21. Ceritaku dan Ceritamu

21 2 0
                                    

Andra keluar dari lift. Pemuda itu melangkah menuju apartemennya. Di depan pintu apartemen, ia melihat Pak Yudha berdiri dengan sesuatu di tangan. Andra menghentikan langkah, berniat untuk membalikkan tubuh. Sayangnya, sebuah panggilan dari Pak Yudha menghentikannya.

“Andra, tunggu!” teriak Pak Yudha sembari menghampiri Andra.

Andra mengepalkan tangan. Hatinya seperti dicabik-cabik. Segala hal yang tak ingin ia ingat seolah berputar di kepala.

“Andra, kamu belum makan, 'kan?” tanya Pak Yudha dengan tersenyum ramah.

Sungguh Andra benci senyuman ramah kakak dari ayahnya itu. Senyuman itu seolah dijadikan topeng untuk menutupi kesalahannya di masa lalu.

“Aku udah makan,” tolak Andra.

“Kalo gitu, kamu bisa makan ini—”

Pak Yudha belum sempat menyelesaikan perkataannya, tapi tiba-tiba Andra merebut kantong plastik di tangan dan menginjaknya kasar. Dengan air mata yang mengalir, pemuda itu seolah meluapkan rasa bencinya pada kantong plastik berisi makanan itu.

“Kamu mau seperhatian apapun sama aku, nggak akan ada yang berubah! Sejak awal, kekacauan ini karena ulah kamu! Kalo aja kamu nggak jadi pengecut, mungkin aku nggak akan pernah ada dan jadi beban orang tuaku!” teriak Andra, meluapkan emosinya.

Pak Yudha terdiam. Apa yang Andra katakan memang benar. Kekacauan yang ada di keluarga Bharata memang akibat ulahnya. Jika saja 18 tahun lalu ia tak jadi pengecut, mungkin ceritanya akan berbeda.

Andra melangkah menuju apartemennya. Tubuhnya gemetar dan berkeringat dingin. Ia begitu membenci dan menyesali hidupnya. Bahkan jika boleh jujur, sebenarnya Andra ingin mengakhiri segalanya.

Andra memasuki apartemen dan menutup pintu dengan keras. Tubuhnya merosot di lantai dengan terisak. Selepas kepergian sang kakek, Andra seolah tak memiliki sandaran. Sang ayah terlalu sibuk mengurus pekerjaan dan keluarga barunya. Hanya Pak Yudha yang seolah berusaha menggantikan peran sang kakek.

***

Deburan ombak dan angin kencang pantai menemani Andra. Dinginnya udara seolah tak membuat pemuda berahang tajam itu ingin beranjak dari tempatnya. Di bawah langit dan sinar rembulan, Andra memandang hamparan pantai yang luas. Pantai saja seluas itu. Berarti, dunia ini ribuan kali lebih luas. Sayangnya, di dunia yang begitu luas, Andra merasa sendiri dan tak memiliki siapa-siapa.

“Kenapa gue dilahirin kalo cuma buat nanggung beban ini?” teriak seseorang yang berada tak jauh dari tempat Andra duduk.

Mendengar suara teriakan tersebut, Andra menoleh ke sumber suara itu berasal. Dalam gelapnya malam, netra Andra melihat sosok yang tak asing.

“Jill?” gumam Andra.

Andra bangkit dari duduknya. Ia melangkah menghampiri Jill yang sepertinya tengah mengalami hal yang sama dengannya.

“Andra? Lo ngapain di sini?” tanya Jill saat melihat Andra.

Andra tak menjawab pertanyaan Jill. Ia malah mengeluarkan beberapa batu kecil dari kantong celananya. Kemudian, menyodorkan benda tersebut pada Jill. “Nih buat lo!” ucapnya.

Jill menerima batu pemberian Andra. Dengan semangat, gadis itu melempar batu-batu itu ke pantai. Dengan terisak pelan, Jill seolah membuang masalahnya bersamaan dengan dilemparnya batu-batu tersebut.

“Kalo lo ada masalah dan pengen cerita, lo bisa cerita ke gue.” Andra memandang Jill lekat, seolah memahami perasaan gadis 18 tahun itu.

Sebuah perkataan yang biasa, namun terdengar hangat di telinga Jill. Andra adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk menjadi pendengar ceritanya. Andra juga menjadi orang pertama yang mengetahui sisi rapuhnya.

All About You [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin