#15. Hari Ujian

277 36 1
                                    

Memutar-mutar kunci di telunjuknya  saat memasuki ruang tempat para korbannya ditahan, Neo kini mulai membuka dua sel berpenghuni yang ada di sana. Meminta semua mainan untuk keluar dari sel dengan cara merangkak. Bagaimanapun, keseluruhan kurungan sangat pendek dan pintu keluar lebih pendek lagi. Mungkin kurungan ini lebih cocok digunakan untuk anjing daripada manusia.

Semuanya telah keluar. 18 remaja kini berbaris dengan Neo di hadapan mereka. Amory sendiri kini menatap ke bawah, tidak sanggup untuk sekedar melirik ujung sepatu yang Neo kenakan. Tubuhnya sedikit bergetar, takut karena bagaimanapun kejadian kemarin masih melekat di kepalanya. Luka fisiknya saja masih basah, apalagi mentalnya. Kalau bisa, dia sungguhan tak ingin berhadapan dengan Neo.

Tanpa merasa kaku, Ajeng yang berposisi di samping gadis itu  menggenggam tangan kanan Amory, membuat gadis itu menoleh padanya. 

"Jangan takut, lo harus kerjain ujian tanpa kesalahan," ucap Ajeng ingin membuat Amory tenang. Bagaimanapun, Ajeng mengira Amory masih memiliki kesempatan untuk pergi. Tidak sepertinya.

Amory memejamkan mata, meyakinkan diri sendiri kalau dia pasti bisa. Mengucapkan kalimat-kalimat penenang agar rasa takutnya bisa reda. Dia harus percaya pada dirinya sendiri, percaya juga pada teman-temannya di luar sana yang dia yakini tengah sibuk mencarinya. Oke, tak apa, dia pasti bisa. Dia hanya harus menang di ujian yang Ajeng katakan.

Derap langkah terdengar. Amory merasakan genggaman Ajeng pada tangannya semakin mengerat.

"Jangan shock, lo pasti kenal siapa yang datang," ujar Ajeng yang membuat jantung Amory berdetak lebih cepat. Dia kenal orang yang akan datang? Hey, apa maksudnya itu? Dia panik bahkan sebelum melihat siapa itu. Dia mengenal orang yang membuatnya terkurung? Dia takut tak sanggup menghadapi kenyataan kalau-kalau orang itu berharga untuknya.

Suara dehaman terdengar, seorang pria gemuk memunculkan diri dari sisi barat ruangan. Amory memandang pria itu, menatapnya lamat dan tanpa sadar napasnya tercekat. Dia tentu saja mengenal orang itu. Orang yang sesekali berdiri di depan podium saat upacara Senin pagi. Orang yang menyelamati temannya kala temannya itu mendapatkan kemenangan atas lomba-lomba bergengsi. Orang yang memohon maaf pada semua murid Purnama Biru saat ACIN membongkar kebusukan beberapa guru satu tahun lalu. Seseorang yang dia hormati karena sikapnya yang menyenangkan. Tidak pernah membeda-bedakan dan selalu mendukung apapun yang anak didiknya inginkan selama itu hal positif. Kepala sekolah Purnama Biru, Pak Hobi Poernomo.  

"Itu..." Entah sadar atau tidak, Amory bergumam dengan sorot yang menatap lurus kepala sekolahnya. Menyadari sesuatu, dia dengan cepat membawa pandangannya pada Ajeng. "Ajeng, gue salah lihat, kan?" tanyanya penuh harap. Namun, gelengan dan balasan Ajeng membuat bahu Amory melemas.

"Lo nggak salah lihat, dia kepsek PB, Ry."

Sekali lagi Amory mampu mendengar dehaman kepala sekolahnya. Orang itu kini sudah berada di depan para tawanan. Tepat di sisi Neo.

Di balik kacamata, matanya yang sedikit sipit itu mengedar, memperhatikan tiap-tiap tawanan hingga berhenti pada Amory. Mempertahankan tatapan itu sesaat sebelum akhirnya memalingkan muka. Dia mengusap telinganya sendiri, melangkahkan kaki menuju pintu di timur ruangan seraya berkata, "Bawa mereka, Neo."

•••

Duduk nyaman di atas kursi tunggal berbahan dasar kulit adalah hal yang kini dilakukan oleh seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu yang membalut tubuhnya. Ruangan tempat dia berada adalah sebuah ruangan persegi panjang dengan dinding yang dilapisi wallpaper putih gading. Sebuah lampu hias yang tampak megah menggantung di tengah langit-langit ruangan. Sayang, lampu itu tak bisa dinyalakan hingga ruangan ini cukup gelap. Pencahayaan hanya berasal dari layar persegi beberapa meter di depan si pria yang menyala menampilkan sebuah rekaman kamera.

Alunan musik klasik dari Mozart terdengar di ruangan. Sumbernya adalah sebuah megaphone di atas meja yang terletak di salah satu pojok ruangan. Diapit oleh dua rak raksasa yang berisi hal tak biasa. Koleksi tak wajar yang memang sengaja diletakan di sana.

Pria tadi menyilangkan kakinya, asik menonton apa yang ada pada monitor dengan tangan kanan yang memegang rock glass berisi wiski lengkap dengan beberapa es batu persegi.

"Mari lihat, siapa yang terkena hukuman kali ini," papar pria itu menggoyangkan gelasnya. Menimbulkan bunyi khas dari pergesekan es batu meski tak terlalu terdengar akibat musik yang memenuhi ruang.

•••

Neo berdiri di depan sebuah meja persegi panjang dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Memeriksa satu persatu kertas itu dengan bantuan stand lamp di pojok ruangan yang memberikan cahaya temaram.

Menemukan kertas yang dicarinya, pria dengan topeng putih di wajah itu memisahkannya dengan kertas lain. Melipatnya hingga ukurannya 4 kali lebih kecil. Dia menyibak jas hujan yang dia pakai, memasukan kertas itu pada saku celana di balik jas.

Merapikan beberapa kertas di atas meja, dia menghadapkan badannya ke samping, berjalan meninggalkan meja dengan kertas yang dia bawa. Tanpa mematikan lampu terlebih dahulu, dia membuka pintu kayu di depannya, keluar dari ruangan, dan berbelok ke kanan. Menelusuri lorong persegi dengan bantuan senter kecil yang selalu dia bawa kala berada di tempat ini.

Beberapa kali berbelok di lorong, tujuan Neo kini sudah ada di depan mata. Sebuah pintu kayu yang sama lapuknya dengan pintu di ruangan sebelumnya. Mematikan senter, dia mengangkat lengan guna memutar kenop hingga pintu terbuka.

Gelap. Ah, tidak, lebih tepatnya cukup gelap. Yang dia kunjungi adalah ruangan paling besar dari semua ruangan yang ada di tempat ini. Namun, hanya ada satu pencahayaan yang menyala, lampu hias panjang yang menempel di atas dan tiap sisi dua rak raksasa yang terletak di sisi barat dan selatan ruangan. Bisa saja sebenarnya lampu hias itu membuat penerangan lebih baik, namun sepertinya si pemilik ruangan sengaja menyetelnya seperti itu. Mungkin dia sedang tidak ingin memperhatikan secara jelas koleksi yang dia punya.

Neo membawa kakinya masuk lebih dalam, menghampiri kursi yang membelakanginya namun dia tahu seseorang tengah duduk di sana. Ayolah, punggung kursi di tempat ini tidak setinggi itu untuk menyembunyikan tubuh seseorang.

Meski tahu ada yang datang, namun, seorang pria yang duduk di atas kursi tak sedikitpun memberikan reaksi. Dia mungkin asik dengan dunianya sendiri, sesekali menggoyangkan gelas yang isinya sudah tak banyak lagi.

Kala sudah sampai di sekitarnya, Neo menghentikan kaki, menjatuhkan kertas yang dia bawa tepat di atas meja pendek depan si pria tadi. "Waktunya untuk menilai," ucapnya.

Si pria menegakan tubuhnya, menyimpan gelas di atas meja, lalu memperhatikan kertas yang Neo simpan. Beberapa detik seperti itu, dia kini membawa pandangannya pada Neo dan berkata, "Bagaimana hari ini?"

Neo menggidikan bahunya. "Biasa saja," jawabnya simpel. Dia kini menghadapkan tubuhnya pada si pria, melangkah guna memperpendek jarak dengan orang itu. Kala sudah sangat dekat dia merunduk, menyejajarkan kepalanya dengan kepala si pria kemudian berkata, "Saya ingin satu lebih awal. Peringkat pertama. Boleh?"

Si pria membentuk senyuman di bibir tipisnya, mengangkat tangan dan mendaratkan itu pada bahu Neo. Menariknya hingga topeng Neo bisa dia lihat dengan jelas. "Tidak sabar? Ini bukan seperti kamu, Neo."

•••

15.20.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang