#54. 50%

144 21 1
                                    

"Kepsek. Bukan dia pelaku pembunuhan peringkat bawah."

Di ruangan atas yang mereka temukan, Cakra dan Adhisty duduk bersila menghadap jajaran foto yang mereka yakini seluruh korban penculikan yang telah tiada.

Keduanya baru saja selesai memberikan sedikit doa pada para remaja malang itu, turut prihatin atas apa yang menimpa mereka, dan mengharapkan yang terbaik di dunia lain sana.

"Atas dasar apa? Meski dia pasang foto-foto ini ditambah bunga seolah dia berduka, nggak bisa membantah fakta kalau dia pelakunya. Si babi brengsek itu psikopat, bisa aja dia tempel foto-foto ini buat kenang-kenangan. Buat kesenangan nggak waras dia," bantah Adhisty atas apa yang Cakra ucapkan.

Cakra menggeleng, pandangannya terarah ke bawah, sedangkan kedua tangannya mengepal di atas lutut. "Nggak. Bukan cuma foto ini. Gue ingat kepsek pernah bilang soal gue salah membidik. Waktu itu gue cuma anggap itu omong kosong, tapi kita selama ini emang salah membidik," paparnya.

"Tapi dia seret mayat peringkat terakhir," ucap Adhisty masih tidak mau percaya ucapan Cakra. Ayolah, di ruang bawah tanah kepsek predatornya. Yah, Neo juga dia yakini membunuh peringkat pertama, namun Neo menurut pada kepala sekolah. Kalau seperti itu, bukankah sudah jelas siapa bosnya?

"Lo cuma lihat dia bawa mayat aja, kan? Nggak lihat dia ngelakuin pembunuhan?" tanya Cakra sangat yakin dengan apa yang dia simpulkan.

Adhisty diam. Gadis itu tak langsung menjawabnya dan memilih untuk bergulat dengan pikirannya sendiri. Cakra memang benar, dia hanya melihat kepala sekolah menyeret mayat tanpa lengan lewat ruang yang tercipta antara kedua sel. Namun, saat melakukan itu pakaian kepala sekolah selalu berlumur darah, begitupun dengan tangan dan wajahnya. Dia memang terlihat seperti selesai membunuh seseorang. Tapi, apa yang Cakra katakan tidak sepenuhnya tidak mungkin, bisa saja hal itu hanya tipuan agar para tawanan percaya kalau kepala sekolah bosnya. Hanya saja yang Adhisty tak tahu kenapa dia harus melakukan itu? Menutup kenyataan kalau bos sebenarnya bukan dia? Untuk apa? Toh seharusnya dia yakin pada akhirnya seluruh tawanan akan mati. Tidak perlu ada yang ditutup-tutupi.

Adhisty menolehkan kepala ke samping, melihat Cakra lalu balas bertanya, "Lo seberapa yakin soal itu?"

"Lebih dari 50%. Gue ngerasa Neo lebih berbahaya daripada kepsek," jawab Cakra.

"Babi itu bisa aja sandiwara."

"Gue rasa nggak. Dia tetap nggak menyeramkan meskipun gue samperin dia setelah dia tahu gue tahu apa yang dia lakuin. Padahal waktu itu kita cuma berdua di ruangannya," jelas Cakra.

Adhisty menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Oke, dia juga merasakan itu. Aura yang Neo miliki terasa jauh lebih menyeramkan daripada kepala sekolah. Adhisty pernah beberapa kali mengintip mata Neo yang menjadi satu-satunya dari dia yang tak tersembunyi, dan, ya, tatapan mata Neo terasa berbeda dengan orang-orang kebanyakan. Pria itu seperti hewan buas yang memberikan ketakutan hanya dengan sorotnya. Sedangkan kepala sekolah, pria tua itu hanya seperti orang brengsek kebanyakan yang biasa berkeliaran saat tengah malam dengan bau alkohol yang menyengat. Seperti... sampah masyarakat biasa yang ingin mendapatkan sorotan. Setidaknya seperti itu yang Adhisty pikirkan. Dia memang terlanjur membenci kepala sekolah yang setahun ini memberikannya penderitaan.

"Kalau gitu gimana? Lo mau bilang apa yang kita lakuin sia-sia?"

Cakra lagi-lagi menggelengkan kepala. Untuk sesaat dia menoleh pada Adhisty, bangkit berdiri, lalu menepuk-nepuk tangannya karena debu yang menempel di sana. "Nggak ada yang sia-sia. Bagaimanapun kepala sekolah tetap bersalah. Kita hanya harus cari tahu siapa dalang sebenarnya, ada berapa, dan seberapa kuat mereka. Mungkin, kita butuh lebih banyak waktu," paparnya.

Adhisty juga ikut bangkit berdiri, menghilangkan debu yang menempel pada pakaiannya.

Cakra membawa pandangan pada sisi tembok yang lain, sisi yang dia perhatikan saat pertama kali datang ke sini. Sisi di mana foto dirinya dan keluarganya tertempel. Bercampur dengan artikel-artikel juga foto-foto lain yang tampaknya barang bukti dan hal-hal semacam itu.

"Mungkin ini cuma firasat nggak berguna, tapi, gue rasa kasus ini ada hubungannya sama kita," ucap Cakra seraya memperhatikan foto ayahnya di sana.

"Yoana Gisella, foto orang itu juga ada di ruang tengah. Sama si babi dan ibu-ibu. Gue rasa korban kasus ini anaknya dia," ucap Adhisty menunjuk salah satu foto yang menempel. Foto seorang gadis yang tersenyum lebar dengan tangan kanan membentuk pose dua jari dan tangan kirinya memegang boneka beruang kecil di atas kepala. "Dia kayaknya percaya kalau Theo Lesmana adalah pelaku sebenarnya. Semua foto, tulisan, dan artikel ini nunjukin kalau babi itu berusaha cari sesuatu buat seret Theo Lesmana ke penjara."

•••

Selesai melakukan rehabilitasi untuk kakinya, Amory kini berada di taman rumah sakit di temani Nevan. Susu kotak rasa coklat ada di genggaman keduanya dengan sedotan yang menancap. Sesekali mereka menyedotnya, mengalirkan minuman itu pada tenggorokan seraya menikmati angin sepoi-sepoi sore hari yang mendung ini.

"Sampai kapan kalian tutup mulut?"

Pertanyaan yang keluar dari bibir mungil Amory membuat Nevan menoleh padanya. "Hah?" Meski sejujurnya dia tahu apa yang Amory maksud, tapi Nevan memilih memberikan reaksi semacam itu.

"Adhisty dan kecelakaan kita. Kalian nyembunyiin sesuatu, kan? Nggak mungkin Adhisty nyerah dan balik ke Prancis," ucap Amory.

Nevan menarik napasnya dalam, meraup udara dengan sangat rakus sebelum menghembuskannya kasar lewat mulut. Dia mendongak, menatap awan mendung di atas sana. "Lo nggak perlu tahu, Ry, nggak ada hubungannya sama kita," paparnya.

"Adhisty teman gue juga, Van. Gue pengen tahu kabar dia."

Mendengar kata teman terucap, sorot Nevan berubah tajam. Dia bahkan tanpa sadar menaruh kotak susunya yang masih sisa setengah ke lengan kursi dengan kasar hingga menciptakan bunyi yang cukup kuat. "Jangan anggap dia teman," tegasnya.

Nevan memang selalu tampak aneh saat Amory menyebut nama Adhisty, namun, ini adalah pertama kalinya Nevan menunjukan kebenciannya dengan jelas. Ah, sangat jelas. "Lo harus kasih alasan untuk──"

"Pembunuh. Orang itu bunuh Om Deri, Ry. Ayahnya Ian." Belum sempat Amory menuntaskan kalimatnya, Nevan sudah terlebih dahulu memotongnya dengan jawaban yang sangat mengejutkan. Amory bahkan nyaris saja menjatuhkan minumannya.

•••

19.12.2022

The Secret [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя