#44. Kepala Sekolah

152 17 2
                                    

"Tapi, kalau gini ceritanya lo sama Adhisty itu sodaraan, kan, Yan? Terus lo sama Kak Destria punya ibu tiri orang super kaya. Seiren loh, El Group aja kalah."

Kesalah pahaman antara Cakra dan Nevan telah selesai sesaat lalu. Meski terjadi perdebatan panjang, namun akhirnya keduanya saling mengerti satu sama lain.

Ian mendengus kasar saat mendengar pernyataan Nevan. "Bokap gue udah meninggal kalau lo lupa. Gue nggak ada hubungannya sama Seiren," balasnya.

Sekarang tentu saja tiga remaja laki-laki itu tengah berada di ruangan Cakra. Nevan dan Ian mengambil posisi duduk di sofa yang disediakan, lalu Cakra berada di ranjangnya dengan posisi setengah terbaring.

"Lo nggak pernah lihat Amory, kan, Yan?"

Setelah beberapa saat membicarakan hal random yang tidak ada manfaatnya, kini mereka beralih topik pada hal yang lebih spesifik. Bagaimanapun, Nevan memang belum pernah melihat Ian berkunjung ke ruangan Amory sejak gadis itu dipindahkan ke ruang VIP.

"Kalau arwah Amory berkeliaran, gue yakin dia ngerti kondisi gue," ucap Ian yang langsung mendapatkan jitakan kuat di kepalanya. Pelakunya, Nevan, mendelik tajam bersamaan dengan itu.

"Amory nggak mati," ujar Nevan.

Mengusap kepalanya sendiri, Ian bergumam, "Bercanda."

"Di beberapa film, arwah orang yang koma emang keluar, kan?" Cakra ikut andil dalam pembicaraan. Menatap Nevan dan Ian kala mengatakannya.

"Lo sendiri gimana? Lo kan baru bangun dari koma. A, Ian juga sempat koma. Gimana, arwah kalian keluar?"

"Kalau gue, sih, kayaknya arwah gue mampir liburan ke Alaska. Bangun-bangun dingin banget soalnya," jawab Ian seadanya. Memang, entah apa yang terjadi, saat bangun dan mendapati Destria di sampingnya, tubuh Ian terasa sangat dingin meski selimut menutupinya.

•••

Bersandar pada salah satu sisi sel, Ajeng mengedarkan pandang ke sekitar. Tidak ada yang berbeda dari saat-saat sebelumnya. Sel seberang kosong, tidak ada tawanan laki-laki lain yang dibawa oleh Neo sejak tiga tawanan terakhir dibunuh begitu saja. Ah, tidak, sebenarnya Ajeng tidak pernah lagi melihat tawanan baru sejak Amory datang. Di tempat ini tidak ada penunjuk waktu, dia juga bukan Adhisty yang bisa menghitung waktu di dalam kepala. Namun, dia merasa sudah lama kepala sekolah Purnama Biru tidak mengadakan ujian. Dia juga rasanya tidak melihat Neo akhir-akhir ini. Pria bertopeng itu yang biasanya selalu membuka sel guna memberi makanan kaleng dan membiarkan tawanan ke toilet, sekarang malah kepala sekolah yang melakukannya.

Entah apa yang terjadi di luar sana, dia sama sekali tidak bisa mengetahui hal itu. Memang tidak pantas untuk dirinya mengkhawatirkan orang lain saat kondisinya sangat buruk seperti ini, namun, jujur saja dia merasa khawatir dengan Adhisty dan Amory sejak mereka datang ke sini bukan sebagai tawanan. Neo melihat mereka, bahkan dia bertarung dengan teman yang dibawa Amory dan Adhisty. Fakta itu saja sudah mampu membuat Ajeng khawatir luar biasa. Dia mengeratkan tangannya yang menggenggam satu sama lain, berharap agar hal buruk tidak terjadi pada Amory, Adhisty, ataupun teman-teman mereka yang dia sendiri tak tahu namanya. Bagaimanapun, hanya mereka satu-satunya harapan Ajeng sekarang. Semangat hidupnya yang semula kosong mulai memuncak saat melihat kedatangan mereka. Dunia luar... dia sangat merindukannya. Rindu dengan bau tanah di pagi hari, rindu bau kendaraan saat dirinya berangkat dan pulang sekolah, rindu teriakan heboh teman-temannya, rindu bubur ayam di pagi hari, dan ada banyak hal lain yang sangat dia rindukan. Dia... sungguh ingin bebas.

•••

Kepala sekolah berdiri menghadap tembok yang ditempeli berbagai macam foto, potongan artikel dari koran beberapa tahun lalu, ataupun artikel online yang sengaja dicetak. Ada juga benang merah yang menyambungkan hal-hal itu.

Ingatan menyesakan terputar di dalam kepalanya tanpa diminta, membuat kedua tangan pria gemuk itu mengepal di sisi tubuhnya. Di balik kacamata, mata sipitnya itu menatap tajam salah satu foto yang tertempel di dinding. Rasanya sangat menjijikan hanya untuk melihat sosok itu meski tidak secara nyata.

Mata sipit itu kini terpejam seraya memalingkan muka, terlalu tak tahan untuk terus menatap sosok di dalam foto yang sudah menghancurkan hidupnya hingga lebih dari kata berantakan. Namun, begitu mata itu terpejam, wajah-wajah tak asing yang menatapnya marah seketika menerornya, membuatnya terperanjat, dan spontan membuka mata. Dia menoleh ke samping, menatap beberapa foto dengan figura yang berjejer di sana. Lengkap dengan bunga krisan putih di bawahnya.

Berbeda dengan saat menatap foto di dinding depannya, saat menatap foto-foto di sampingnya, kepala sekolah memunculkan sorot sendu dan kesedihan yang mendalam. Dia menatap satu persatu foto dalam figura itu, perlahan menghadapkan tubuhnya ke sana, lalu bersimpuh di lantai. Dia melepaskan kacamata yang dipakainya, menaruh benda itu di sisi tubuh tanpa mengalihkan pandang dari tempat semula.

Rasa sesak menelusup, rasa sakit dan penyesalan selalu hadir di tiap detik hidupnya. Dia ingin mengakhiri semua ini, namun dia tidak bisa karena dendamnya masih belum terselesaikan.

Tanpa sadar matanya basah, bulir air mata membuat lintasan di wajah lelahnya sebelum jatuh menghantam dinginnya lantai. "Maafkan Papa, Sayang. Maafkan saya kalian semua."

•••

05.12.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now