#07. Hey, ACIN Bukan Makhluk Spesial

349 43 0
                                    

Bugghh

Seseorang terjatuh kala lututnya di tendang dengan keras oleh seorang pria di depannya. Pria gemuk dengan kacamata yang terpasang. Sebagian rambutnya telah memutih, menandakan bahwa umurnya sudah tak lagi muda. Perutnya buncit hingga membuat kancing kemeja yang dia kenakan bisa saja terlepas.

"Kamu tidak tahu siapa yang kamu bawa?" tanya pria gemuk itu tak ramah.

Orang yang ditendang, seseorang dengan jas hitam dan topeng putih yang menutupi wajahnya menengadah. Melihat si pria gemuk lewat dua lubang bulat pada topeng. "Tentu tahu. Kenapa dengan itu?",

Bugghh

Bukannya jawaban yang dia dapat, melainkan tendangan kedua yang kali ini melayang pada lengan atasnya. "Kamu bodoh atau bagaimana?! Dia Amory ACIN! Kamu mau membahayakan tempat ini?! Hah?!" teriak si pria gemuk. Matanya yang sedikit sipit melotot tajam.

Orang bertopeng bangkit berdiri dengan perlahan. Menepis lengan jasnya yang basah tepat di tempat tendangan pria gemuk mendarat. Dia bertingkah seperti membersihkan noda dari sana. "Apa masalahnya dengan itu?" tanyanya terdengar santai.

Mendengarnya, si pria gemuk semakin geram. Menampar kepala pria bertopeng seraya berkata, "Anak bodoh!" tak hanya sekali, dia melakukannya berkali-kali dengan mulut yang sibuk meluncurkan sumpah serapah.

Pria bertopeng sendiri hanya diam, bahkan di balik topeng wajahnya tak menunjukan reaksi apa-apa. Datar tanpa emosi. Dia seolah tak keberatan dengan tamparan bertubi yang dia rasakan.

Bruukk

Serangan akhir, perutnya ditendang hingga dia jatuh terduduk di bawah pria gemuk. "Saya ini Bos kamu! Dengarkan saya, anak sialan! Kamu juga tahu berasal dari keluarga mana Cakra dan Nevan. Mereka tidak akan diam kalau temannya menghilang! Bodoh! Idiot!"

Bukannya marah, pria bertopeng malah meledakan tawa. Sangat renyah hingga membuat pria gemuk menaikan alis keheranan. Setelah beberapa saat, tawanya akhirnya reda. Dia bangkit berdiri, menepuk-nepukan tangannya yang dilapisi sarung tangan lateks seolah menghilangkan debu dari sana. Membenarkan topengnya sendiri, dia memperpendek jarak dengan si pria gemuk. Kedua tangannya naik, mendarat pada bahu pria gemuk. Dia mendekatkan wajahnya pada wajah pria gemuk dan berkata, "Hey, Pak, ACIN bukan makhluk spesial. Tidak ada pengecualian untuk mereka."

Si pria gemuk menelan ludah, atmosfer di tempat ini sedikit berubah dan itu cukup membuatnya gugup. Menetralkan perasaan gugupnya, dia segera menepis kedua tangan pria bertopeng dari bahunya. Berdeham seraya memalingkan muka, dia memundurkan langkah. Tangannya naik, melepas kacamata, dan menekan kedua matanya dengan tangan yang bebas.

"Saya tidak ingin tahu, Amory tidak boleh ada di tempat ini. Tidak ada bantahan, Neo," paparnya sebelum berbalik. Melangkah pergi dari ruangan persegi dengan pencahayaan buruk ini.

Neo sendiri hanya tertawa seraya memandangi kepergian pria gemuk. "Ya, ya, ya, Anda bebas mengatakan apapun, Mr. Pig."

•••

Berjalan mengendap di ruangan yang gelap, Ian tampak mirip dengan maling yang hendak melancarkan aksinya.

Lebih dari 15 tahun menghuni tempat ini, dirinya sudah hafal tata letak ruangan meski lampu dalam keadaan mati. Pria itu tersenyum senang kala apa yang dia tuju kini sudah ada di depan mata. Tangannya naik, mendarat pada gagang kulkas, dan hendak menariknya. Sayang, lampu yang tiba-tiba menyala membuatnya tak jadi melakukan itu. Perlahan kepalanya menoleh ke samping kanan, menerbitkan cengiran garing kala sesosok perempuan mampu dia lihat. Tengah berkacak pinggang di ambang pintu kamar.

"Angkat tangan," ucap perempuan itu tegas. Dari nadanya jelas sekali kalau dia tidak ingin dibantah.

Tidak ingin bencana menghampirinya, Ian melepaskan tangannya dari gagang kulkas. Mengangkat kedua tangan persis seperti perintah si perempuan.

"Mau apa tadi?" tanya si perempuan menaikan satu alisnya. Memasang wajah garang dengan tatapan menghunus pada Ian. "Martabak? Iya?" lanjutnya karena Ian tak kunjung menjawab.

Menunduk dalam, Ian menyatukan kedua tangannya. Dia memejamkan mata sebelum berkata, " Kak, pliss... sekali ini aja. Gue keinget terus mekdinya Amory yang nggak sempet kemakan gara-gara pulang. Emang, sih, rasanya jauh beda. Tapi setidaknya mulut gue bisa ngunyah. Kak, plissss. Ya? Ya? Ya? Gue doain, deh, lo bisa jadi Nagita Slavina. Boleh, ya? Ya? Sekali aja."

Destria, satu-satunya kakak Ian itu menghela napas mendengar penuturan adiknya. Dia yang semula berkacak pinggang, kini menyilangkan tangannya di depan dada. "Peraturannya apa? Tengah malam nggak boleh ngemil, Ian. Masuk kamar kalau nggak mau gue santet!" ucapnya. Tidak kejam, hanya saja Destria peduli dengan kesehatan sang adik.

Bahu Ian melemas. Tangannya kini turun, mengangkat kepala agar bisa menghadap Destria lalu berucap, "Cih, dasar kakak durjana." Dan, ya, setelah mengatakan itu dia buru-buru bangkit, berlari kencang ke dalam kamarnya yang berseberangan dengan Destria.

Destria sendiri hanya mendengus. Setelah Ian membanting pintu, dia juga masuk ke dalam kamarnya sendiri. Kembali bergelut dengan skripsi yang nyaris membuat rambutnya berjatuhan.

•••

Membuka mata, hanya kegelapan yang mampu Nevan temukan. Terdiam sejenak, satu tangannya merayap guna menyalakan lampu tidur di sisi ranjang hingga membuat cahaya remang dan terkesan hangat terlihat. Sensasi empuk dan aroma khas yang tercium membuatnya tahu kalau dia sedang berada di kamarnya. Tepat di atas ranjang. Pria itu mengubah posisinya menjadi duduk, menggaruk kepalanya sendiri seraya menguap lebar. Dia melirik jam digital di sisi lampu tidur. 03.03. Begitulah yang tercetak di sana.

Gerakan tangannya berhenti, dia tiba-tiba memikirkan sesuatu. Seingatnya dia berada di dalam mobil tadi, bertemu ayahnya saat ingin pulang ke apartemen Amory. Hey, tunggu, jangan bilang dia dipangku ke tempat ini?! Sadar akan sesuatu, dia menyingkirkan selimut, membawa pandangan ke bawah, dan bernapas lega kala seragam SMA Purnama Biru masih melekat di tubuhnya.

Ceklek

Pintu kamar terbuka. Nevan yang mendengar suaranya membawa pandangan ke sana hingga menemukan seorang pria paruh baya dengan piyama abu-abu di ambang pintu. Itu memang pria paruh baya, namun, ketampanan dan kharismanya sungguh di luar batas. Dia sudah berumur, tapi pesonanya sangat gila. Jika semua orang yang mengenal Nevan juga mengenal pria itu, maka mereka akan tahu alasan Nevan bisa sangat tampan.

"Ayah, ada apa?" tanya Nevan.

Tersenyum lembut, pria itu membawa kakinya mendekat ke arah Nevan seraya berkata, "Nggak apa-apa. Ngecek aja kamu bangun apa nggak sama ngecek kamu baik-baik aja apa enggak. Kamu tidur pakai baju basah soalnya."

Mengangguk kecil, Nevan menarik kakinya yang semula lurus menjadi bersila. Ingat sesuatu, dia segera menatap sang ayah dan bertanya, "Omong-omong, aku ke sini jalan sendiri, kan, Yah? Nggak mungkin digendong, kan?"

Nendra, sang ayah, terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Ya, iyalah sendiri. Keburu encok kalau ayah gendong kamu. Nggak ingat, ya? Tadi kamu tidur di mobil, pas sampai dan dibangunin kamu buru-buru masuk sambil setengah merem. Disuruh mandi sama Bunda malah ngeyel. Anak siapa, sih, meresahkan banget?"

Mengembangkan senyumnya, dengan bangga Nevan membalas, "Anaknya pengacara kondang sama dokter tercantik se-Provinsi."

Nendra mendengus. "Ya udah, lah, kalau kamu nggak apa-apa ayah ke kamar lagi. Takut Bunda kamu kangen berat," ucapnya. Sebelum berbalik dia membawa tangannya naik, mengacak rambut Nevan yang sebenarnya sudah sangat acak-acakan. "Tidur lagi aja, masih jam 3."

Nevan hanya mengangguk kecil dalam menanggapi perkataan Nendra. Dia memperhatikan kepergian sang ayah dengan perasaan hangat yang berkumpul di dadanya. Wajah tampan, ekonomi sangat baik, keluarga yang harmonis, dan pertemanan yang menyenangkan. Kalau saja nilai di sekolahnya sebaik Ian, maka, Nevan adalah keberadaan nyata untuk ungkapan 'nyaris sempurna'. Sayang, nilai Bahasa Indonesianya saja selalu buruk. Angkanya sama persis dengan KKM yang berlaku. Tapi, tak apa, Nevan sudah sangat mensyukuri kehidupannya sekarang. Dia sangat bahagia dan bersyukur terlahir sebagai Nevan Abraham.

•••

06.10.2022

The Secret [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt