52. Nasihat Seorang Teman

6 3 0
                                    

Andra keluar dari lift. Kakinya melangkah melewati pintu kaca apartemen. Masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah. Namun, Andra tetap berangkat ke sekolah di jam tersebut. Ketika berada di halaman area apartemen, Andra dihampiri oleh Nyonya Cecil dan Tuan Hanung yang menggendong Ardhan.

“Andra, kamu mau berangkat sekolah, ya? Bareng, yuk!” ajak Nyonya Cecil dengan meraih pundak sang putra.

“Nggak usah! Aku mau naik bus aja,” tolak Andra seraya menyingkirkan tangan sang ibu dari pundaknya.

Nyonya Cecil bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari Andra. Melihat ekspresi wajah Andra saja, ia sudah tahu, bahwa saat ini putra pertamanya itu sedang tak baik-baik saja.

“Aku pergi dulu!” pamit Andra sembari melangkah meninggalkan Nyonya Cecil dan Tuan Hanung.

Andra berusaha untuk tak terlihat berbeda. Namun, rasanya ia tak tahan jika mengingat ucapan sang ayah. Andra memang tak sepenuhnya percaya. Tapi, apa yang dikatakan sang ayah cukup masuk akal.

Andra berjalan menuju halte terdekat. Hatinya terombang-ambing antara merasa bersalah dan kecewa. Kenyataan memang tak semanis harapan. Walau selama ini terbiasa hidup tanpa kasih sayang dari ayah maupun ibunya. Namun, perhatian yang diberikan sang ibu akhir-akhir ini cukup membuatnya bahagia dan merasa memiliki arti.

Andra menghentikan langkah saat seorang pria paruh baya berdiri menghalangi jalan. Pria tersebut tersenyum, menampakkan kerutan di wajahnya. Andra ikut tersenyum sekalipun ia tak mengenal pria tersebut.

“Kamu temennya Jill, 'kan?” tanya pria yang akrab disapa Pak Zen itu pada Andra.

“Iya.” Andra menjawab, masih dengan menampakkan wajah bingung.

“Bisa kita bicara sebentar, Nak?” Pak Zen bertanya penuh harap.

“Iya. Bisa.” Andra mengangguk.

***

Andra memasuki gerbang sekolah dengan sebuah kotak di tangan. Masih terngiang jelas di telinga Andra perihal ucapan Pak Zen yang meminta tolong padanya agar memberikan kotak tersebut pada Jill. Berbincang dengan Pak Zen kurang lebih setengah jam, Andra jadi tahu masalah keluarga Jill. Tentang perjuangan Pak Zen untuk mendapatkan maaf dari sang putri.

“Andra, habis ini main basket, yuk!” sapa Galih dengan berdiri di samping Andra dan merangkul pundak Andra.

Saat melihat kotak di tangan Andra, rasa kepo Galih membuncah. “Eh, lo habis beli sepatu baru, ya?” tanya Galih.

“Bukan punya gue,” jawab Andra, mempercepat langkah.

“Andra, tungguin gue!” teriak Galih.

“Gue ada urusan bentar! Tunggu gue di lapangan basket!”

Andra membalas teriakan Galih dengan ikut berteriak sambil mengacungkan jempol. Lalu, ia berlari menuju gedung kelas IPS.

“Lah, kelasnya ada di sebelah sana. Kenapa dia malah ke situ?” gumam Galih heran.

Andra berjalan di koridor dengan beberapa pasang mata yang menatapnya aneh. Pemandangan yang cukup langka, melihat murid dari kelas IPA memasuki area kelas IPS. Andra terus melangkah menuju lantai tiga, tempat kelas 12 IPS berada. Belum sampai di lantai tiga, Andra bertemu dengan Jill yang tengah menenteng tempat sampah. Melihat Andra, Jill jadi penasaran.

“Andra, lo ngapain ke sini?” tanya Jill sembari melirik kotak di tangan Andra.

“Ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo.” Andra menjawab santai.

“Ya udah. Kalo gitu, kita bareng-bareng ke taman sekolah sekalian gue mau buang sampah,” balas Jill.

Andra mengangguk. Lalu, ia dan Jill melangkah bersama menuruni tangga. Jill cukup antusias dengan kedatangan Andra. Tak peduli apa yang akan dibicarakan. Pada kenyataannya, Jill menyukai Andra dan semua tentang Andra.

All About You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang