#50. Dendam Kepala Sekolah

161 19 1
                                    

Di depan kaca full body, kepala sekolah memandangi pantulan dirinya sendiri yang tanpa atasan. Kacamata kali ini tidak terpasang di wajahnya, telah hancur beberapa saat lalu karena sekretaris Number 2 menginjaknya.

Tubuh gemuknya yang putih bersih memiliki lebam di beberapa titik, bekas pukulan bertubi yang dia dapatkan dari sekretaris sang atasan. Sakit sebenarnya, seluruh tubuhnya terasa linu karena pukulan bukanlah sebuah lelucon.

Tangan pria berumur itu terulur, mengambil sebuah salep dari meja di samping kaca. Membukanya, lalu mengoleskannya pada lebam yang bisa dia jangkau. Punggungnya juga terasa sakit, dia yakin ada beberapa luka di sana, namun akibat tidak ada siapapun yang bisa dia andalkan selain dirinya sendiri, luka itu tidak bisa dia obati.

Selesai dengan salep, kepala sekolah membalikan badan, berjalan mendekati lemari yang berseberangan dengan kaca, membukanya guna mengambil sebuah kaus dari sana.

Ini pukul dua dini hari, namun kantuk sama sekali tak hadir pada kepala sekolah. Dia terlalu frustasi untuk bisa mengantuk di situasi semacam ini. Dia mendekat ke arah nakas di sisi tempat tidur, membuka laci yang ada di sana hingga sebuah ponsel lama terlihat oleh mata. Mengambil ponsel itu, dia menekan tombol power lama. Menyalakan benda yang sudah sangat lama tak digunakan.

Memilih untuk duduk di sisi ranjang, kepala sekolah menunggu hingga ponsel sudah mampu dia operasikan. Menyalakan internet, dia menunggu beberapa saat hingga sebuah pesan masuk pada ponsel itu. Membukanya, kepala sekolah mengeratkan genggamannya pada ponsel saat menonton video dari pesan yang terkirim. Beruntung, dia sempat mengirimkan video yang dia dapat sebelum Number 2 menyadari apa yang dia lakukan.

Pria itu memang mendapatkan tangkapan besar, namun tidak ada gurat kebahagiaan atau puas pada wajahnya. Dia hanya terlihat sangat lelah di sepanjang harinya.

"Ini tidak akan cukup untuk mengguncang mereka, tapi hanya ini yang mampu Papa dapatkan. El Family, mereka sangat kuat. Tidak apa-apa, Sayang, Papa pasti menggores mereka walaupun hanya sedikit. Dendam ini tidak akan padam begitu saja," ucap kepala sekolah meski dirinya hanya seorang diri di tempat ini.

•••

Cakra menghentikan mobil putih yang dikendarainya tepat di depan portal yang melintang. Membuka kaca jendela guna menunjukan wajah, hingga akhirnya portal terangkat dengan sempurna.

Cakra memang belum memiliki surat izin mengemudi, dia merasa tidak terlalu butuh dengan itu. Namun, bukan berarti dia tidak bisa mengendarai mobil. Kenzura sempat mengajarinya saat dia senggang, mengatakan kalau bisa mengemudi adalah hal yang penting, dan, ya, rupanya kakaknya itu benar. Dia sangat bersyukur sekarang karena bisa mengendari mobil dengan baik.

Itu tentu saja bukan mobilnya, dia hanya memberanikan diri menelpon sepupunya guna meminjam mobil. Yah, hubungan dia dengan keluarga memang buruk, dia bahkan harus rela mendapat beberapa cibiran saat meminjam mobil tadi. Tapi persetan, Ciel sudah sering menghinanya dan dia baik-baik saja.

Begitu sukses melewati pos portal, seseorang di kursi belakang menampakan dirinya yang semula bersembunyi dengan cara merunduk. Seorang gadis dengan jaket hitam lusuh dan rambut pendek yang dikuncir. Ya, Adhisty.

Sempat terjadi perdebatan panjang di depan ruko tadi, Adhisty tetap bersikeras tidak ingin melibatkan Cakra dan ingin pergi saja. Namun, Cakra juga bersikeras agar Adhisty tidak menolaknya. Membawa-bawa nama Ian dan ayahnya hingga akhirnya Adhisty luluh dan beginilah jadinya.

Seperti yang diharapkan dari putri Seiren, meski lingkungan El Family sangat menakjubkan, namun gadis itu tampak biasa-biasa saja. Hanya melihat sekitar lewat jendela dengan wajah datar dan tampak bosan. Bagaimanapun dia sudah melihat banyak hal menakjubkan saat tinggal di Prancis beberapa tahun lalu. Kediamannya dulu memang tidak sebesar dan semewah lingkungan El Family, dia dan keluarganya hanya tinggal di penthouse salah satu gedung di Marseille. Namun, tetap saja banyak acara yang harus dihadiri ibunya di tempat-tempat menakjubkan dan dia yang masih kecil sangat senang untuk ikut.

Cakra menghentikan mobil yang dia kendarai tepat di depan sebuah bangunan gelap yang ukurannya tak terlalu besar. Mematikan mesin mobil, Cakra melepas sabuk pengamannya, turun dari mobil, lalu memastikan sekitar. Seperti yang dia duga, tidak ada siapa-siapa di tempat ini. Dia mengetuk kaca mobil bagian belakang, meminta Adhisty untuk turun dan itu diikutinya.

Setelahnya pria itu berjalan menuju bangunan gelap itu, berhenti saat sudah sampai di depan pintu. Tangan kanannya naik, mendarat pada kenop berdebu bangunan, lalu memutarnya. Oh, beruntung sekali, itu tidak terkunci.

Sampai di dalam, Cakra membalikan badan, menghadap Adhisty yang memang mengekornya. Cahaya bulan yang masuk lewat jendela ditambah lampu jalan yang ada di luar membuat Cakra masih bisa melihat meski tanpa menyalakan lampu tempat ini. Lagipula akan merepotkan kalau lampu dinyalakan dan ada penjaga yang melihat.

Dia mengedarkan pandang ke sekitar, hanya ruangan biasa dengan satu sofa panjang yang tampak sangat lama diabaikan. Ada juga perlengkapan yang entah apa namanya, setahu Cakra itu digunakan untuk membantu pelatihan salah satu kakaknya.

"Ini bekas studio Kak Yola. Meski berdebu, tapi bisa tunggu di sini sebentar? Gue harus lakuin sesuatu supaya bisa bawa lo masuk tanpa ketahuan," ucap Cakra.

Adhisty hanya mengangguk, fokusnya sekarang malah berada pada sebuah foto besar yang berpasang di salah satu sisi ruangan. "Kakak lo balerina?" tanyanya.

"Hm, hanya sampai SMP. Dia lebih suka bisnis," jawab Cakra ikut melirik foto yang dilihat Adhisty. "Gue tinggal dulu," ucapnya setelah tiga detik berlalu. Tanpa menunggu jawaban, pria itu melangkahkan kakinya ke luar ruangan, kembali memasuki mobil dan melajukannya. Meninggalkan Adhisty yang kini menelusuri ruangan hanya dengan penerangan seadanya. Uh, dia merasa nostalgia.

•••

Kehebohan tak masuk akal terjadi saat dini hari. Semua penjaga kediaman El Family yang bertugas saat ini sibuk dengan kekacauan yang entah apa sebabnya. Beberapa kuda milik majikan mereka tiba-tiba terlepas, berlarian ke sana ke mari hingga Tuan dan Nyonya besar rumah ini terbangun dari tidur nyenyaknya. Semua orang yang bangun sibuk dengan kuda-kuda yang lepas, teriakan para pekerja dan tawa renyah Ciel membuat suasana dini hari jadi tak biasa.

Di tengah-tengah semua itu, bungsu keluarga ini malah diam-diam berlari di rute yang jarang dilalui, pergi ke bekas studio pribadi Yola setelah sesaat sebelumnya sengaja membuat beberapa kuda kesal lalu membuka kandang mereka.

Sampai di tempat tujuannya, Cakra membuka pintu yang ditutup Adhisty, melambaikan tangannya dan meminta Adhisty untuk keluar. "Semua penjaga pada sibuk. Sekarang kita bisa masuk," ucapnya mengulurkan tangan.

Adhisty menyipit, menatap tangan Cakra yang terulur padanya. "CCTV?" tanyanya.

"Nggak ada. Papa suka privasi. CCTV cuma ada di bagian luar aja, rumah utama aman," jawab Cakra. Merasa tangannya terus diabaikan, Cakra dengan canggung menariknya kembali. "Ikutin gue," ucapnya membalikan badan. Kembali berjalan di jalan yang barusan dia lalui. Jalan yang menjadi titik buta CCTV.

Beberapa waktu terlewati, keributan memasuki telinga Adhisty dan itu membuatnya berhenti. Cakra yang merasakannya pun ikut berhenti juga, menoleh ke belakang lalu bertanya, "Kenapa?"

"Suara. Masa lo nggak dengar?"

Kembali membawa pandangan ke depan, Cakra membalas, "Abaiin. Ikuti gue aja."

Yang menjadi incaran Cakra adalah pintu geser kaca yang berada di sisi barat rumah utama. Pintu yang biasanya hanya digunakan pekerja bagian laundry karena memang pintu itu mengarah ke tempat laundry. Tidak ada anggota keluarga yang mau repot-repot menginjakan kaki di sana. CCTV pun tidak ada yang mengarah pada pintu itu, membuat Cakra jelas menjatuhkan pilihannya di sana.

Pintu yang dimaksud sudah terlihat oleh mata, beberapa langkah lagi, dan mereka akan aman karena tak perlu mencari titik buta CCTV.

Cakra menerawang ke balik pintu kaca, melihat situasi dan untungnya aman-aman saja. Menggeser pintu dengan gerakan pelan, Cakra akhirnya masuk ke dalam rumah dengan Adhisty di belakangnya.

Setelah kembali menutup pintu, Cakra dan Adhisty berjalan mengendap, menyusuri rumah luas Cakra dengan suara seminimal mungkin. Mereka bahkan harus berhemat napas karena bunyi halus yang tercipta.

Mereka menaiki tangga guna menuju lantai dua, tetap waspada meski sejauh ini perjalanan mereka sangat lancar. Yah, setidaknya itulah yang mereka ketahui, karena pada kenyataannya, seseorang memperhatikan mereka sejak keduanya menginjakan kaki di anak tangga pertama.

•••

15.12.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now