#04. Adhisty

450 53 0
                                    

Di luar hujan. Cukup deras dengan petir yang mengiringinya. Cakra duduk di atas sofa putih apartemen studio Amory dengan Ian di sampingnya. Nevan memilih mendudukkan diri di kursi belajar samping pintu masuk kamar mandi. Si gadis asing yang beberapa saat lalu mengenalkan diri sebagai Adhisty duduk di sisi ranjang. Hoody merah muda yang Ian temukan di lemari Amory kini melapisi tubuh bagian atasnya. Menutupi dress putih lusuh tanpa lengan yang dia pakai.

Ada mug biru berisi coklat hangat yang dia genggam. Dibuatkan Cakra meski sebelumnya dia menolak. Setelah sesi perkenalan beberapa saat lalu, tak ada lagi perbincangan di antara mereka. Semuanya bungkam, mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sebelumnya Ian dan Nevan sudah bergantian menanyakan alasan Adhisty pingsan dengan keadaan mengenaskan di tangga, bertanya apa dia ingin pulang, dan hal-hal semacam itu. Namun, berapa kalipun ditanya, Adhisty tidak mau menjawabnya. Gadis itu malah selalu menatap tajam mereka dan sesekali mengeluarkan perkataan kasar yang sungguh tak enak didengar.

Nevan mengangkat lengan kiri, melihat jam hitam yang melingkar di sana. "Udah 35 menit Amory pergi. Apotek cuma di depan, kan?" tanyanya.

Cakra menoleh pada kaca besar di samping ranjang, memperhatikan guyuran hujan dan gelapnya malam. "Kejebak hujan, kah?" terkanya.

"Dia harusnya nelpon nggak, sih?" Kali ini Ian yang bersuara. Sedikit gusar karena setelah dipikirkan Amory sudah pergi terlalu lama.

"Mungkin apoteknya penuh. Gue coba tel──"

"Dia pakai seragam?"

Nevan terpaksa bungkam kala perkataannya dipotong begitu saja oleh Adhisty. Gadis itu bahkan sampai bangkit berdiri seolah ada suatu hal penting yang ingin dia sampaikan.

Meski heran, Nevan tetap mengangguk sebagai jawaban. "Iya," ucapnya.

Adhisty terlihat menutup mata sejenak, membukanya beriringan dengan bibir bawah yang dia gigit. Gelagatnya entah kenapa terlihat aneh. Membuat Nevan mengerutkan alisnya.

Adhisty sendiri kini dilanda rasa gusar, dia menoleh ke belakang guna melihat hujan lewat kaca besar, melihat jam digital di atas laci samping ranjang, dan perasaannya semakin memburuk saja. Dia menimang, bingung harus menyampaikannya atau tidak. Kalau disampaikan, tiga lelaki itu pasti tak akan percaya dan menganggapnya aneh. Namun kalau tidak, dia takut hal buruk akan terjadi. Dia akan merasa bersalah kalau seperti itu.

"Kenapa dengan seragam?" tanya Cakra yang penasaran.

Adhisty tak langsung menjawab, dia meremas lengannya sendiri, semakin tak karuan dan detak jantungnya mulai tak normal. Oke, dia sepertinya harus mengatakan apa yang dia takutkan. Urusan percaya atau tidaknya ACIN, itu bukan tanggung jawabnya.

"Sekarang malam, hujan, dan teman kalian di luar masih pakai seragam sekolah. Terserah mau percaya atau nggak, tapi ada kemungkinan dia diculik," papar Adhisty mantap.

Nevan seketika bangkit, memfokuskan pandangan pada Adhisty, kemudian berkata, "Maksud lo apa?" Dari nadanya, jelas sekali Nevan tak terima dengan pemaparan Adhisty.

"Kalau dia diculik, dia akan berakhir kayak gue. Ah, mungkin lebih buruk. Sebagai ungkapan terima kasih karena udah nolong gue, gue saranin telpon teman kalian itu, kalau nggak diangkat, susul. Ini nyata. Gue buktinya. Kota tempat kita tinggal nggak secerah yang kalian tahu."

Nevan, Cakra, dan Ian saling beradu pandang. Seolah sedang berdiskusi dengan itu. Cara Adhisty berbicara terdengar seperti kebenaran. Gadis itu tak terlihat berbohong sama sekali. Namun, sebagian hati mereka tetap meragukannya. Ayolah, bagaimanapun, apa yang Adhisty katakan mirip seperti omong kosong.

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now