#19. Peringkat Pertama

357 41 1
                                    

Buru-buru keluar dari ruang bawah tanah setelah Nevan mendapat panggilan, empat remaja dengan seragam yang sama itu memilih memanjat tembok sekolah guna kabur dari tempat ini. Berbicara baik-baik dengan guru piket akan memakan waktu dan banyak pertanyaan. Jadi, hanya membolos yang bisa mereka lakukan. Lagipula ada Adhisty bersama mereka, berhadapan dengan pihak sekolah dengan murid yang sudah lama tak hadir akan cukup merepotkan.

Kini mereka memeriksa satu persatu brankar di balik tirai IGD dengan tak sabaran. Sesekali mendapat delikan dari penunggu pasien karena mereka sangat tidak sopan.

Membuka tirai paling ujung, keempat orang itu membeku. Mereka sama-sama diam kala melihat siapa yang sekarang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar.

Dress putih sebatas lutut tanpa lengan, beberapa perban yang terpasang di tubuh, wajah cantik yang pucat, lalu rambut panjang berwarna hitam cukup kusut. Penampilan itu cukup untuk membuat Cakra juga dua temannya meringis. Ayolah, Amory tidak pernah sekacau ini.

"Sus." Cakra menghentikan seorang perawat yang berjalan di sekitar dengan panggilannya. "Gimana cara dia sampai di sini?" tanyanya menunjuk Amory lewat lirikan mata.

Perawat itu ikut melirik Amory. Merasa asing dengan gadis itu, dia kini membawa pandangannya pada perawat lain yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Mengangkat tangan, kemudian berseru, "Suster Rina."

Merasa terpanggil, perawat dengan nama Rina itu menghampiri mereka. Senyuman kecil timbul di bibirnya yang tipis.

"Adeknya silahkan tanya sama suster yang ini, ya, saya permisi dulu." Berkata demikian, suster pertama memilih pamit, melangkahkan kaki setelah saling beradu lirikan dengan rekannya.

"Sus, dia, gimana caranya bisa ke sini?" tanya Cakra. Sekali lagi dia melirik Amory guna memberitahu bahwa yang dia maksud adalah gadis itu.

Tanpa memberikan jeda, suster Rina menjawab, "Siswi itu, dia ditemukan beberapa orang tersembunyi di rerumputan taman sekitar dalam keadaan pingsan. Mereka yang membawanya ke sini."

Taman? Terlebih tersembunyi? Dari pakaian yang Amory kenakan, dia jelas yakin penculik Amory sama dengan penculik Adhisty. Namun, kenapa temannya itu bisa bebas? Terlebih dalam keadaan hidup. Adhisty bisa melarikan diri setelah satu tahun di sana, dan Amory bisa kembali muncul hanya dalam beberapa hari. Cakra tentu saja senang dengan itu, sangat senang. Dia rasa keberuntungan temannya sangatlah baik.

•••

Seorang pria jangkung dengan setelan jas formal berwarna hitam dan kemeja putih yang sebagian besarnya tersembunyi di balik jas melangkah keluar dari salah satu gedung apartemen yang ada di kota ini. Pria yang umurnya berada di kisaran 30 tahunan itu mengeluarkan ponselnya dari balik jas seraya melangkahkan kaki menjauhi pintu masuk gedung. Menekan beberapa tombol, dia membawa ponselnya pada telinga. Menunggu beberapa saat dengan nada sambung yang terdengar hingga akhirnya panggilan diterima.

"Halo, Pak, sepertinya gadis itu melakukan sesuatu. Dia keluar dengan seragam Purnama Biru. Dia juga memiliki hubungan dengan ACIN," paparnya memberikan laporan.

"ACIN? Dia berhubungan dengan ACIN?" Dari nadanya, si pria tahu kalau di seberang sana orang yang dia layani cukup terkejut dengan apa yang dia ucapkan. Dia mewajarkan karena dia juga sempat terkejut saat mengetahui itu.

"Bagaimana bisa?" tanya orang di seberang sana.

"Sepertinya mereka bertemu saat gadis itu masuk ke gedung apartemen tempat ACIN tinggal setelah lari dari polsek, Pak," jawab si pria.

"Hm, kamu temukan dia dan berikan apa yang saya berikan pada kamu tadi. Anak itu pasti akan kembali."

•••

"Ry."

"Ry."

"Ry."

Begitu melihat kelopak mata Amory terbuka, Nevan, Cakra, dan Ian spontan memanggil gadis itu secara bersamaan. Adhisty juga melirik karena suara mereka yang didengarnya.

Waktu menunjukan pukul 2 siang, mereka baru kembali setelah makan siang di rumah makan seberang dan tepat saat itu Amory sadarkan diri. Timing yang sangat bagus hingga rasanya seperti kisah karangan.

Amory sendiri kini masih diam, hanya mengedarkan pandang seolah mencari tahu tempatnya berada. Gadis itu masih belum menyadari keadaannya. Samar-samar dia mengingat waktu-waktu ke belakang, membuat kepalanya tiba-tiba sakit dan berdengung. Itu membuat tangannya naik, menyentuh kepalanya sendiri dengan mata yang terpejam kuat dibarengi ringisan pelan.

Melihatnya, tentu saja tiga teman gadis itu tak tinggal diam. Ian dan Nevan mendekati Amory, sedangkan Cakra mengedarkan pandang sebelum memanggil dokter yang dilihatnya.

Untuk Adhisty, dia kini hanya diam, berdiri di sisi tirai dengan pikiran yang melayang. Entah perasaannya saja atau memang benar, tapi menurutnya ada yang aneh dengan situasi ini. Amory tidak mungkin bisa kabur semudah ini. Waktunya terlalu sebentar. Kecuali gadis itu sangat hebat, Adhisty bisa memakluminya. Namun, tetap saja, yang dia tahu Amory bukan Super Hero yang bisa melarikan diri begitu saja dari Neo dan kepala sekolah.

Beberapa saat berlalu, Dokter telah selesai memeriksa Amory dan mengatakan kalau tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Sakit kepala yang Amory rasakan tidak disebabkan oleh hal serius. Bahkan, sakit itu sekarang perlahan hilang. Terlihat dari raut wajah Amory yang perlahan kembali normal.

"Ry, ada keluhan lain? Lo perlu di rawat?" Setelah kepergian dokter, Nevan melemparkan pertanyaan. Membantu Amory yang hendak merubah posisi menjadi duduk, gurat kekhawatiran terlihat jelas di wajah tampannya.

Amory hanya menggeleng kecil. Gairahnya untuk berbicara masih belum dia dapatkan. Gadis itu memejamkan matanya, ingin mencerna keadaannya saat ini.

Pertama, dia hendak ke suatu tempat dengan Neo, kedua, saat akan membuka pintu, Neo menusuk lehernya dengan jarum, ketiga, dia tak sadarkan diri, dan terakhir, dia ada di rumah sakit dengan ketiga temannya. Tunggu, apa ini artinya dia betulan peringkat satu dan bebas?! Namun, kenapa rasanya dia tidak senang? Dia malah sedikit takut sekarang, rasa-rasanya terlalu aneh karena seingatnya ujian yang dia kerjakan tidak sesempurna itu. Setengah dari soal bahkan tak dia kerjakan karena otaknya tak mampu menemukan jawaban.

"Gimana caranya lo kabur?"

Pertanyaan itu membuat Amory membuka mata, menoleh ke samping, sorotnya bertubrukan dengan sorot seorang gadis berkacamata dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Seragamnya dia kenal, tapi siapa orang itu? Kenapa juga bertanya hal yang membuatnya kebingungan sendiri.

"Bisa nggak, sih, tunggu Amory baikan?" Ian bertanya seraya menyorot Adhisty yang posisinya tepat di seberangnya. Hanya terhalang brankar Amory.

Adhisty hanya berdecih, membenarkan kacamatanya yang sungguh tidak nyaman sebelum dia memundurkan langkah dan memalingkan wajah.

"Ry, lo nggak mungkin hilang ingatan atau kehilangan suara, kan? Gue belum tenang kalau lo belum ngomong," oceh Nevan lebar. Amory yang bungkam membuatnya semakin khawatir saja. Dia tahu temannya itu baru sadar, tapi, ayolah, Amory adalah gadis yang banyak bicara. Jadi, kala dia bungkam, Nevan jadi merasa ada suatu hal yang buruk.

"Dia itu siapa?" Menatap Adhisty yang memunggunginya, Amory bertanya.

"Cewek yang kita temuin di tangga waktu itu. Adhisty. Orang yang ngalamin hal yang sama kayak lo," jawab Ian menjelaskan.

Amory mengernyit, kali ini dia membawa pandangannya pada teman-temannya. "Peringkat satu?" tanya gadis itu.

Mendengarnya, Adhisty sontak berbalik, kembali mendekati Amory lalu berkata, "Jangan bilang kalau lo dibebasin karena peringkat satu?"

Amory malah mengernyit, entah kenapa nada bicara Adhisty membuatnya bingung. "Bukannya emang yang peringkat satu dibebasin, ya?"

Adhisty mentyisir rambutnya sendiri ke belakang. Sudah dia duga ada yang aneh dengan ini. "Sayangnya nggak. Cuma lo peringkat satu yang dibiarin bebas," ucapnya.

•••

20.10.2022

Kenapa, ya, diri ini suka lupa kalau harus update?

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang