuan Bharata.

“Gue harap, ini cuma prank dari Andra,” ucap Johan, masih berusaha tak memercayai apa yang didengar.

Pak Yudha melirik sang putra. Ia yakin, saat ini sebenarnya Johan bingung dan merasa bersalah. Namun, anak semata wayangnya itu selalu menutupi apa yang dirasakan dengan bersikap dingin dan tak berperasaan di depan orang lain.

Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke rumah sakit yang mereka tuju. Setelah memarkir mobil, Pak Yudha dan Johan lekas keluar dari mobil. Keduanya melangkah dengan terburu-buru memasuki bangunan megah itu. Ketika berada di koridor, mereka bertemu dengan Pak Boni yang sudah menunggu.

“Pak Boni, gimana keadaan Andra?” tanya Pak Yudha penasaran.

“Den Andra masih ada di ruang operasi. Belum ada kabar lagi.” Pak Boni menjawab dengan wajah cemas.

“Mari saya antar ke sana!” lanjut Pak Boni.

Pak Yudha dan Johan mengikuti Pak Boni menyusuri koridor menuju ruang operasi. Di saat seperti ini, mendadak Johan malah teringat saat-saat kebersamaannya dengan Andra. Ketika mereka makan bersama, ketika mereka masak bersama dan ia selalu mengomel karena Andra membuat dapur seperti kapal pecah, ketika ia mengajari Andra bermain gitar, bahkan saat ia menggoda Andra seputar hubungan Andra dengan Windy.

Tak bisa Johan pungkiri, bahwa saat ini, ia sangat takut terjadi sesuatu pada sang sepupu. Apalagi hal ini terjadi saat hubungannya dengan Andra sedang ada masalah. Johan mengusap kasar air matanya yang mengalir. Dalam hati, ia mendoakan yang terbaik untuk kesembuhan Andra.

All About You [END]Where stories live. Discover now