#49. Kenekatan Cakra

151 16 1
                                    

Cakra membanting pintu taksi yang ditumpanginya saat mobil itu telah berhenti di tempat yang ingin Cakra tuju. Mengedarkan pandangan, mata Cakra membulat begitu melihat orang yang dicarinya tampak menghadap polisi. "Adhi──" ucapan Cakra tertahan, dia menggelengkan kepala lalu segera berlari menuju lingkungan polsek yang dia tuju.

"SEI." Pria itu berteriak saat melihat Adhisty mengangkat wajahnya, secepat kilat dia membalikan tubuh Adhisty, memeluknya, dan menyembunyikan wajah gadis itu di dadanya. Tidak, Adhisty tidak boleh menunjukan diri. Dengan napasnya yang terenggah Cakra berkata, "Sepupu. Dia... sepupu saya, Pak. Hilang siang tadi." Memandang para polisi di depannya, Cakra memasang tatapan meyakinkan.

Salah satu polisi menyipitkan mata, menelisik Adhisty yang hanya diam saja lalu berkata, "Yhaa, bagaimana bisa gadis segede gini hila──"

"Dia dari luar kota," potong Cakra cepat. Untungnya polisi itu tampak tidak curiga, dia hanya mengangguk-angguk seraya menilai penampilan Cakra.

"Tapi, hmm, dia ini... seperti tidak asing." Polisi yang lainnya membuka mulut, menunjuk-nunjuk Adhisty dengan jarinya kala mengatakan kalimatnya. Raut berpikir tergambar jelas pada wajah bulatnya.

Cakra tentu saja panik, dia tidak ingin ada yang mengenali wajah Adhisty untuk sekarang. Tanpa sadar dia mengeratkan pelukannya. Adhisty sendiri hanya diam, tidak berontak ataupun meralat perkataan Cakra. Entahlah, dia bingung sekarang.

"Perasaan saja kali, Pak. Atau orang yang mirip," balas rekan polisi yang berdiri di paling kiri.

"Tapi sepertinya saya juga pernah melihatnya. Di mana, ya?"

Cakra menelan ludah, oh, ini bukan situasi yang bagus. Kalau sampai mereka meminta untuk kembali melihat Adhisty, maka kemungkinan besar gadis itu akan dikenali. Berdeham, Cakra akhirnya memilih menjawab, "Sepupu saya baru datang dua hari lalu, Pak. Tidak mungkin Bapak-bapak sekalian ini pernah melihatnya." Senyuman canggung yang sebenarnya dia niatkan sebagai senyum ramah penebar kepercayaan tersungging di bibirnya.

"Apa begitu, ya?" Polisi yang pertama kali berkata wajah Adhisty tidak asing kembali membuat pertanyaannya mengudara. Masih tidak puas dan sepertinya dia memiliki tingkat penasaran yang tinggi.

"Ah, sudahlah, Pak, mungkin hanya mirip. Saya sudah lapar ini, ayo kita ke rumah makan di depan saja, Pak." Polisi lain berkata seraya mengibaskan tangan kanannya. Meminta rekannya untuk tidak usah ambil pusing dan itu membuat Cakra mendukungnya dalam hati.

"Ah, iya kali. Yasudah, adek berdua ini cepat pulang ke rumah, ya. Tidak baik sudah hampir tengah malam masih berkeliaran."

Cakra mengangguk ramah disertai senyum yang kali ini terlihat lebih baik. Pria itu memperhatikan hingga beberapa polisi yang ditemuinya menghilang dari pandangan. Setelahnya dia melepaskan rengkuhannya pada Adhisty, meraih tangan gadis itu, dan membawanya menjauh dari wilayah polsek.

Dan, ya, di sini kedua remaja itu berada, tepat di depan ruko tutup yang tersembunyi dari jalanan besar. Bahkan sepertinya hanya ada mereka berdua di sini, tidak ada yang memperhatikan dan itu bagus untuk mereka.

Melepaskan genggamannya, Cakra menatap Adhisty yang sedari tadi tak terdengar suaranya. "Maaf gue bodoh tadi," ucapnya sungguh-sungguh. "Gue nggak serius saat bilang lo pembunuh."

Adhisty tetap diam, dia hanya menatap Cakra dan mendengarnya bicara. Dia terlalu bingung untuk berkata apa dan harus apa.

"Lo pasti takut selama ini, kan? Lo nggak bisa bertanggung jawab karena keadaan. Maaf gue udah lancang dan marah padahal lo semenderita ini."

"Maaf gue egois, tapi tolong, tolong jangan bertanggung jawab untuk sekarang. Lo nggak boleh kembali lagi sama Kepsek."

Bibir kering dan pucat Adhisty bergetar, ada sesuatu yang menyayat hatinya, membuatnya terasa perih dan mendorong bendungan air mata yang sedari tadi tercipta untuk keluar. Kalau bisa dia juga ingin seperti itu. Dia tidak ingin kembali berada di tangan kepala sekolah. Sepertinya perasaannya beberapa saat lalu adalah kebohongan, karena pada kenyataannya dia tidak ingin mati begitu saja. Ada yang masih harus dia perjuangkan, ada banyak hal yang ingin dia lakukan sebagai gadis normal. Namun, keadaannya kacau. Dia adalah seorang kriminal, dia tidak bisa bersenang-senang ataupun sekedar merasa lega meskipun ingin.

"Adhisty...," lirih Cakra begitu melihat air mata gadis itu berjatuhan. Menangis tanpa suara meski bibirnya bergetar. Oh, dia pasti menahan suara tangisannya.

Cakra sekarang memilih diam, dia membalikan badannya hingga memunggungi Adhisty. Entahlah, dia merasa kalau Adhisty bukanlah orang yang ingin diperhatikan saat sedang menangis. Lagipula, orang macam apa yang ingin dilihat saat sedang banjir air mata? Selain D Twins, Cakra belum pernah menemukannya.

Mungkin sekitar tiga menit Cakra membiarkan Adhisty menangis. Saat curi-curi pandang ke belakang dan menemukan Adhisty sudah lebih baik, Cakra akhirnya kembali menghadap gadis itu. Menggaruk telinganya sendiri yang tidak gatal karena rasa canggung menyerangnya. Entahlah, rasanya situasi ini tak biasa. Yah, meski ini bukan pertama kalinya dia melihat sisi rapuh Adhisty, namun tetap saja aneh saat mengingat Adhisty yang biasanya selalu mengumpat kapanpun dia bicara menjadi seperti ini. Terasa ada yang janggal.

Selesai mengusap air matanya dan melepas topi hingga rambut pendek terkuncirnya tampak semua, Adhisty membawa sepasang netranya langsung pada sepasang netra Cakra. "Gue menyedihkan. Tapi, thanks udah cegah gue tadi. Kayaknya gue emang masih mau hidup," paparnya jelas.

"Adhisty." Cakra memanggil, membuat Adhisty menaikan satu alisnya. "Lo mau ke rumah gue?"

Ya, tentu saja Adhisty tidak bisa untuk tidak terkejut dengan pertanyaan Cakra. Hey, ayolah, kepala Cakra terbentur atau bagaimana? Ke rumahnya? Kediaman El Family? Meski niatnya baik sekalipun, namun Cakra sungguhan bodoh dengan mengatakannya.

"Lo... gila?" ucap Adhisty menyipitkan mata.

Dengan tegas Cakra menggeleng. Sekarang ini tidak terlihat sedikitpun raut main-main dari wajah Cakra. Dia tampak sangat serius dan itu membuat Adhisty nyaris meringis. Cakra sepertinya betulan gila mendahuluinya.

"Gue nggak suka punya hutang. Misi kita belum berakhir kalau lo lupa. Gue akan lanjutin misi buat ungkap kebenaran kepala sekolah dan penculikan itu. Lo bisa stay di rumah gue karena apartemen Amory nggak memungkinkan dipake. Gue juga nggak mau libatin teman-teman gue untuk ini. Hanya gue dan lo. Hanya kita. Mungkin terdengar kayak gue udah gila, tapi gue nggak bisa abai sama lo gitu aja," papar Cakra panjang.

Cakra ACIN memang sebaik yang dirumorkan satu tahun lalu. Orang itu terlalu baik hingga membuatnya tampak seperti orang bodoh. Yah, setidaknya begitulah isi pikiran Adhisty. Senang? Mungkin iya, dia merasa seperti memiliki cahaya kembali. Tapi, cukup sampai di sini Cakra membantunya, dia tidak ingin lagi melibatkan orang asing tentang masalahnya. Dia ingin hidup dan memiliki masa depan, dia bisa memperjuangkannya seorang diri meski pemikiran itu nyaris mustahil. Dia mungkin akan lelah di tengah jalan, memilih bunuh diri atau mungkin dia berakhir di temukan polisi sebelum berhasil menghancurkan kepala sekolah. Yang jelas, bantuan Cakra tidak ingin dia terima lagi. Dia tidak ingin Cakra terluka karena masalahnya. Pemikiran kalau kecelakaan lebih dari satu bulan lalu adalah kesengajaan terus menggangunya, membuatnya percaya kalau kenyataannya memang seperti itu.

"Cakra, lo orang paling sempurna yang pernah gue lihat. Sayang, kesempurnaan lo itu juga jadi kecacatan lo. Lo mungkin akan dimanfaatin orang-orang di masa depan," ucap Adhisty dengan senyum kecil yang tampak lembut. Oh, selain ini pertama kalinya Cakra mendengar pujian Adhisty, ini juga pertama kalinya bagi pria itu melihat senyuman tulusnya. Bukan senyum miring meremehkan atau hal-hal semacam itu. "Makasih udah bantuin gue sejauh ini, gue bahkan udah lupa kemarahan lo beberapa jam lalu. Jadi, nggak usah minta maaf lagi soal itu. Tawaran lo barusan gue tolak. Gue bisa urus diri gue sendiri. Lo urus aja diri lo atau siapapun yang mau lo urus. Hubungan kita bisa berakhir di sini, kan? Lesmana nggak seharusnya berhubungan sama kriminal." Merogoh saku jaketnya, Adhisty mengambil sebuah masker putih dari sana. Hendak memasangnya namun tangan Cakra menahan itu.

"Siapapun yang mau gue urus? Lo. Gue pengen urus lo sebaik-baiknya. Rumah gue paling aman untuk lo sekarang, Adhisty. El Family nggak bisa disentuh sebebas yang lain. Ini juga bukan hanya tentang lo, tapi Ian. Gue ingin akhiri kekejaman Kepsek, sembuhin trauma lo, buat lo bertanggung jawab atas apa yang lo lakuin. Ian akan baik-baik aja selama lo bertanggung jawab. Bunuh orang emang salah, tapi keadaannya berat buat lo. Gue yakin kalau persidangannya bersih, lo pasti dapat hukuman yang adil. Setelahnya, lo bisa hidup dengan baik. Nggak ada bayang-bayang ruang bawah tanah, nggak ada bayang-bayang Om Deri, nggak ada hal yang bisa buat cewek kayak lo gentar lagi." Cakra menghela napas di akhir, rasanya dengan Adhisty dia selalu berkata panjang lebar. 

•••

14.12.2022

The Secret [COMPLETED]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें