62. Bermain Petak Umpet

6 2 0
                                    

Hari demi hari berlalu. Waktu terus berjalan tanpa mau menunggu siapapun. Tak peduli pada keadaan apapun. Semua orang harus bisa berpacu dengan waktu. Tanpa terasa, ujian semester ganjil telah selesai dilaksanakan. Kini, para murid bisa bernapas lega sembari menunggu hasil. Namun, hal itu hanya berlaku untuk kelas 10 dan 11. Sedangkan untuk kelas 12, ujian semester ganjil hanya awal dari pertempuran mereka menghadapi banyak ujian selanjutnya.

Windy mempelajari soal-soal UN tahun lalu di perpustakaan sekolah. Sudah dua pekan lebih, gadis itu melakukan banyak hal sendirian. Teman sebangku sekaligus rekan satu kelompoknya masih belum kembali. Melihat Windy belajar sendiri, membuat Helen tak tega. Ia berinisiatif mengajak Nino untuk belajar bersama Windy.

“Win, gue sama Nino boleh duduk di sini, 'kan?” tanya Helen, dengan menata alat tulis di atas meja yang sama dengan Windy.

Windy mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Gadis itu sungguh ambisius dalam hal belajar. Membuat Nino ketar-ketir akan disalip lagi.

“Serius amat! Santai dikit, napa!” goda Nino.

Windy menghentikan kegiatannya. Ia juga melepas headset yang menyumbat telinga. Hanya sedikit senyuman yang ia tampakkan untuk menanggapi godaan sang rival.

“Gue harus belajar lebih keras biar bisa masuk ITB. Katanya, kuota penerimaan mahasiswa farmasi nggak banyak. Saingan gue banyak. Jadi, gue harus belajar keras dari sekarang.” Windy berujar. Kini, ia mengambil buku kumpulan rumus matematika yang bertengger di dekatnya.

“Kayaknya, gue juga harus belajar keras biar bisa masuk UI.” Nino membuka buku tebalnya.

Helen bergidik ngeri melihat dua teman sekelasnya itu. Mereka sangat ambisius dalam mengejar mimpi dan cita-cita. Sementara Helen, sampai kini tak tahu perguruan tinggi mana yang akan dituju.

Tak lama kemudian, Johan datang menghampiri Windy. Pemuda kelas 11 itu mengatur napas terlebih dahulu sebelum berbicara. Sepertinya, ia berlari dari lantai dua ke lantai tiga, lalu turun ke lantai satu, karena baru tahu kalau Windy berada di perpustakaan. Entah apa yang akan dikatakan Johan pada Windy, sampai ia terlihat sesemangat itu.

“Johan, ada apa?” tanya Windy seraya menutup bukunya.

“Andra! Andra udah siuman,” jawab Johan, masih berusaha mengatur napas.

Windy, Helen dan Nino tampak senang mendengar kabar baik tersebut. Mereka merasa lega mengetahui hal itu. Windy membereskan buku-bukunya dengan cepat. Semangat gadis itu seolah bertambah. Ia ingin segera pulang, agar bisa menemui Andra.

***

Andra memandang ke arah luar jendela yang menampakkan pepohonan asri di taman rumah sakit. Setelah dua pekan lebih tak sadarkan diri, pemuda itu seolah bingung. Sejak siuman beberapa saat lalu, ia hanya diam. Ditanya apapun, Andra hanya menggeleng, membuat sang ayah cemas tak karuan.

“Andra!” panggil Tuan Arga yang baru memasuki ruangan.

Andra menoleh, memandang Tuan Arga. Wajahnya masih pucat dengan ekspresi datar. Tuan Arga duduk di samping ranjang tempat Andra berada. Ia menggerakkan tangan kirinya di dekat Andra, seolah meminta sang putra memerhatikan sesuatu yang melingkar di sana.

“Jam tangannya bagus. Papa suka,” ujar Tuan Arga, mencoba memulai pembicaraan.

Andra masih diam. Ia seperti mengunci bibirnya rapat-rapat. Tak peduli Tuan Arga berbicara apa, ia seolah enggan menanggapi.

“Tadi, Papa udah tanya-tanya sama dokter. Kata dokter, kalo kamu nggak suka makanan rumah sakit, kamu bisa makan makanan dari luar, asal makanan itu sehat dan higienis. Kamu pengen makan apa? Biar Papa beliin,” tawar Tuan Arga.

All About You [END]Where stories live. Discover now