#45. Selesainya Tidur Panjang

167 16 1
                                    

1 bulan kemudian

Dua remaja tampak berlarian di koridor lantai 4 rumah sakit, sesekali menabrak bahu orang yang berlalu lalang karena kurang kewaspadaan. Begitu sampai di pintu salah satu ruangan, tangan Nevan segera menggeser pintu dengan kencang. Membukanya hingga menimbulkan suara 'bam' dengan cukup keras.

Nevan dan Ian sama-sama diam di ambang pintu dengan napas yang tak beraturan. Sorot keduanya menatap lurus pada seorang gadis berpakaian pasien rumah sakit yang setengah terbaring di atas ranjang.

Gadis itu mengangkat tangan kanan, menggerakan jari jemarinya ke depan dan belakang dengan wajah tak berdosa. "Annyeong, chingu-deul," sapanya ringan.

Nevan memejamkan matanya sesaat, entah sudah seberapa besar kesabarannya dalam menunggu suara itu untuk kembali ia dengar. Rasa haru sekaligus bahagia tak bisa untuk ia bendung lagi, berjalan cepat ke dalam ruangan, hanya satu arah pandang Nevan. Amory.

"Whoah, udah gu──"

Ucapan Amory terhenti di udara kala Nevan langsung memeluknya begitu saja.

"Lo berniat cosplay jadi putri tidur, Ry?" lirih Nevan.

Senyuman terukir di bibir Amory, dagunya bertumpu pada bahu Nevan, perlahan dia menggerakan tangannya, menepuk-nepuk rambut Nevan dengan ritme yang beraturan.

Beberapa saat berlalu, Nevan melepaskan pelukannya, menghela napas lega karena akhirnya Amory membuka mata.

"Ry..."

Rengekan itu terdengar, Nevan dan Amory segera menoleh pada Ian yang berdiri di samping Nevan. Wajahnya cemberut dengan kedua mata yang memerah. Bendungan air mata tercipta di sana, sekali berkedip sudah dipastikan aliran sungai akan tercipta di pipinya.

Amory tersenyum geli, merentangkan kedua tangannya hingga Ian masuk ke dalam pelukan. "Pasti kangen gue, kan?" tanya Amory.

Ian meregangkan pelukan hingga dia bisa melihat wajah Amory yang masih tampak pucat. Mengerucutkan bibir, lelaki itu menjawab, "Gue nyaris aja keluar dari Purnama Biru kalau sampai lo nggak bangun-bangun, Ry. Ogah rasanya dipimpin sama manusia sialan yang hampir bunuh teman-teman gue."

"Kok?" Amory tampak heran mendengar ungkapan temannya itu.

Ian menggeleng kecil, lelaki itu kini memutari brankar, mendaratkan bokongnya pada kursi di samping ranjang. "Nope. Lo nggak boleh langsung dengar cerita ini. Lagipula lo nggak harus tahu juga. Semuanya udah berlalu," timpal Ian.

Memilih mengangguk saja, Amory memperhatikan sekitar. Rasanya ada yang kurang. Menatap Nevan, lalu Ian, Amory kemudian bertanya, "Cakra mana? Nggak senang gue bangun?"

Nevan mengangkat lengan kirinya, melihat jam yang melingkar di sana lalu menjawab, "Mungkin sebentar lagi dia nerobos ruangan ini. Cakra butuh waktu lebih, Ry."

Ian menyandarkan punggungnya pada sandaran. "Cakra jadi mirip anak konglomerat beneran sekarang," sambungnya yang membuat tanda tanya di kepala Amory.

•••

Mobil hitam melaju kian pelan dan semakin ke kiri, berhenti tepat di pinggir jalan dengan mesin yang seketika mati. Beberapa kali memutar kunci dan mencoba untuk kembali menyalakan mesin, pria kurus yang sebagian besar rambutnya sudah memutih hanya mendapati keinginannya tak terpenuhi. Memutar kepala ke belakang, dengan pandangan sopan pria itu berkata, "Anu, Mas, mobilnya mati."

Melepas airpod dari kedua telinga, Cakra  menjawabnya dengan bertanya, "Kenapa?"

Pria lainnya yang duduk di kursi samping kemudi melepas sabuk pengaman yang dia kenakan. Sebelum membuka pintu, pria kekar berotot dengan wajah khas orang barat itu berucap, "Biar saya periksa, Tuan." Melirik pria tua di sampingnya, dia melanjutkan, "Anda bisa ikuti saya."

Mengangguk, pria tua yang tak lain sopir Cakra itu ikut melepas sabuk pengaman, keluar dari dalam mobil mewah dan menyisakan Cakra seorang diri di sana.

Pukul 21.00, Cakra baru saja pulang dari rumah sakit tempat Amory dirawat. Tentu saja lelaki itu menjenguk teman baiknya. Namun sayang, di perjalanan mobilnya malah berhenti mendadak dan itu cukup membuat mood Cakra sedikit rusak. Bagaimanapun, sejak dia keluar dari rumah sakit setelah menyelesaikan perawatan dan rehabilitasinya, moodnya sering menjadi buruk karena dua orang yang selalu ada di sekitarnya. Zake, si bodyguard asal luar negeri mantan prajurit pasukan khusus dan Fatih, pria tua yang secara tak sengaja dikenal Kenzura dan berakhir menjadi sopir pribadi Cakra.

Menghela napas, Cakra kembali memasang airpod pada satu telinga, menyangga dagu dengan kepalan tangan, dan pandangan yang menyorot ke jalan.

Beberapa saat berlalu, kaca di sampingnya diketuk. Membuka sedikit kaca itu, Zake segera buka suara.

"Tuan, ada masalah dengan mesinnya. Saya mampu membetulkan itu. Kira-kira membutuhkan waktu 30 menit. Apa yang harus saya lakukan?"

"Apa lagi kalau bukan benerin?" balas Cakra dengan pertanyaan pula. Sedikit tidak enak memang karena bicara dengan nada sedikit tak mengenakan pada orang yang lebih tua. Namun itulah keadaannya, mulut bekerja lebih cepat daripada pikiran.

"Baik, Tuan," ucap Zake. Pandangannya mengedar, melihat-lihat sekitar. Menemukan tempat yang baik, dia kembali berkata, "Ada cafe di seberang jalan, Tuan. Biar saya antar anda ke sana untuk menunggu."

Zake memang benar, di seberang jalan berdiri cafe bernuansa monokrom yang pengunjungnya tidak terlalu banyak. Mungkin bisa dihitung dengan jari. Di kanan bangunan itu ada dua bangku jalanan dengan pot tanaman yang nyaris layu. Tak jauh dari sana, ada apotik sepi tanpa pembeli.

Pintu di samping Cakra terbuka, tentu saja Zake yang melakukannya. Dia memang sangat kompeten untuk ukuran seorang pekerja. Cakra menapakan sepatunya, turun dari dalam mobil seraya merapatkan jaket.

"Saya bisa sendiri, Zake. Kamu benerin mobil aja," ucap Cakra sebelum melangkah kecil menjauhi mobil.

Kedua tangan Cakra masuk ke dalam saku, menghangatkan tubuhnya karena udara malam cukup untuk membuatnya kedinginan. Saat ia masih di rumah sakit, hujan mengguyur kota dengan derasnya, membasahi jalanan dan apapun yang mampu dijangkaunya.

Bersama beberapa orang, Cakra melangkahkan kaki di jalur penyeberangan. Langkahnya dipercepat, ingin segera sampai agar mendapat akses penghangat ruangan. Tidak cukup fokus, sisi kanan tubuhnya bertabrakan dengan seseorang yang berjalan berlawanan. Refleksnya yang bagus spontan memegang lengan lawan tabrakan agar dia tidak berakhir terjerembab di jalanan.

Topi hitam, masker hitam, jaket hitam yang sudah luntur, dan celana panjang warna biru gelap melapisi si lawan tabrakan. Saling bertatapan, satu tangan Cakra yang bebas naik, mendekat ke arah masker, dan sedikit lagi menyentuhnya. Namun, si lawan tabrakan lebih dulu bereaksi, memalingkan muka, lalu menghempas tangan Cakra dari lengannya. Hendak pergi namun tak bisa terjadi karena lengan Cakra melingkar di lehernya.

Tidak mau menjadi pusat perhatian, tubuhnya tidak memberi reaksi apa-apa. Memilih untuk menunggu kesempatan dan melepaskan diri dengan damai dari Cakra.

Memperhatikan sekitar, Cakra meraih tangan orang yang ditahannya, melapaskan kuncian pada leher, Cakra menarik orang itu agar ikut menyebrang dengannya.

•••

06.12.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now