#52. Papa Gue

143 16 0
                                    

Melemparkan linggis ke sembarang arah, Cakra mengusap keningnya yang dirasa berkeringat padahal sebenarnya tidak. Sesungguhnya dia merasa bersalah karena telah menghancurkan kenop pintu belakang rumah kepala sekolahnya agar bisa masuk ke dalam. Namun tidak pilihan lain karena akan sia-sia dia ke sini kalau tidak bisa masuk ke dalam.

Sebelum melakukan tindakan bar-bar itu, Cakra sempat melakukan beberapa cara lebih lembut yang dia tonton di YouTube malam tadi. Seperti membuka dengan kartu kredit, menggunakan penjepit kertas, dan hal-hal semacam itu. Namun pada akhirnya, Adhisty yang tak sabaran, mencari sesuatu di sekitar, menemukan linggis karatan yang tergeletak, gadis itu menyingkirkan Cakra dari depan pintu dan tanpa babibu menghantam kenop hingga beginilah akhirnya. Cakra yang tak bisa membiarkan Adhisty mengayunkan linggis mengambil alih tindakan kriminal itu, merusak pintu orang lain hingga akhirnya pintu terbuka dengan sempurna.

Menyusuri bagian dalam rumah, keduanya sama sekali tak menemukan hal janggal selain betapa berdebunya tempat ini dan gorden yang tak dibuka meski ini siang hari.

Rumah kepala sekolah terasa dingin meski mereka tahu itu bukan dingin yang berasal dari AC. Entahlah, tapi hidup sehari-hari dengan ditemani AC, Cakra bisa merasakan perbedaannya. Membuka ruangan manapun, tidak hal berguna yang bisa mereka temukan.

Menggeledah rak buku di ruang tengah hingga memeriksa laci di tiap kamar, keduanya sama sekali tak bisa mendapatkan apa yang mereka harapkan. Rumah ini tampak seperti rumah yang jarang ditinggali dan dibersihkan.

Entah berapa kali Cakra dan Adhisty bersin akibat debu yang mengganggu saat keduanya menggeledah.

"Nggak bakalan ada apa-apa, kah?" Cakra bertanya, menjatuhkan dirinya di atas kursi makan karena bingung harus mencari di mana lagi. Rasanya semua ruangan telah mereka masuki, semua hal telah mereka cek.

"Pasti ada petunjuk. Babi itu pasti punya celah di sini," balas Adhisty yang kini menyandarkan dirinya pada lemari es. Berpikir tempat macam apa yang bisa digunakan kepala sekolah untuk menyembunyikan sesuatu yang amat penting.

Cakra juga ikut berpikir, menebak-nebak tempat mana yang kemungkinannya paling besar dapat memberikan petunjuk untuk mereka.

"Di sini ada basementnya nggak?" tanya Cakra membawa pandangannya pada Adhisty.

"Nggak mungkin gue tahu," balas Adhisty tanpa sedikitpun pertimbangan.

Cakra bangkit dari kursi, kembali menjelajah dengan sesekali mengetuk-ngetuk lantai dengan kakinya. Siapa tahu kepala sekolah menyembunyikan ruang bawah tanah seperti di Purnama Biru. 

Adhisty sendiri memilih untuk bergerak ke arah lain, pergi menuju kamar paling besar yang ada di rumah ini. Ingatannya lebih dari kata bagus, gadis itu bisa ingat dengan benar mana kamar yang dia maksud.

Dia pernah menonton sebuah film di mana salah satu pemainnya menyembunyikan ruangan di balik lemari. Itu membuatnya berpikir kalau bisa saja kepala sekolah melakukan itu. Karenanya Adhisty membuka lemari yang ada di hadapannya, menyingkirkan baju-baju yang menggantung ke sisi, lalu meletakan tangannya pada bagian dalam lemari. Menggeser, mendorong, menendang. Ah, tetap tidak terbuka. "Anj──" Adhisty menahan umpatannya kala mengingat sesuatu. Memilih berhenti berharap pada lemari dan menendang benda itu untuk kedua kali saat dia sadar betapa bodohnya dirinya. Ukuran tubuh kepala sekolah tidak muat untuk masuk ke dalam lemari.

Masih merasa kesal, Adhisty lagi-lagi menendang lemari, kali ini lebih keras dan dia tak berhenti sekali. Terus menendang lebih keras hingga kecerobohan membuat tendangan melukai kakinya sendiri dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ambruk di atas karpet berbulu penuh debu, segala umpatan tak ramah keluar dari bibirnya. Uh, tidak hanya kepala sekolah yang bajingan, namun rumahnya juga sangat menyebalkan.

Tanpa sengaja pandangannya terarah ke atas, melihat langit-langit dan mengernyit saat langit-langit kamar tak seperti biasanya. Itu tidak datar seperti kebanyakan, di sisi yang Adhisty belakangi langit-langitnya membentuk segitiga siku-siku bervolume cukup besar dengan permukaannya yang terdapat gagang melengkung. Yang lebih mencurigakan, ada tangga yang mengarah ke sana. Saat pertama kali masuk ke kamar ini, Adhisty menghiraukan tangga itu karena memang ada rak buku tinggi besar di sisi itu, namun sekarang, tampaknya ruangan rahasia telah Adhisty temukan.

Dia bangkit berdiri, mendekat ke arah tangga dan menaikinya. Begitu gagang melengkung sudah ada dalam jangkauan, Adhisty mengulurkan tangannya ke arah atas, meraih gagang itu dan menariknya. Sayangnya tidak terjadi apa-apa. Dia mendorongnya, namun lagi-lagi tidak ada reaksi. Berdecak, kali ini dia menggesernya dan, ya, langit-langit itu terbuka. Tanpa berlama-lama, Adhisty kembali naik, masuk ke dalam ruangan di balik langit-langit segitiga siku-siku, dan membeku begitu melihat apa yang ada di sana.

•••

Suara notifikasi yang masuk membuat Cakra meraba saku celana sekolahnya, merogohnya guna mengambil ponsel dari sana. Melihat yang mengiriminya pesan adalah Adhisty, Cakra segera membuka pesan itu. Mendapat informasi kalau Adhisty telah menemukan ruangan pemilik petunjuk yang mereka cari. Tanpa membuang waktu, Cakra segera menuju tempat yang Adhisty katakan, kamar paling besar yang sebenarnya dia sudah lupa ada di mana. Yah, meski setelah mengecek satu persatu dia bisa menemukannya.

Jangan tanyakan ponsel siapa yang Adhisty pakai, sebagai orang kaya kelebihan harta, Cakra tentu saja memiliki satu dua ponsel lama yang sudah tak terpakai. Hanya tergeletak tanpa guna di laci kamarnya.

"Disty." panggil Cakra begitu masuk ke kamar yang dimaksud.

Menengadah, Cakra tidak bisa untuk tidak terkejut saat kepala Adhisty muncul di langit-langit. Hanya kepala, tanpa tangan atau apapun itu, jelas saja Cakra terkejut. Meski begitu dia dengan cepat menetralkannya, mendekat ke arah rak buku raksasa, dan menaiki tangga hitam yang ada di sana.

Begitu sampai di tangga terakhir, Cakra segera masuk ke tempat Adhisty berada, mengedarkan pandang, dan jujur, dia tak menyangka akan menemukan hal semacam ini di rumah kepala sekolah.

Berdiri di sebelah Adhisty, keduanya sama-sama memperhatikan tembok yang memuat berbagai artikel tentang kasus yang sebenarnya biasa saja. Cakra saja tidak pernah tahu ada kasus semacam ini. Kalau dibandingkan dengan kasus Adhisty, kasus ini hanyalah seujung jari.

Begitu matanya melihat sebuah foto yang menempel di sana, untuk sesaat jantung Cakra seakan berhenti berdetak. Dia tahu, ah, tidak, sangat tahu siapa itu.

Mungkin merasakan ada berbeda dari Cakra, Adhisty menoleh ke samping, melihat Cakra yang mematung dengan mata yang tak berkedip sedikitpun.

"Cakra," panggil Adhisty pelan. "Lo──"

"I-itu... Papa gue."

•••

17.12.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang