#22. Triple N

263 31 0
                                    

Menyalakan keran hingga suara khas akibat air yang mengalir deras tertangkap oleh indra pendengaran, seorang pria membasuh tangannya yang penuh darah di bawah guyuran air itu. Warna merah terciprat di sekitaran wastafel, sangat kontras mengingat wastafel itu berwarna putih. Dia membawa pandangannya pada cermin, tersenyum hingga menampakan gigi rapinya kala melihat wajah tampan juga setelan mahalnya dipenuhi darah.

Drrrttt drrrttt

Ponsel yang dia simpan di sisi wastafel menyala bersamaan dengan getaran yang terdengar. Dia melirik ponsel pintarnya itu, melihat sebaris nama yang tertera, lalu mematikan keran. Mengibas-ngibaskan tangan sebelum satu tangannya bergerak meraih ponsel. Menggeser salah satu tombol seraya tangan lainnya mengambil beberapa tisu yang tersedia. Menggunakan benda itu untuk mengelap darah di wajah sempurnanya.

"Oow, selamat malam, Pak. Kenapa dengan panggilan tiba-tiba ini?" tanya pria itu terlebih dahulu membuka suara.

"Mari langsung pada intinya, Pak. Apa anak buah Anda sudah mengabari sesuatu?"

Dia mengerutkan alis kala mendengar pertanyaan itu. Anak buah? Oh, menurutnya kata kunci itu sangat tidak jelas mengingat secara umum, orang yang tengah berbicara padanya itu juga termasuk dalam katagori anak buah. "Perlu Anda tahu, Pak, anak buah saya──"

"Sepertinya si tidak kompeten itu belum mengabari Anda. Yah, mengingat cara bicara Anda saat ini. Oke, saya dalam perjalanan menuju Purnama Biru. Saya akan bertemu dengan Neo. Hanya kami. Saya sarankan Anda hubungi Pak Hobi dan tanyakan apa yang terjadi," sela orang di seberang sana memotong ucapan si pria.

Terkekeh meski sedikit kesal, si pria membuang tisu yang selesai di pakainya ke dalam tempat sampah. "Ya, ya, ya, saya akan melakukannya, Mr. Pemerintah," ucapnya.

Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Saya hanya menyarankan, Pak. Tentu saja Anda bebas akan melakukannya atau tidak. Tapi, ini soal Anda dan kesenangan anda, Pak. Saya pamit," ucapnya mengakhiri panggilan sepihak.

Sedangkan si pria paruh baya menatap layar ponselnya sendiri, tersenyum miring, lalu kembali meletakan ponsel ke tempat semula. Menyalakan keran, lalu menampung air di kedua tangannya. Membasuh muka karena tisu tidak cukup untuk menghilangkan noda darah.

•••

Neo menelusuri kaca dari rak yang ada di dalam ruangan yang dia tempati dengan tangan kirinya yang seperti biasa dilapisi sarung tangan lateks hitam. Bibir di balik topengnya membentuk senyuman tipis, membayangkan sesuatu yang seru akan segera terjadi.

Dia menolehkan kepala ke arah lain, memperhatikan kepala sekolah yang tengah bersimpuh membersihkan darah di lantai dengan bermodalkan kain juga seember air. Beberapa saat lalu dia tak henti-hentinya mengoceh, meminta Neo untuk membantunya membersihkan darah diselingi umpatan-umpatan tak ramah. Namun, kekeras kepalaan Neo sepertinya sedang memuncak, lelaki bertopeng itu sama sekali tak menggubrisnya dan dia menjadi lelah sendiri untuk berbicara. Biarlah, dia akan membersihkan kekacauan ini seorang diri sekarang, Neo akan dia beri pelajaran berguna nanti.

"Pak, apa Anda kelelahan?" tanya Neo begitu polos.

"Tutup mulutmu, Neo. Saya tidak ingin dengar kamu bicara," balas kepala sekolah tanpa menatap Neo. Dia sibuk memeras kain di atas ember.

Neo menggidikan bahunya, melirik jam di dekat megaphone, lalu berkata, "Sudah waktunya. Hm, baiklah, Pak, saya pamit untuk... semacam meeting  dengan atasan? Haha..."

Kepala sekolah menggeram tertahan. Ucapan Neo memang tidak ada yang salah, namun, sekali lagi, setiap Neo berbicara, amarahnya selalu saja naik. Entahlah, setiap kata yang Neo keluarkan selalu membuatnya emosi. Bahkan, bila itu hal baik p── ah, tidak, ucapan Neo tidak pernah ada yang baik.

"Good bye, Mr. Cochon."

•••

Number 2 dan Neo duduk berhadapan. Mereka hanya terhalang sebuah meja saja yang di atasnya terdapat sebuah botol anggur mahal lengkap dengan dua gelasnya.

Tidak ada yang berbicara. Hanya keheningan yang terjadi di ruangan ini sejak beberapa menit yang lalu. Number 2 yang merencanakan pertemuan ini malah diam. Seolah dia datang tanpa tujuan sama sekali.

Beberapa detik berlalu, helaan napas tipis keluar dari mulut Number 2 sebelum dia berkata, "Jadi, sedang apa Anda di sini, Number 1?" Dia menatap ke samping di mana seorang pria yang pakaiannya mencetak beberapa noda darah berada. Duduk di single sofa dengan kaki yang menyilang.

Pria yang dipanggil Number 1 itu menatap pria yang bertanya padanya lalu membalas, "Hanya duduk? Oh, Pak, silahkan jika Anda akan memarahi Neo. Saya sudah dengar semuanya dari Pak Hobi dan... biasa saja. Saya rasa Anda akan dengan mudah membereskan masalah ini."

"Baiklah, Pak. Maaf jika Anda tersinggung, tapi, saya akan menganggap Anda tidak ada," ucap Number 2. Dia bangkit berdiri, memutari meja hingga Neo semakin dekat dalam jangkauannya. Dia berada tepat di hadapan lelaki itu, tanpa penghalang apapun.

"Beri tahu saya apa tujuan kamu melepaskan salah satu korban?" tanya Number 2. Menatap langsung topeng Neo. Orang itu memang mendongak sekarang.

"Karena dia Amory. Mr. Pig takut dengan ACIN. Saya hanya mengikuti perintah," balas Neo biasa saja.

"Tapi kamu melepaskan dia setelah dia melihat wajah Pak Hobi. Dia jadi berada dalam bahaya Neo."

Neo menggidikan bahu, memilih menabrakan punggungnya pada kursi empuk di belakang. Dia bertingkah sangat santai sekarang. "Kalau gitu, apa harus saya urus Amory? Aah, atau sekalian ACIN biar nggak ribet?" tanyanya.

Kesal sebenarnya, namun Number 2 memilih untuk bersikap biasa saja. Meredakan emosi sendiri adalah keahliannya. Bertemu banyak klien rewel, rekan seenaknya, dan orang-orang semacam itu membuat dia sangat pandai untuk berpura-pura. "Sekarang anak dari insiden Seiren. Kenapa kamu biarin dia kabur?"

"Insiden Seiren?" Neo memiringkan kepala, tidak ingat dengan apa yang dibicarakan Number 2.

"Adhisty. Gadis sebelum Amory yang kamu biarkan lepas," jelas Number 2.

"Aah, orang itu. Saya nggak lepasin dia dengan sengaja. Siapa yang tahu dia bisa kabur dari kantor polisi? Sebenarnya, Anda sudah tahu keberadaan dia, kan, Pak? Atau belum? Huh, tampak mustahil dengan segala koneksi dan kekuatan yang Anda punya," papar Neo panjang.

"Oke, gadis itu bisa disingkirkan dengan mudah. Sekarang, Amory──"

"Dia juga bisa dising── ah, tidak, saya tidak ingin Amory disingkirkan." Memotong ucapan Number 2, Number 1 ikut andil dalam obrolan. "Amory tidak boleh pergi. Gadis manis itu punya satu misi untuk saya," lanjutnya.

•••

04.11.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now