#47. Penyesalan

163 13 0
                                    

Di dalam taksi yang melaju, Cakra memejamkan mata seraya bersandar pada kursi. Dia hampir sampai di kediamannya, namun, rasa bersalah mulai menelusup memasuki hatinya. Pria itu mulai merasakan perasaan tidak enak tentang apa yang dia lakukan pada Adhisty beberapa saat lalu. Bayangan tentang Adhisty yang meluruh begitu mendengar orang yang dia bunuh adalah ayahnya Ian terus terputar di kepalanya.

Taksi dirasa berhenti melaju, membuka mata, Cakra melihat kalau taksi berhenti akibat portal yang melintang di depan. Membuka kaca jendela, seseorang dengan seragam keamanan memeriksa siapa dirinya. Begitu tahu penumpang taksi adalah Cakra, dia segera memberikan kode pada rekannya yang berada di dalam pos. Sesaat kemudian, portal terangkat dan taksi kembali melaju. Kini, Cakra telah sukses berada di wilayah El Family. Yah, meski untuk menuju rumah masih memerlukan beberapa waktu lagi. Bagaimanapun, lingkungan El Family sangat luas dengan berbagai fasilitas yang mempermudah hidup mereka.

Hati Cakra semakin resah, rasa bersalahnya kian membesar, dan dia mulai menyesali apa yang dia perbuat pada Adhisty. Cakra mengutuk dirinya sendiri, merasa bodoh karena bersikap kekanakan tadi. Dia seharusnya paham kalau Adhisty juga terluka dengan itu, dia bahkan memiliki trauma dari kejadian satu tahun lalu. Mengacak rambutnya sendiri, Cakra berdecak dengan raut wajah bermasalah. Membuat sopir taksi meliriknya meski hanya dari kaca.

"A-anu, maaf, Mas, tapi saya harus berhenti di mana?" Ini pertama kalinya dia memasuki lingkungan pribadi seluas ini, sudah ada beberapa bangunan yang dia lewati namun penumpangnya tak kunjung memberikan instruksi. Dia tentu saja kebingungan. Ditambah rasa takut yang mengganggu akibat tahu kalau penumpangnya bukanlah sekedar remaja biasa. Ayolah, tempat ini bukanlah main-main.

Meski beberapa detik telah berlalu, namun sang sopir tak kunjung mendapatkan jawaban. Itu membuatnya sekali lagi melirik Cakra lewat kaca, kemudian dia berkata, "Mas, sa──"

"Putar balik."

"Maaf?" Sang sopir spontan mengeluarkan kata itu saat Cakra menyuruhnya putar balik dengan nada tidak biasa. Itu seperti perintah mutlak yang selalu dia dengar dari atasan di tempatnya bekerja.

"Saya nggak mau pulang. Maaf, tolong antar saya ke tempat tadi." Sadar kalau nada bicaranya bisa saja membuat lawan bicaranya merasa kesal, Cakra mengulang dengan perkataan yang lebih baik dan jelas.

•••

Meski sudah lebih dari tiga kali Cakra mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, sosok yang dia cari tak kunjung terlihat oleh mata.

Tepat seperti permintaannya pada sopir taksi tadi, Cakra kini berada di tempatnya semula. Tempat dia meninggalkan Adhisty dalam kondisi buruknya. Waktu tentu saja sudah berlalu sangat lama sejak itu, namun dengan bodohnya Cakra masih berharap akan menemukan Adhisty. Bertanya pada orang-orang di sekitar tentu saja tidak memungkinkan, bagaimanapun status gadis itu adalah seorang buronan. 

Pikirannya berkecamuk, dia mulai takut kalau Adhisty ditemukan polisi. Yah, dia memang menyuruhnya menyerahkan diri tadi, namun itu hanyalah kalimat bodoh Cakra karena dia dikuasai amarah. Sesungguhnya dia tidak ingin Adhisty menghadap penjara. Tidak sebelum kepala sekolah dan Neo berhasil mereka hancurkan. Menurut cerita Adhisty, polisi berada di bawah kendali kepala sekolah Purnama Biru, dia bisa saja berakhir di ruang bawah tanah alih-alih penjara. Buruknya, Adhisty bisa saja dibunuh begitu diserahkan pada kepala sekolah. Tidak ada yang tidak mungkin dengan uang dan kekuasaan.

"Disty, lo di mana?" gumam Cakra seraya terus liar mencari dengan matanya.

Sadar dia tidak bisa terus seperti ini, Cakra memilih berlari ke salah satu arah, memilih mencari Adhisty dengan acak dan terus berharap agar dia bisa menemukannya.

Sesekali pria itu menabrak bahu para pejalan kaki, mengucap maaf singkat, lalu kembali liar mencari Adhisty.

Kini, entah sudah seberapa jauh Cakra berlari, entah sudah berapa banyak waktu berlalu sejak dia mulai mencari. Yang jelas, peluh membanjiri tubuhnya, poni rambutnya lepek, dan wajahnya memerah. Napasnya tentu saja memburu, dia bahkan kesulitan dalam menelan salivanya sendiri.

Menumpukan satu tangannya pada pinggang, Cakra mengusap peluh yang berada di kening hingga pelipisnya. Adhisty, tidak mungkin, kan, kalau gadis itu benar-benar ditemukan polisi? Setidaknya begitulah yang Cakra pikirkan sekarang ini.

Kepalan tercipta di tangan Cakra, memikirkan betapa bodohnya dia, memikirkan sesakit hati dan setakut apa Adhisty tadi, kemarahan Cakra menjadi. Dia memukul-mukul pahanya, melampiaskan amarah yang terarah pada diri sendiri dengan cara seperti itu.

•••

12.12.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now