#55. Langkah Kepsek

144 20 0
                                    

Bel istirahat berdering, guru di depan kelas yang tengah menjelaskan aksi heroiknya menyelamatkan mahasiswi dari pencopet seketika terhenti. Mengucapkan kalimat perpisahan singkat, guru pria yang masih cukup muda itu pamit keluar kelas.

Meregangkan tubuhnya yang kaku, Ian menguap karena semalam terlalu lelah mendengarkan keluh kesah tak berguna Destria hingga nyaris tengah malam. Pria berambut ikal itu membereskan alat tulisnya, memasukan benda-benda itu pada kolong meja, lalu melirik pada dua temannya. "Kantin nggak, sih?" tanyanya.

Nevan yang tengah menutup tasnya menghentikan itu, menatap Ian aneh kemudian berkata, "Pertanyaan macam apa itu? Jelas kantin lah, Yan."

Ian, Nevan, dan Cakra bangkit berdiri, berjalan ke luar kelas, dan melangkah santai di koridor dengan Nevan dan Ian di depan, lalu Cakra di belakang sendirian. Bagaimanapun, mereka tidak mau menguasai jalan dan membuat murid lain kesusahan. ACIN memang sangat populer, namun mereka tidak seenaknya.

"Guys."

Panggilan Cakra membuat Ian dan Nevan menolehkan kepala ke belakang, berhenti kala melihat Cakra sudah berhenti berjalan. "Kenapa?" tanya Ian.

Cakra mengangkat lengan kanannya, membenarkan poni yang menjuntai, lalu berkata, "Toilet. Gue ke toilet dulu. Kalian duluan aja."

"Pesanannya?" tanya Nevan yang memasukan kedua tangannya pada saku celana.

"Nggak usah. Nanti gue pesan sendiri."

Nevan dan Ian saling berpandangan, sama-sama menggidikan bahu, lalu secara bersamaan keduanya berucap, "Yaudah."

Mendengarnya, Cakra segera mengambil langkah, berlari kecil mendahului teman-temannya, lalu berbelok ke kiri setelah beberapa langkah. Tentu saja dia menuju ke arah toilet.

•••

Kepala sekolah menyodorkan selembar foto di atas meja ke arah seorang pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria pemilik wajah sangar dengan kumis lebat berwarna hitam. Badannya cukup besar, namun tidak seperti kepala sekolah yang besar karena daging dan lemak, pria satu itu lebih ke otot. Tubuhnya tampak kekar dan terlatih.

Cafe yang cukup sepi di pinggiran kota. Ya, tempat yang saat ini digunakan kepala sekolah untuk bertemu dengan seseorang yang bisa dikatakan cukup penting. Setidaknya untuk dirinya.

"Ini..." kata itu keluar dari mulut orang di hadapan kepala sekolah saat jari telunjuknya menyentuh foto yang disodorkan. Foto yang memuat sekumpulan pria berjas tengah tertawa dengan beberapa gadis berpakaian terbuka di rangkulan mereka. Buruknya, pria-pria itu adalah orang-orang yang cukup berkedudukan di dalam kota, pemilik uang dan kekuasaan. Termasuk dirinya. "Tujuan Anda apa, Pak?" tanyanya dengan nada yang tidak mengenakan.

Kepala sekolah memasang wajah datar, memperhatikan Hengki dan berusaha terlihat sangat percaya diri. "Anda tahu saya bekerja di bawah orang itu, kan, Pak?" Ya, bukannya menjawab, kepala sekolah malah balik bertanya.

"Anda pemasok perempuan penghibur muda itu, kan?" Hengki meraih foto yang disodorkan padanya, mengangkatnya, kemudian menggerak-gerakan itu dengan tatapan yang mengarah lurus pada kepala sekolah. "Tapi sepertinya Anda bukan pria yang setia," lanjutnya.

Masih tidak ada ekspresi apapun di wajah kepala sekolah, dia malah mengulurkan lengannya dan meraih cangkir berisi kopi di atas meja. Membawa bibir cangkir ke depan mulut, lalu meneguknya sedikit.

Setelah kembali menyimpan cangkir pada tempatnya semula, pria gemuk itu kemudian berkata, "Aah, saya juga berharap Anda seperti itu."

Tawa kecil meremehkan keluar dari mulut Hengki. Dia tampaknya merasa geli dengan apa yang dikatakan kepala sekolah. "Untuk apa? Dia bisa memberikan segalanya untuk saya," paparnya.

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang