#61. Evaluasi

130 18 2
                                    

Tok... tok... tok...

"Boleh masuk?"

Cakra memang berada di depan pintu kamarnya, namun karena kamar itu kini ditempati oleh seorang perempuan, Cakra sengaja mengetuk terlebih dahulu guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimanapun, dia takut kalau langsung masuk dan menemukan Adhisty tidak dalam kondisi biasa.

"Ya." Seruan singkat itu terdengar, membuat Cakra menggeser pintunya ke dua arah. Kamarnya memang tidak kedap suara, namun karena letaknya yang bisa dibilang di pojokan, Cakra jadi tidak khawatir dengan seruan Adhisty. Lagipula, tidak pernah ada orang yang tertarik ke dekat kamar Cakra kalau tidak memiliki urusan.

Mengikuti Cakra, Nevan melangkahkan kakinya ke dalam, menemukan Adhisty yang tampak santai menonton televisi dengan volume kecil. Pop corn ada di pangkuan gadis yang tengah duduk di atas karpet berbulu itu. Melihatnya, Nevan tidak bisa untuk tidak menganga karena sikap Adhisty rasanya terlalu santai.

"Lo nggak ada rasa bersalah sedikit pun?"

Mendengar suara itu, kunyahan Adhisty berhenti. Namun, itu hanya sesaat saja karena setelahnya dia kembali mengunyah, bahkan memasukan lebih banyak ke dalam mulutnya. Matanya juga terus terarah pada televisi seolah dia tidak tertarik dengan keberadaan Nevan di tempat ini. "Lo bebas berpikir apapun," balas Adhisty.

Nevan berdecih. Melemparkan tas sekolahnya pada sofa, lalu melepas jas Purnama Biru dan lagi-lagi dia lemparkan pada tempat yang sama.

"Gue ikut lanjutin misi ini, tapi bukan berarti gue maafin lo, Disty. Cakra bilang lo mau ke penjara setelah semuanya selesai, gue harap lo nggak bohong soal itu," ucap Nevan seraya menjatuhkan dirinya di atas kursi belajar yang telah dia arahkan pada Adhisty.

Adhisty sendiri masih tampak santai seolah tidak peduli. "Ya, ya, ya. Gue bukan pengecut yang akan lari dari janji," balasnya.

Nevan mendengus, lama tidak bertemu rasanya Adhisty semakin menyebalkan saja. Bukankah seharusnya gadis itu terkejut saat dia datang ke sini? Bukankah Adhisty harusnya menghujaninya dengan pertanyaan? Tapi, kenapa bisa Adhisty sesantai ini? Apa dia tidak takut atau curiga Nevan melaporkannya? Sungguh, gadis itu memang sesuatu.

"Amory, dia... gimana?" Untuk kali pertama Adhisty mengalihkan pandang dari televisi, beralih membawa pandangan itu pada Nevan kala dia bertanya. 

"Basa-basi? Atau... penasaran?" balas Nevan dengan pertanyaan pula.

Menggidikan bahu, Adhisty bangkit berdiri guna membuang bungkus pop corn pada tempat sampah di sisi meja belajar. "Terserah kalau nggak mau jawab. Gue bisa tanya Cakra," ucapnya.

Cakra sendiri kini tengah berada di kamar mandi, mencuci tangan dan muka tepat setelah dia meletakan tasnya di tempat yang disediakan.

Beberapa saat kemudian Cakra keluar dari toilet, mengeringkan kakinya dengan keset sebelum mendekat pada Nevan dan Adhisty. Mengambil posisi duduk di atas karpet berbulu tak jauh dari Adhisty.

"A, tadi yang namanya Adinata lihat gue di sini."

Kalimat itu membuat Cakra seketika menatap Adhisty, memasang raut yang sulit dijelaskan karena memang itu bukanlah kalimat biasa. "Lo... bercanda?" tanya Cakra.

"Nggak. Gue nggak pandai bercanda," balas Adhisty. "Tapi dia nggak ngapa-ngapain. Cuma lihat gue, bilang 'Ternyata benar, jangan buat keributan,' dan pergi lagi."

Cakra menelan ludahnya kasar, mengalihkan pandangan pada Nevan yang juga sedang menatapnya. Ingatannya melayang pada saat dirinya berada di ruangan kepala sekolah. Membuka brangkas rahasia dan menemukan cek dengan cap El Air. Lebih tepatnya, cap khusus CEO El Air.

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now