#48. Menyerahkan Diri

165 15 1
                                    

Pertemuan antara Number 2 dan sekolompok orang-orang penting yang dia sebut sebagai Level A dan Level B telah masuk jadwal kewajibannya sejak bertahun-tahun lalu. Hanya saja waktu pertemuannya tidak menentu karena harus menyesuaikan dengan jadwal-jadwal padat anggotanya.

Pertemuan dan keberadaan kelompok itu bisa dikatakan sebagai rahasia. Bocornya hal ini pada massa tentu akan menimbulkan spekulasi yang akan merugikan mereka. Yah, meski pada dasarnya massa yang tidak tahu apa-apa berada di dalam kendali mereka. Namun tetap saja, ada segelintir orang dengan pengetahuan dan kedudukan lebih yang tidak termasuk dalam kelompok akan dengan senang hati menyediliki guna mencari-cari masalah dan mendapatkan keuntungan dari itu.

Sejauh ini kelompok ini aman, tidak pernah ada masalah karena pelopornya, Number 2 adalah orang yang sangat cerdas dan hati-hati. Ada sangat banyak keuntungan yang orang itu dapat dari perkumpulan ini, mulai dari bisnis hingga masalah pribadi, semuanya berjalan dengan baik untuknya sejak perkumpulan ini berdiri.

Namun sekarang, tampaknya masalah besar nyaris saja terjadi. Melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah video, Number 2 menyunggingkan senyum miring lengkap dengan tatapan tak sukanya. Selesai dengan video, dia memberikan ponsel itu pada sekretarisnya yang berdiri di sekitarnya.

Dia memandang ke bawah, melihat seorang pria gemuk berkacamata yang tengah bersimpuh di hadapannya. "Anda bermaksud berkhianat?" tanyanya dingin.

Pria gemuk itu, kepala sekolah, menunduk dalam, tidak bisa berkata apa-apa karena entah kenapa mulutnya sulit sekali untuk dibuka. Meski diantara tiga orang dalam kelompok gilanya Number 2 adalah orang yang paling dia benci, namun saat bersama-sama, dia menyadari bahwa Number 2 tidak seburuk Number 1 dan Neo, dia masih terlihat seperti manusia normal saat mereka berhadapan. Namun sekarang, saat orang itu terlihat sangat marah, kepala sekolah baru bisa merasakan bahwa Number 2 sama monsternya dengan dua orang itu. Ah, mungkin dia lebih dari mereka karena yang orang itu mainkan bukan hanya nyawa.

"Huh, saya memberi izin Anda masuk karena Anda sangat memaksa. Sejak dulu Anda selalu ingin bergabung saat mengantar para korban. Siapa sangka ini tujuan Anda? Untuk mengancam saya, hm? Apa yang Anda inginkan?"

Di tempat ini tidak ada siapapun selain mereka bertiga. Level B yang mendapatkan giliran pertemuan, semuanya tengah berpesta di ruangan lain dalam villa megah ini bersama dengan para tawanan yang disuguhkan Number 2 untuk mereka. Kenyataan ini membuat ketakutan kepala sekolah semakin menjadi karena sadar Number 2 bisa saja melakukan hal kejam padanya tanpa ada yang menjadi penahan. 

"Ma-maafkan saya, Pak." Ya, hanya itu yang bisa dikeluarkan kepala sekolah. Dia semakin menunduk, bahkan tak menutup kemungkinan kalau pria itu akan bersujud beberapa saat lagi.

"Yang saya ingin tahu alasan Anda, Pak. Saya sudah sangat baik dengan memberikan Anda bayaran rutin dan jabatan kepala sekolah seperti perjanjian kita. Namun, apa ini?"

"Maaf. Ma-maafkan saya. Saya pantas untuk dihukum, Pak. Saya hanya gelap mata dan menginginkan hal lebih dari Anda. Sa-saya, tidak akan melakukannya lagi."

Number 2 memalingkan muka seraya tertawa hambar. Mengejek. Setelahnya dia berkata, "Anda meremehkan saya? Saya bukan orang bodoh, Babi. Huh, mendengar Neo memanggil Anda Mr. Pig saya terdorong mengikutinya."

Menyatukan kedua tangannya, kepala sekolah mendongak hingga menatap Number 2. Dia menggosok-gosok telapak tangannya satu sama lain, memasang ekspresi paling menyedihkan, lalu berucap, "Ampuni saya, Pak. Saya memang salah. Tolong maafkan saya kali ini. Saya sungguh hanya gelap mata, Pak. Tolong ampuni saya."

"Maaf, maaf, maaf. MAAF? Cih, permintaan maaf Anda tidak bernilai apa-apa." Menoleh pada sekretarisnya di belakang, Number 2 memberikan kode padanya lalu berkata, "Urus dia. Jangan lukai wajahnya dan pastikan Pak Hobi masih bisa bekerja." Setelahnya pria berwajah tampan itu melangkahkan kakinya, pergi meninggalkan kepala sekolah yang kini tampak pasrah.

•••

Di sinilah Adhisty berdiri, tepat di hadapan polsek sekitar yang dia temukan setelah berjam-jam berjalan tanpa tahu arah. Dia memperhatikan polsek itu dengan tatapan menyedihkan, suara Cakra yang menyuruhnya untuk menyerahkan diri terus terputar di kepala. Yah, Cakra benar, setelah apa yang Ian lakukan untuknya, dia tidak berhak untuk berkeliaran saat dirinya membunuh ayah lelaki itu.

Rasa sakit di dadanya terlalu dalam, penyesalan yang dia rasakan membuat tenggorokannya tercekat. Adhisty membenci banyak hal, dia membenci banyak orang, dan banyak keadaan. Namun untuk saat ini, yang paling dia benci adalah dirinya sendiri. Dia merasa menjadi manusia paling hina yang tidak berhak berharap apapun. Maka dari itu, menyerah menjadi pilihannya. Persetan dengan penjara ataupun kepala sekolah, dia tidak memiliki hak untuk peduli dengan itu. Terbunuh? Hahaha, Adhisty juga tidak memedulikannya. Dia bahkan sekarang berpikir kalau mati bukanlah pilihan yang buruk. Rasa bersalahnya pada Ian akan berakhir saat dia mati, rasa sakit dan penyesalan akan berakhir jika dia betul-betul terbunuh nanti. Mungkin Adhisty sudah gila, namun dia berharap itu akan terjadi. Mimpi yang sampai beberapa jam lalu masih menjadi penyemangatnya, kini tak ada lagi. Dia sudah tidak peduli dengan masa depan atau apapun itu. Hidupnya sudah berakhir setelah dia bertemu Cakra tadi. Game over. Tidak pantas lagi Adhisty perjuangkan.

Melihat beberapa petugas keluar dari polsek itu, Adhisty melangkahkan kakinya pelan, hendak menghampiri mereka. Tidak ada ketakutan atau sekedar rasa ragu pada gadis itu. Dia benar-benar tampak seperti gadis yang sudah tak memiliki gairah lagi.

Mungkin para polisi itu sadar akan Adhisty yang hendak menghampiri mereka, membuat mereka berhenti berjalan dan memusatkan pandang pada gadis dengan topi itu. Maskernya sudah dia lepas beberapa saat lalu, lagipula benda itu basah oleh air mata dan keringatnya sendiri.

"Pengemis?"

"Orang hilang?"

Beberapa polisi membuat spekulasi mereka sendiri saat melihat penampilan Adhisty, saling lirik dengan rekan mereka seraya menunggu Adhisty yang langkahnya memang sangat lama.

Saat sudah cukup dekat, Adhisty berhenti, meremas ujung jaketnya dengan pandangan yang mengarah ke bawah. Mengangkat pandangan, dia membuat para polisi itu melihat wajahnya secara jelas. "Saya mau──"

"SEI."

Adhisty tersentak, begitupun dengan para polisi yang langsung menggelengkan kepala kecil begitu melihat orang yang mereka perhatian dipeluk begitu saja oleh seseorang yang baru saja berseru.

•••

14.12.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now